Senin, 07 November 2011
Idul Adha: Tenggang Rasa atau Renggang Rasa?
Sebuah repost dari 27 November 2009:
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Laailahaillalaahu Allahu Akbar..
Allahu Akbar walillahilham..
(takbir, hehe)
Ungkapan syukur umat muslim atas datangnya Hari Raya Idul Adha. Bersyukur karena di (setidaknya satu) hari ini kita diingatkan untuk berintropeksi dan kembali mengingat. Dewasa ini kita sudah dimanjakan oleh fasilitas-fasilitas keduniawian. Komunikasi, transportasi, transaksi begitu diagungkan belakangan ini. Nah, dengan Idul Adha ini saat tepat untuk kembali mengingat untuk berbagi. Berbagi apapun.
Ditinjau dari sejarahnya, Idul Adha sarat dengan pelajaran-pelajaran berbagi yang dapat kita ambil dari Sang Tokoh Utama, yaitu Nabi Ibrahim AS. Berbagi keikhlasan, berbagi keyakinan hati, ketika diperintah Allah untuk menyembelih putranya Ismail AS. Totalitas dalam melaksanakan perintah, ketika beliau diperintah untuk meninggikan pondasi Ka’bah, sebetulnya cukup bagi beliau untuk menyusun batu hingga setinggi yang bisa dijangkau oleh tangannya. Namun beliau tidak puas akan hal itu dan terus menumpuk hingga lebih tinggi lagi. Itu semua dilakukan karena kecintaannya pada perintah-perintah Allah.
Hingga berbagi dalam arti sebenarnya (baca : amal). Tidak cukup dengan hanya sekedar amal (menyisihkan sejumlah harta, sudah), namun juga harus dihiasi dengan ikhlas dan ditunaikan dengan sepenuh hati. Diriwayatkan suatu hari Rasulullah SAW menjumpai Fatimah, putrinya sedang menggosok dirham (perak). Nabi bertanya: “Untuk apa engkau menggosok dirham?”
Kemudian Fatimah menjawab, “Aku berniat menyedekahkannya.”
“Kalau akan diberikan orang lain, mengapa engkau gosok (membersihkan/memperbagus) dulu?” tanya Rasulullah.
“Karena aku tahu bahwa dirham ini akan sampai di tangan Allah sebelum berpindah ke tangan orang yang membutuhkan.”
Well, itu hanya sepenggal dari khotbah sholat Idul Adha di jalanan dekat kos saya pagi ini. Oiya, refleksi berbagi juga dijumpai pada pelaksanaan sholat ied yang diselenggarakan (sebagian besar) di lapangan-lapangan atau setidaknya di lokasi yang dinilai cukup lapang untuk mengumpulkan semua elemen masyarakat muslim di satu tempat (karena tadi saya sholat di tengah jalan raya, hehe). Sholat di lapangan (mungkin) dimaksudkan untuk mengakomodasi semua muslim untuk merayakan hari raya bersama-sama. Bukan rahasia jika setiap sholat ied akan selalu memecahkan rekor jumlah jamaah. Makna lainnya, dengan sholat di lapangan kita bisa memupuk kebersamaan, silaturahmi (atau silaturahim? Hehe), tenggang rasa, berbagi tempat, bersama-sama di pagi yang sangat dingin. Kapan lagi coba? Indahnya Idul Adha. Hahaha
Namun, saya merasakan kerenggangan dalam kebersamaan itu. Sepele, tapi merepresentasikan “ya, seperti inilah Indonesia.” Kita datang berbondong-bondong, baju koko, kopiah, rukuh, sajadah, ada yang bawa beberapa lembar koran juga. Tiba, mengambil tempat, memasang sajadah, duduk dengan nyaman, bertakbir. Ketika sholat akan dilaksanakan…….apa-apa’an ini???? Kita semua hanya terpaku pada tempat awal kita. Terpaku pada sajadah kita, bahkan ketika mengetahui saf depan kita kosong. Apalagi tak jarang yang sajadahnya lebar. Ini saf terlonggar yang pernah saya temui!!!! Bahkan, kita lupa pesan standar imam ketika akan memulai sholat, “Rapatkan safnya, yang depan dipenuhi dulu!” hahaha, kita terlalu nyaman dengan posisi kita!
Yup! Seperti inilah Indonesia. Kita masih terlalu egois untuk meninggalkan sesuatu yang kita “bangun” untuk dinikmati orang lain. Kita masih terlalu nyaman dengan kondisi dan enggan untuk “maju” demi mencari sesuatu yang lebih baik. C’mon guys! Lets move forward!
NB: tadi saya pake sajadah kecil kok.. :p
Sabtu, 05 November 2011
Dokter dan Dosen Pembimbing
Sering denger pasien terlantar karena dokternya sedang sibuk, kan? Pasien mengantri giliran periksa sambil menahan sakit, dokternya belum datang. Ketika ditanyakan ke susternya, selalu jawaban tidak pasti. Mau gimana lagi? Dokter punya nilai tawar di sini. Pasien mau sembuh ga? Ya sudah, harus sabar. Sementara dokter (mungkin) masih baru bangun tidur. Dokter tidak merasakan sakit. Kalau sudah begini yang tersisa hanya mengharap belas kasihan dokter untuk lebih memikirkan pasiennya. Eh, atau (mungkin) itu sudah menjadi keharusan dalam kode etik seorang dokter? Profesionalitas? Sebagai seorang pengabdi? Atau posisi penting yang digantungkan banyak pihak sehingga menciptakan kuasa?
Dosen pembimbing juga begitu.
Dosen pembimbing juga begitu.
Minggu, 16 Oktober 2011
Menghilang
Beberapa minggu terakhir ini saya menempuh beratus-ratus kilometer. Mungkin seribu lebih. Menyita waktu dan tentu saja menguras tenaga. Sangat. Untuk apa? Saya juga tidak begitu paham. Lah? Lalu kenapa saya melakukannya?
Tomblok selalu bilang, "kamu harus memilih" tapi keadaan memaksa saya kehilangan hak untuk memilih.
Saya sangat mencintai Indonesia. Benar-benar cinta, hingga saya selalu nelangsa dengan keadaan negara ini. Selalu. Nelangsa karena tidak bisa ikut serta dalam upaya perbaikannya. Kita bicara makro. Tentu saya melakukan hal-hal kecil yang merepresentasikan rasa cinta saya. Tapi di atas? Bisa apa kita? Mengeluh?
Saya sakit atas sesuatu yang bukan saya sebabkan. Dipaksa menerima. Seperti kutukan.
Nah kini saya berada di "Indonesia" tetapi di lingkup yg lebih kecil.
Setiap awal perjalanan saya hanya bisa berdoa, "Ya Allah dengan AsmaMu saya berangkat, dengan AsmaMu saya selamat, dengan AsmaMu perjalanan ini bermanfaat."
Tomblok selalu bilang, "kamu harus memilih" tapi keadaan memaksa saya kehilangan hak untuk memilih.
Saya sangat mencintai Indonesia. Benar-benar cinta, hingga saya selalu nelangsa dengan keadaan negara ini. Selalu. Nelangsa karena tidak bisa ikut serta dalam upaya perbaikannya. Kita bicara makro. Tentu saya melakukan hal-hal kecil yang merepresentasikan rasa cinta saya. Tapi di atas? Bisa apa kita? Mengeluh?
Saya sakit atas sesuatu yang bukan saya sebabkan. Dipaksa menerima. Seperti kutukan.
Nah kini saya berada di "Indonesia" tetapi di lingkup yg lebih kecil.
Setiap awal perjalanan saya hanya bisa berdoa, "Ya Allah dengan AsmaMu saya berangkat, dengan AsmaMu saya selamat, dengan AsmaMu perjalanan ini bermanfaat."
Kamis, 29 September 2011
SNSD PMA!
Apa ya yang dilakukan para personil SNSD sehari-hari?
Bangun tidur, mereka pasti tidur teratur dan bangun pagi. Lihat, mereka tidak memiliki kantung mata sama sekali.
Pasti mereka banyak minum air putih, betapa segarnya mereka.
Lalu mereka akan stretching ringan, menjaga kebugaran.
Setelah itu sarapan sandwich, mungkin.
Agak siang mereka akan ke salon melakukan perawatan tubuh.
Abis dari salon mereka akan melatih vokal. Perhatikan mereka selalu bermain live di setiap pertunjukan panggungnya dengan suara yang sangat prima.
Kemudian mereka berlatih koreografi. Bayangkan betapa giatnya mereka berlatih sehingga bisa melakukan gerakan yang begitu sempurna. Aktif, energik, lucu, dan yang paling penting, gak bitchy.
Dan pasti mereka semua rajin mengikuti kajian psikologis. Mereka pasti memiliki positive mental attitude, man! Lihat, mereka selalu tersenyum! Sialnya senyumnya selalu berhasil membuat kita tersenyum juga :)) PMA, man! PMA!
Dengan jadwal sepadat itu pasti ada batasnya mereka cape. Belum lagi siklus bulanan cewek. Tapi mereka ga pernah bete. Wajah mereka selalu senyum bersinar segar. Bagaimana caranya memanage 9 cewek biar terus bahagia? Bagaimana kalo salah satu bete. Pasti akan berpengaruh ke yang lainnya. Belum lagi kalo ada perselisihan. Tapi mereka ga pernah bete, guys! Bahkan mereka berhasil meredakan bete kita setelah menonton videonya, hehehe.
SNSD PMA, man! Yeah! XD
Bangun tidur, mereka pasti tidur teratur dan bangun pagi. Lihat, mereka tidak memiliki kantung mata sama sekali.
Pasti mereka banyak minum air putih, betapa segarnya mereka.
Lalu mereka akan stretching ringan, menjaga kebugaran.
Setelah itu sarapan sandwich, mungkin.
Agak siang mereka akan ke salon melakukan perawatan tubuh.
Abis dari salon mereka akan melatih vokal. Perhatikan mereka selalu bermain live di setiap pertunjukan panggungnya dengan suara yang sangat prima.
Kemudian mereka berlatih koreografi. Bayangkan betapa giatnya mereka berlatih sehingga bisa melakukan gerakan yang begitu sempurna. Aktif, energik, lucu, dan yang paling penting, gak bitchy.
Dan pasti mereka semua rajin mengikuti kajian psikologis. Mereka pasti memiliki positive mental attitude, man! Lihat, mereka selalu tersenyum! Sialnya senyumnya selalu berhasil membuat kita tersenyum juga :)) PMA, man! PMA!
Dengan jadwal sepadat itu pasti ada batasnya mereka cape. Belum lagi siklus bulanan cewek. Tapi mereka ga pernah bete. Wajah mereka selalu senyum bersinar segar. Bagaimana caranya memanage 9 cewek biar terus bahagia? Bagaimana kalo salah satu bete. Pasti akan berpengaruh ke yang lainnya. Belum lagi kalo ada perselisihan. Tapi mereka ga pernah bete, guys! Bahkan mereka berhasil meredakan bete kita setelah menonton videonya, hehehe.
SNSD PMA, man! Yeah! XD
Rabu, 28 September 2011
25 September
Selamat ulang tahun Keigo Mikami!
Selamat ulang tahun Ponaryo Astaman!
Selamat ulang tahun Angelo Palombo!
Selamat ulang tahun Karl-Heinz Rummenigge!
Selamat ulang tahun Ponaryo Astaman!
Selamat ulang tahun Angelo Palombo!
Selamat ulang tahun Karl-Heinz Rummenigge!
Kamis, 22 September 2011
Teenage Anarchist
Hilmi tau saya sedang mempelajarai anarkis dan dia memberi saya video Against Me! - I Was A Teenage Anarchist
I was a teenage anarchist, looking for a revolution
I had a style, I had the ambition
Read all the authors, I knew the right slogans
There was no war but the class war
I was ready to set the world on fire
I was a teenage anarchist, looking for a revolution
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist, but the politics were too convenient
In the depths of their humanity, all I saw was bloodless ideology
With freedom as their doctrine, guess who was the new authority
I was a teenage anarchist, but the politics were too convenient
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist, but then the scene got too rigid
It was mob mentality, they set their rifle sights on me
Narrow visions of autonomy, you want me to surrender my identity
I was a teenage anarchist, the revolution was a lie
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
When you were young and you wanted to set the world on fire
When you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
No, I am a teenage anarchist.
I was a teenage anarchist, looking for a revolution
I had a style, I had the ambition
Read all the authors, I knew the right slogans
There was no war but the class war
I was ready to set the world on fire
I was a teenage anarchist, looking for a revolution
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist, but the politics were too convenient
In the depths of their humanity, all I saw was bloodless ideology
With freedom as their doctrine, guess who was the new authority
I was a teenage anarchist, but the politics were too convenient
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist, but then the scene got too rigid
It was mob mentality, they set their rifle sights on me
Narrow visions of autonomy, you want me to surrender my identity
I was a teenage anarchist, the revolution was a lie
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
When you were young and you wanted to set the world on fire
When you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
No, I am a teenage anarchist.
Rabu, 21 September 2011
Bekas Propinsi ke-27
Ini adalah prolog dari salah satu film terhebat yang pernah saya tonton, Barefoot Dream. Film tentang impian anak-anak Timor Leste yang dilatih oleh mantan pemain sepakbola Korea yang mencari "kehidupan" di perantauan.
Terlepas dari isi filmnya, saya sangat tergugah dengan prolog film ini. Prolog yang mendeskripsikan bagaimana keadaan Timor Leste di mata dunia. Prolog singkat yang mungkin bagi sebagian kami, orang Indonesia, adalah penjelasan panjang atas apa yang sebenarnya terjadi di bekas propinsi ke-27 itu.
Apa yang kita ketahui tentang Timor Timur? Propinsi termuda, namun juga yang paling awal memisahkan diri dari Indonesia. Kita hanya menyesalkan kenapa mereka memilih merdeka. Tanpa kita pernah tau apa yang sebenarnya terjadi.
Film ini adalah produksi Korea dan apa yang disampaikannya merupakan obyektivitas internasional. Bahwa memang pernah terjadi pembantaian besar-besaran di sana.
Apa kalian tahu? Pemerintah dengan rapihnya menyimpan informasi-informasi kebenaran (kalau tidak bisa saya bilang KEKEJIAN atau KEBIADABAN) dari media. Ya, kita dipacung informasi.
Kalaupun tahu, kita hanya bisa diam.
Baik, itu adalah satu contoh. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Terutama di daerah-daerah yang sering terjadi konflik. Papua? Maluku? Aceh? Apa yang sebenarnya terjadi di sana sampai ada gerakan-gerakan separatis?
Logika simpel saja, seseorang (atau kelompok) akan memilih meninggalkan daerahnya ketika mereka sudah merasa tidak nyaman. Lalu apa yang membuat ketidaknyamanan itu? Bukankah "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia"???
Kamis, 08 September 2011
Saya Punya Negara, Kalian Tidak
Masih dipicu oleh #Munir. Masih tentang bobroknya negeri ini.
*mengumpat*
Apa kalian sama marahnya dengan saya?
Apa kalian merasa apa yang saya rasa?
Merasa ditipu, merasa tak dianggap, merasa dicurangi, merasa dikebiri, merasa dibungkam?
Kenapa kalian masih tak peduli?
Kenapa ini bukan hal yang penting?
Sampai kapan kalian menutup mata?
Sampai kapan kalian merasa baik-baik saja?
Kalian tidak tahu apa memang bodoh?
Lalu apa yang kalian perjuangkan?
Lalu apa yang kalian bela?
Karena kalian tidak merasa memiliki negara ini?
Kalau begitu, apa yang kalian miliki?
Kalau begitu apa yang kalian perjuangkan? Apa yang kalian bela?
Apa yang membuat kalian prihatin?
Apa yang membuat kalian risau?
Uang? Pasangan?
Maka kalian akan baik-baik saja.
SAYA TIDAK.
Ini negara siapa?
INI NEGARA SAYA! SAYA MARAH DENGAN SEMUA KEBOHONGAN INI.
*mengumpat*
Apa kalian sama marahnya dengan saya?
Apa kalian merasa apa yang saya rasa?
Merasa ditipu, merasa tak dianggap, merasa dicurangi, merasa dikebiri, merasa dibungkam?
Kenapa kalian masih tak peduli?
Kenapa ini bukan hal yang penting?
Sampai kapan kalian menutup mata?
Sampai kapan kalian merasa baik-baik saja?
Kalian tidak tahu apa memang bodoh?
Lalu apa yang kalian perjuangkan?
Lalu apa yang kalian bela?
Karena kalian tidak merasa memiliki negara ini?
Kalau begitu, apa yang kalian miliki?
Kalau begitu apa yang kalian perjuangkan? Apa yang kalian bela?
Apa yang membuat kalian prihatin?
Apa yang membuat kalian risau?
Uang? Pasangan?
Maka kalian akan baik-baik saja.
SAYA TIDAK.
Ini negara siapa?
INI NEGARA SAYA! SAYA MARAH DENGAN SEMUA KEBOHONGAN INI.
Rabu, 07 September 2011
#Munir, The Guy Fawkes of Indonesia
7 September 2011
Timeline twitter saya penuh dengan hashtag #Munir. Avatar para following saya serentak berganti portrait Munir. Ya, hari ini mengenang 7 tahun kematian Munir.
Siapakah Munir? Awalnya saya cuma tau Munir adalah pahlawan HAM yang dibunuh dengan racun di pesawat. Itu saja.
Sampai kemarin, timeline layaknya buku sejarah bagi saya. Salah satu yang saya pantengin adalah @juliusibrani yang menceritakan Munir dari awal terjun ke pembelaan HAM yang kecil hingga pada membongkar kasus pelanggaran HAM yang menyangkut petinggi Negara dan akhirnya dibunuh secara detail. Ada juga timeline @AhmadErani yang bercerita Munir semasa masih menjadi aktivis. Betapa Munir sosok kecil tapi pemberani. Selalu menonjol di setiap diskusi.
Tidak perlu saya menjelaskan kembali sejarah Munir ini, silakan googling untuk mendapat data lengkapnya. Tapi dari kasus ini kita kembali diingatkan bahwa ada yang salah dengan Negara ini. Negara bebal ini. Bagaimana bisa kasus ini masih belum jelas pengungkapannya selama 7 tahun? Padahal pada 2004 SBY yang saat itu baru saja menjabat Presiden menjanjikan kasus ini akan selesai tidak sampai setahun.
Pembunuhan Munir ini merupakan operasi intelijen yang telah dirancang secara sistematis. Munir menjadi “orang yang harus dibunuh oleh Negara” karena akan mengadukan kasus-kasus pelanggaran HAM berat ke Badan HAM PBB di Den Haag. Beginilah sikap Negara terhadap orang yang menegakkan kebenaran. Saya yakin hal ini bisa digeneralisasikan ke semua aspek bangsa ini.
Betapa bobroknya Indonesia sebenarnya. Sial, saya selalu muak dengan kata intelijen. Seolah-olah rakyat dibutakan dengan manuver-manuver politik yang ada. Kita selalu disajikan masakan yang menarik tanpa diberi tahu cara memasaknya. Kita selalu disuguhkan lukisan indah tanpa sadar mereka melukisnya dengan cat atau dengan darah. Pikiran kita dikebiri tanpa sempat merasakan orgasme. Dan yang lebih menyedihkan, panggung media menjadi sarana yang sangat tepat bagi para politisi untuk menjadi yang paling tahu. SIALAN DENGAN SEMUA KEBOHONGAN INI!!!
Demokrasi? Jika pada tulisan-tulisan terdahulu saya masih bilang bahwa demokrasi kita premature, maka sekarang saya bilang demokrasi kita hanya sampul! Demokrasi kita hanya di permukaan. Dimana ketika kita mulai akan membaca buku Indonesia ini, kita akan menemui lembaran yang bebal.
Kenapa kasus yang sudah jelas-jelas pembunuhan berencana oleh Negara secara keji ini mengambang selama 7 tahun? Satu hal yang pasti tidak ada kemauan dari yang berwenang kasus ini tuntas. Para sahabat-sahabat Munir, para aktivis tak henti-hentinya bersuara. Tak henti-hentinya mengungkap fakta namun semua dihantam oleh tembok bebal yang bernama “yang berwenang”. Di sini kelemahan kita. System yang ada harus melalui prosedur “yang berwenang”. Dan kita semua tahu “yang berwenang” ini BAJINGAN. Lagi-lagi saya sakin hal ini juga bisa digeneralisasi untuk semua lapisan.
Garis merahnya adalah Negara sudah tidak sehat. Ketika kesehatan itu bernama kemanusiaan. Negara diatur untuk kepentingan pengaturnya sendiri. Rakyat bukan siapa-siapa. Rakyat tidak berwenang. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan. Rakyat adalah bebek.
…
Saya jadi ingat film V for Vendetta. Pemerintahan dictator. Konspirasi-konspirasi busuk. Dan rakyat dibungkam ketakutan. Saya berani menaruh Indonesia di posisi Inggris di film itu. Lalu apa yang rakyat bisa lakukan? Tidak ada.
Maka muncullah sosok V yang dengan anarkismenya menghancurkan pemerintahan itu. Apa yang telah dilakukannya menularkan keberanian. Sosok yang mendobrak system. Berani mati demi kebenaran. Maka saya menempatkan V sebagai Munir.
MUNIR LEBIH DARI SEKEDAR PAHLAWAN HAM. MUNIR ADALAH PEJUANG SEBENARNYA DI ERA SETELAH KEMERDEKAAN. MUNIR BERANI MELAWAN PEMERINTAH DEMI MENEGAKKAN KEBENARAN.
Saya akan mengutip terjemahan intro dari V for Vendetta sebagai outro tulisan ini.
“Kita disuruh mengingat pemikirannya dan bukan orangnya karena manusia bisa gagal. Dia bisa tertangkap, bia bisa terbunuh dan terlupakan. Tapi pemikiran masih bisa mengubah dunia.”
Catatan:
1. Oleh karena itu, untuk mbak Suciwati dan para yang memperjuangkan Munir, kita tidak boleh berhenti dengan terungkapnya kasus kematian Munir ini. Kita juga harus terus meneruskan perjuangan Munir. Meneruskan kebenaran yang harus diungkap. Dosa bajingan-bajingan itu harus dipertanggungjawabkan. Jika perlu kita menapaktilasi Munir dengan mengadukannya ke Badan HAM PBB.
2. Idealnya tulisan ini lebih banyak umpatan.
Selasa, 06 September 2011
Saatnya Bangun dari Mimpi, Timnas!
Barusan Indonesia kalah dari Bahrain dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2014 dengan skor 0-2. Laga kandang yang ditunggu-tunggu dengan sejuta harapan ini ternyata jauh panggang dari api. Segala optimisme supporter yang dipupuk oleh euphoria media terhadap timnas ternyata harus kembali dihantam kenyataan bahwa kita belum terbang setinggi itu.
Data statistik menempatkan kita layak diunggulkan. Rekor pertemuan kedua tim memihak kita. Fakta bahwa kita tidak pernah kalah dalam 8 (delapan) pertandingan kandang terakhir, hingga mandulnya lini depan Bahrain semakin menambah kepercayaan diri kita bahwa malam ini kita akan menang dan pergi ke Brasil 2014.
Mimpi itu terangkai secara “tidak sengaja” saat kita mengalahkan Turkmenistan (yang levelnya memang di bawah kita). Setelah carut-marut PSSI, tiba-tiba dimulai dengan hasil (yang sebenarnya tidak begitu) membanggakan, kita lolos ke putaran ke-3 kualifikasi Piala Dunia 2014. Dimana kali pertama kita melangkah sejauh ini.
Hasil drawing pun terhitung mudah, kita se-grup dengan Iran, Bahrain, dan Qatar. Selain Iran, Bahrain dan Qatar merupakan lawan yang bisa kita kalahkan. Oleh karena itu optimisme kembali membuncah, bahwa kita bisa lolos dari grup ini.
Uji coba pun dilaksanakan untuk menjaga performa timnas. Setelah bermain imbang dengan juniornya, timnas secara mengesankan mengalahkan Palestina dengan skor 4-1. Semangat supporter semakin berkobar. Saat uji coba tandang ke Jordania pun juga hanya kalah 0-1. Berharap perbaikan pada kondisi puncak, melawan Iran.
Namun seperti tidak belajar dari pengalaman, kita kalah 0-3 dari Iran dengan semua gol terjadi di babak kedua. Akan tetapi kekalahan ini tidak begitu merisaukan karena kita memaklumi bahwa kita memang satu level di bawah Iran. Nah, lawan Bahrain adalah saatnya kita meraih kemenangan!
Dan hasilnya telah kita ketahui bersama. Bermain di GBK yang katanya angker bagi tim “sekelas” Bahrain, nyatanya kita tetap saja minim peluang dan terus tertekan. Permainan mudah sekali dibaca lawan. Bola dimainkan di tengah sebentar lalu terobosan ke sayap. Strategi lainnya, bola diberikan pada Gonzales untuk ditahan sebelum diberikan ke pemain yang membuka ruang. Sudah itu saja. Kebobolan kita? Lagi-lagi kesalahan kita adalah kelengahan karena kurangnya konsentrasi dan koordinasi.
…
Oke, kita kalah, lalu apa? Mencari kambing hitam? Siapa yang salah? Salah Wim? Salah SBY yang menonton? Salah Djohar yang memecat Riedl? Salah Markus? Salah supporter yang menyalakan petasan? Dan kita tidak kemana-mana.
Mari kita melihat lebih bijak. Apa yang bisa dijadikan pelajaran dari kekalahan ini? Ya, kekalahan ini menyadarkan kita dari euphoria mimpi melaju ke putaran final Piala Dunia 2014. Menampar kita, bahwa kita belum sekuat itu.
Timnas adalah muara dari kompetisi dan pembinaan yang baik. Kompetisi professional yang sehat dan kompetitif akan melahirkan banyak bakat. Pembinaan yang berjenjang dan terstruktur baik dapat memonitor bakat-bakat muda.
Timnas yang “cuma” menang melawan Turkmenistan dan Palestina kemarin bukanlah representasi dari kompetisi kita. Timnas kita ini semacam klub yang baru dibentuk. Beruntung kompetisi kita belum aktif, jadi “klub timnas” ini bisa leluasa melakukan pemusatan latihan. Kalaupun malam ini menang, hasil yang kita dapat bukanlah hasil yang ideal. Karena (lagi-lagi) ini adalah hasil instan.
Kenapa selama ini selalu dilakukan pembentukan “klub timnas”? Setiap pemusatan latihan pelatih timnas harus memulai dari awal. Harus menyeleksi dan pemantapan fisik terlebih dahulu. Tetek bengek ini membuat persiapan timnas secara taktik selalu berkurang. Sehingga tidak bisa mencapai hasil maksimal yang diinginkan pelatih. Hal ini menunjukkan ada yang salah dengan system kompetisi kita. Bagaimana cara klub mengelola pemain secara fisik, mental, ataupun taktik tidak sinkron dengan yang diharapkan timnas. Ini yang membuat timnas harus membangun lagi pemain dari awal.
Nah, kekalahan dari Bahrain ini datang di saat yang tepat. Di saat PSSI akan menyelenggarakan kompetisi baru yang disebutnya professional, tanpa APBD. Selain pembenahan secara sumber dana, seharusnya PSSI juga meningkatkan standar-standar klub mengenai pembangunan fisik dan mental yang selaras dengan program timnas.
PSSI juga harus memperhatikan pembinaan usia dini dengan menggelar kompetis-kompetisi kelompok umur secara konsisten. Disamping pengembangan pemain, PSSI juga harus memperhatikan tentang pengembangan pelatih. PSSI bisa mengadakan workshop kepada pelatih-pelatih di daerah-daerah.
Apapun itu, semoga PSSI dapat mengambil pelajaran dari hasil malam ini. Merekalah yang seharusnya paling tertampar dengan kekalahan ini. Tamparan bahwa ternyata mereka belum menghasilkan apa-apa. Dan peran kita sebagai supporter adalah terus mendukung semua kebijakan PSSI serta mengawalnya.
Semoga tamparan malam ini benar-benar membangunkan kita.
Data statistik menempatkan kita layak diunggulkan. Rekor pertemuan kedua tim memihak kita. Fakta bahwa kita tidak pernah kalah dalam 8 (delapan) pertandingan kandang terakhir, hingga mandulnya lini depan Bahrain semakin menambah kepercayaan diri kita bahwa malam ini kita akan menang dan pergi ke Brasil 2014.
Mimpi itu terangkai secara “tidak sengaja” saat kita mengalahkan Turkmenistan (yang levelnya memang di bawah kita). Setelah carut-marut PSSI, tiba-tiba dimulai dengan hasil (yang sebenarnya tidak begitu) membanggakan, kita lolos ke putaran ke-3 kualifikasi Piala Dunia 2014. Dimana kali pertama kita melangkah sejauh ini.
Hasil drawing pun terhitung mudah, kita se-grup dengan Iran, Bahrain, dan Qatar. Selain Iran, Bahrain dan Qatar merupakan lawan yang bisa kita kalahkan. Oleh karena itu optimisme kembali membuncah, bahwa kita bisa lolos dari grup ini.
Uji coba pun dilaksanakan untuk menjaga performa timnas. Setelah bermain imbang dengan juniornya, timnas secara mengesankan mengalahkan Palestina dengan skor 4-1. Semangat supporter semakin berkobar. Saat uji coba tandang ke Jordania pun juga hanya kalah 0-1. Berharap perbaikan pada kondisi puncak, melawan Iran.
Namun seperti tidak belajar dari pengalaman, kita kalah 0-3 dari Iran dengan semua gol terjadi di babak kedua. Akan tetapi kekalahan ini tidak begitu merisaukan karena kita memaklumi bahwa kita memang satu level di bawah Iran. Nah, lawan Bahrain adalah saatnya kita meraih kemenangan!
Dan hasilnya telah kita ketahui bersama. Bermain di GBK yang katanya angker bagi tim “sekelas” Bahrain, nyatanya kita tetap saja minim peluang dan terus tertekan. Permainan mudah sekali dibaca lawan. Bola dimainkan di tengah sebentar lalu terobosan ke sayap. Strategi lainnya, bola diberikan pada Gonzales untuk ditahan sebelum diberikan ke pemain yang membuka ruang. Sudah itu saja. Kebobolan kita? Lagi-lagi kesalahan kita adalah kelengahan karena kurangnya konsentrasi dan koordinasi.
…
Oke, kita kalah, lalu apa? Mencari kambing hitam? Siapa yang salah? Salah Wim? Salah SBY yang menonton? Salah Djohar yang memecat Riedl? Salah Markus? Salah supporter yang menyalakan petasan? Dan kita tidak kemana-mana.
Mari kita melihat lebih bijak. Apa yang bisa dijadikan pelajaran dari kekalahan ini? Ya, kekalahan ini menyadarkan kita dari euphoria mimpi melaju ke putaran final Piala Dunia 2014. Menampar kita, bahwa kita belum sekuat itu.
Timnas adalah muara dari kompetisi dan pembinaan yang baik. Kompetisi professional yang sehat dan kompetitif akan melahirkan banyak bakat. Pembinaan yang berjenjang dan terstruktur baik dapat memonitor bakat-bakat muda.
Timnas yang “cuma” menang melawan Turkmenistan dan Palestina kemarin bukanlah representasi dari kompetisi kita. Timnas kita ini semacam klub yang baru dibentuk. Beruntung kompetisi kita belum aktif, jadi “klub timnas” ini bisa leluasa melakukan pemusatan latihan. Kalaupun malam ini menang, hasil yang kita dapat bukanlah hasil yang ideal. Karena (lagi-lagi) ini adalah hasil instan.
Kenapa selama ini selalu dilakukan pembentukan “klub timnas”? Setiap pemusatan latihan pelatih timnas harus memulai dari awal. Harus menyeleksi dan pemantapan fisik terlebih dahulu. Tetek bengek ini membuat persiapan timnas secara taktik selalu berkurang. Sehingga tidak bisa mencapai hasil maksimal yang diinginkan pelatih. Hal ini menunjukkan ada yang salah dengan system kompetisi kita. Bagaimana cara klub mengelola pemain secara fisik, mental, ataupun taktik tidak sinkron dengan yang diharapkan timnas. Ini yang membuat timnas harus membangun lagi pemain dari awal.
Nah, kekalahan dari Bahrain ini datang di saat yang tepat. Di saat PSSI akan menyelenggarakan kompetisi baru yang disebutnya professional, tanpa APBD. Selain pembenahan secara sumber dana, seharusnya PSSI juga meningkatkan standar-standar klub mengenai pembangunan fisik dan mental yang selaras dengan program timnas.
PSSI juga harus memperhatikan pembinaan usia dini dengan menggelar kompetis-kompetisi kelompok umur secara konsisten. Disamping pengembangan pemain, PSSI juga harus memperhatikan tentang pengembangan pelatih. PSSI bisa mengadakan workshop kepada pelatih-pelatih di daerah-daerah.
Apapun itu, semoga PSSI dapat mengambil pelajaran dari hasil malam ini. Merekalah yang seharusnya paling tertampar dengan kekalahan ini. Tamparan bahwa ternyata mereka belum menghasilkan apa-apa. Dan peran kita sebagai supporter adalah terus mendukung semua kebijakan PSSI serta mengawalnya.
Semoga tamparan malam ini benar-benar membangunkan kita.
Kamis, 25 Agustus 2011
Mencari Lailatul Qadar di Solo
Sebuah repost tulisan 2009.
Lailatul Qadar adalah salah satu keistimewaan dalam Bulan Ramadhan. Dalam Al-Quran digambarkan bahwa Lailatul Qadar adalah suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Selain itu Lailatul Qadar diperingati sebagai malam diturunkannya Al-Quran. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Lailatul Qadar dapat ditemui di 10 malam terakhir pada Bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil.
Oleh karena keistimewaan dan keutamaan dari Lailatul Qadar tersebut, umat muslim berlomba-lomba beribadah pada malam-malam yang diindikasikan sebagai malam yang mulia itu. Bentuk ibadah yang dilakukan pun bermacam-macam, di antaranya adalah i'tikaf di masjid, berdzikir, melakukan sholat malam, seperti sholat tahajud sampai sholat tasbih, membaca Al-Quran, dll.
Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah bersabda, jika ingin mencari Lailatul Qadar hendaknya ia mencarinya pada malam ke-27. Dan semalam, hari Rabu tanggal 16 September 2009 malam hingga Kamis dini hari menjelang sahur merupakan malam ke-27 pada Ramadhan 1430 H. Para muslimin berduyun-duyun ke masjid. Sholat, duduk, dzikir, diam. Mereka berharap mendapat berkah yang ada dalam Lailatul Qadar.
Apakah ibadah untuk mendapat berkah Lailatul Qadar hanya berpusat pada masjid? Bagaimana dengan ibadah-ibadah lain, seperti berjuang demi bangsa dan negara, misalnya? Allah Maha Pengasih, Allah Maha Adil, dalam bentuk apapun ibadah itu pasti mendapat berkah dari-Nya.
Lagi-lagi semalam, ketika semua perhatian tersedot untuk mendapatkan Lailatul Qadar dan (bagi, mayoritas laki-laki tentunya) big match Liga Champion antara Inter Milan versus Barcelona, para pahlawan dari kepolisian Republik Indonesia melakukan ibadah dengan caranya sendiri. Dimotori Densus 88 dan dibantu oleh brimob, Kepolisian Surakarta, dan Kepolisian dari Polda Jogjakarta melakukan penggrebekan dan penyergapan pada rumah teroris di Kampung Kepohsari, Mojosongo, Solo.
Penggrebekan tersebut dimulai pada pukul 23.00 dan berakhir pagi tadi pukul 05.00. Penyergapan kali ini sedikit terlambat diendus oleh media sehingga tidak sampai terjadi “reality show” seperti drama penggrebekan yang terjadi di Temanggung beberapa waktu yang lalu. Tampaknya pihak kepolisian telah belajar dari pengalaman. Bahwa media sedikit banyak juga dapat mewartakan langkah demi langkah yang dilakukan Polri dalam membekuk teroris yang dapat dikonsumsi oleh umum, tak terkecuali teroris itu sendiri.
Sebenarnya drama penyergapan kali ini tidak kalah menegangkannya dengan yang terjadi di Temanggung. Penyergapan kali ini juga disertai baku tembak dan juga ledakan. Malah lebih “seru” karena teroris yang dihadapi dan membalas tembakan tidak hanya berjumlah satu orang, seperti yang terjadu di Temanggung (Ibrohim), tetapi kali ini ada empat orang teroris yang berada di rumah tersebut. Selain empat orang tersebut, juga terdapat seorang wanita hamil, yang belakangan ditengarai sebagai istri dari salah satu teroris yang berada di rumah tersebut.
Hasilnya, empat orang teroris yang berada di rumah tersebut tewas dan seorang masih hidup. Empat orang yang tewas tersebut adalah (1) Bagus Budi Pranoto alias Urwah, pelaku pengeboman Kedubes Australia pada tahun 2003 yang telah bebas dari penjara dan kini “bermain”lagi, (2) Susilo, sang penyewa rumah, (3) Aryo Sudarso alias Aji, seorang yang dianggap sebagai murid langsung Dr. Azhari sebagai pembuat bom, (4) NOORDIN M. TOP, yang tidak perlu saya jabarkan lagi sepak terjangnya. Dan seorang yang masih hidup adalah Munawaroh, istri dari Susilo yang sedang hamil.
Dalam konferensi pers yang digelar sore tadi pada pukul 16.00, Kapolri Bambang Hendarso Danuri tak henti-hentinya melontarkan kalimat syukur akan keberhasilan anak buahnya. Kapolri juga mengaitkan keberhasilan ini dengan berkah yang terdapat pada Bulan Ramadhan. Ketika nama Noordin M. Top disebutkan sebagai salah satu teroris yang tewas, serentak seisi ruang konferensi pers di Mabes Polri bertepuk tangan. Terdapat raut wajah lega dan puas, baik dari pihak kepolisian maupun wartawan yang sedang meliput, yang umumnya telah mengikuti perkembangan kasus ini sejak awal.
Sekali lagi, Alhamdulillah, walaupun hal ini bukan merupakan akhir dari pengungkapan kasus terorisme di Indonesia, namun dengan tewasnya Noordin M. Top, yang merupakan simbol teroris di Indonesia, dapat memberi kepercayaan diri bagi Polri bahwa mereka bisa memberantas aksi terorisme di Indonesia! Amin.
Apakah semalam adalah malam Lailatul Qadar? Yang jelas, semalam adalah malam yang penuh berkah (setidaknya) bagi masyarakat Indonesia.
Rabu, 17 Agustus 2011
Kamis, 04 Agustus 2011
Fenomena Ekonomi di Bulan Ramadhan
Ramadhan merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Bagi umat Muslim, Ramadhan adalah bulan yang besar, agung, dan suci. Bulan di mana mereka dapat semakin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Singkatnya, Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan ampunan.
Tetapi pada perkembangannya, efek Ramadhan tidak hanya terdapat pada nilai-nilai religius semata. Datangnya Bulan Ramadhan telah berimbas pada aspek-aspek yang lain, misalnya dari aspek sosial kemasyarakatan, aspek hukum, dan aspek ekonomi.
Meninjau pada aspek sosial kemasyarakatan, Ramadhan mengingatkan kita agar lebih peka terhadap lingkungan sosial masyarakat di sekitar kita. Karena di Bulan Ramadhan ini, kita diajarkan untuk berbanyak-banyak infaq dan sedekah. Dengan meningkatnya intensitas infaq dan sedekah merupakan cerminan dari kepedulian kita terhada sesama. Hal serupa juga terlihat bila dilhat dari aspek hukum. Setiap Lembaga Pemasyarakatan biasanya memberikan remisi atau pengurangan masa hukuman pada sebagian besar narapidana.
Yang sangat menarik adalah jika kita menilik dari sektor ekonomi. Entah mengapa, tetapi setiap datangnya Bulan Ramadhan, intensitas transaksi, aktivitas ekonomi cenderung meningkat. Mulai transaksi kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan pangan dan pakaian, hingga kebutuhan tersier.
Mari kita berbicara contoh. Sebagai awalnya kita meninjau ke pasar tradisional. Layaknya hari-hari biasa, diluar Ramadhan, tidak ada yang istimewa yang dapat kita temui pada pasar tradisional. Ketika Ramadhan tiba, bisa dipastikan bahwa jumlah transakasi pada pasar tradisional bisa meningkat hingga dua kali lipat. Pada Bulan Ramadhan, selain menyiapkan untuk kebutuhan makanan sehari-hari, juga ada tambahan kebutuhan penting lainnya, yaitu ta’jil.
Ta’jil
Belanja untuk kebutuhan ta’jil ini sangat fenomenal. Karena tidak hanya melibatkan mereka yang telah sehari- hari berkecimpung di pasar tradisional, tetapi juga menarik para pemuda untuk terjun ke pasar tradisional. Dewasa ini ta’jil telah mengalami perluasan kepentingan. Dari yang awalnya hanya sebagai sekadar hidangan pembuka bagi yang berbuka puasa, kini ta’jil telah menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Dan seperti yang telah disebutkan di atas, bisnis ta’jil tidak hanya dimonopoli oleh mereka yang “seharusnya” menyiapkan ta’jil, tetapi juga oleh para pemuda.
Mengapa bisnis ta’jil bisa begitu menarik? Satu contoh, es blewah. Saya membeli blewah yang berdiameter kurang lebih 20cm di Pasar Sama’an Malang dengan harga Rp 3.000,00. Kemudian saya olah dengan bahan tambahan setengah botol sirup dan es batu hingga menjadi satu panci besar es blewah. Dengan modal Rp 3.000 untuk blewah, Rp 5.000 untuk setengah botol sirup (es batu bikinan sendiri dan air putih sudah tersedia) bisa dikonsumsi untuk seluruh penghuni kos saya yang berjumlah 14 orang. Dan apabila kita membeli pada penjual ta’jil, kita akan menemui harga Rp 3.000,00 per porsi es blewah. Porsi yang sama dengan yang saya bagikan ke teman-teman kos dan tingkat kemanisan yang kurang.
Karena memang pada dasarnya masyarakat Indonesia memang senang dengan hal yang praktis, maka penjual ta’jil pun marak pembeli. Apalagi para penjula ta’jil sekarang sangat kreatif dan inovatif dengan “produk” yang mereka tawarkan. Silakan datang ke Jalan Soekarno Hatta Malang pada saat ngabuburit!
Kebutuhan Sandang
Setelah dari pasar tradisional, kita bepergian ke departemen store yang jamak kita temui di mal-mal yang ada di kota besar. Pada masa-masa puasa seperti ini, setiap departemen store berlomba-lomba untuk menawarkan diskon besar-besaran. Diskon ini bertujuan untuk menarik konsumen dan meningkatkan penjualan.
Kita akan menemui bertambahnya jumlah pengunjung pada hari-hari bulan puasa ini jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Entah karena sejuknya AC yang terdapat di setiap sudut departemen store tersebut sehingga melupakan kita akan dahaga, bisa jadi. Kemungkinan lainnya adalah adanya budaya yang masih melekat pada sebagian besar masyarakat Indonesia, bahwa “Lebaran, baju baru”.
Tunjangan Hari Raya (THR)
Apa yang melandasi terciptanya statement tersebut? Jika ditilik dari sisi ekonomi, ada satu fenomena yang menjelaskan mengapa budaya tersebut masih saja subur di kalangan mayoritas masyarakat Indonesia. Yaitu Tunjangan Hari Raya (THR). Bagi setiap pegawai atau karyawan, THR adalah suatu yang ditunggu-tunggu. THR merupakan tunjangan diluar gaji, bisa dikatakan bonus, yang diberikan pada setiap menjelang hari raya. Karena di Indonesia mayoritas masyarakanya beragama Islam, maka sebagian besar perusahaan atau instansi membagikan THR menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Seperti yang diwartakan oleh Jawa Pos edisi Minggu, 30 Agustus 2009 pada halaman 3, “THR Wajib Sepekan sebelum Lebaran”. Ditegaskan oleh Menakertarans Erma Suparno bahwa seluruh perusahaan wajib memberikan THR kepada karyawan maksimal sepekan sebelum Lebaran. Perusahan juga diimbau tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menghindari kewajiban THR. Jika manajemen perusahaan sengaja mengelak membayarkan THR kepada karyawan, pemerintah dapat menerapkan sanksi tegas.
Mungkin karena THR inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain. Seperti yang kita ketahui, biasanya perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat dan di kawasan Eropa membagikan bonus pada karyawan pada akhir tahun. Hal ini juga yang menjadikan pergesaran budaya belanja masyarakat Indonesia yang terjadi pada hari-hari Ramadhan.
Penukaran Uang Pecahan Kecil
Selain fenomena-fenomena di atas, fenomena lain yang terasa istimewa yang terjadi di Bulan Ramadhan adalah adanya konsentrasi massa yang lumayan besar pada halaman depan Bank Indonesia di pagi hari. Bahkan tak sedikit dari mereka yang telah mengantri sejak pukul lima pagi! Apa yang diharapkan mereka dengan rela mengantri pagi-pagi pada hari puasa yang seharusnya, bagi sebagian besar orang, sangat mengantukkan? Ya, mereka antri untuk menukarkan uang pecahan kecil. Pecahan kecil disini adalah pecahan Rp 20 ribu ke bawah. Apalagi terhitung sejak tanggal 10 Agustus 2009 kemarin, telah ditebitkan mata uang rupiah pecahan baru, yakni dua ribu rupiah.
Harian Jawa Pos pada tanggal 27 Agustus 2009, halaman 9 memberitakan bahwa terjadi peningkatan drastis penukaran uang pecahan kecil. Menurut catatan Bank Indonesia (BI) Surabaya, pada Senin (24/8) dan Selasa (25/8) jumlah penukaran uang tercatat hingga Rp 8,1 miliar. Deputi Pemimpin BI Surabaya Bidang Sistem Pembayaran dan Manajemen Internal Mohammad Ishak mengatakan bahwa pada tahun lalu selama Bulan Ramadhan penukaran uang kecil mencapai Rp 103,3 miliar. Pada tahun ini, diperkirakan ada peningkatan hingga 15 persen.
Satu-satunya alasan yang dapat saya pahami mengapa penukaran uang pecahan kecil ini marak dilakukan pada Bulan Ramadhan adalah adanya budaya memberi uang saku dari para orang tua kepada anak-anak yang merayakan Lebaran. Biasanya anak-anak (diartikan bagi mereka yang belum bekerja) akan mendapat semacam uang saku atau bonus pada saat Lebaran. Tidak hanya yang berasal dari keluarga tetapi mereka semua yang merayakan Lebaran dengan silaturahim ke rumah-rumah kerabat ataupun tetangga juga mendapat uang saku tersebut. Nah, uang saku tersebut dibagikan dengan uang pecahan kecil.
Dalam melayani penukaran uang tersebut, BI membatasi mereka yang melakukan penukaran. “Sifatnya untuk meratakan saja. Sehingga semua orang bisa menikmati pecahan uang kecil dan tidak ada aksi borong yang akhirnya diperjualbelikan,” cetus Mohammad Ishak. Tetapi hal yang dikhawatirkan oleh Mohammad Ishak tersebut terjadi. Setidaknya seperti dapat ditemui di Malang, tepatnya di daerah sekitar BI, tepatnya di jalan Merdeka Utara.
Seperti dalam Radar Malang (Jawa Pos Group) pada tanggal 30 Agustus 2009, halaman 29. Terdapat foto seorang yang sedang menjajaka uang. Uang? Ya, menjual uang! Mayoritas uang yang dijajakan adalah pecahan baru Rp 2.000. Satu gebok uang senilai Rp 200 ribu dijual antara Rp 260 ribu hingga Rp 300 ribu. Dan yang mengejutkan, para penjual uang tersebut ternyata mendapatkan uang baru itu di BI Surabaya.
Sebenarnya hal ini menunjukkan tingkat kreativitas masyarakat Indonesia yang tinggi, di mana mereka dapat mencium dan memaksimalkan peluang.
Bulan Ramadhan tidak hanya bulan yang penuh berkah, magfirah, dan ampunan, tetapi juga bulan yang penuh transaksi. Dilandasi dengan anjuran untuk memperbanyak infaq dan sedekah, ditunjang dengan adanya THR, dan budaya belanja Lebaran dan uang saku.
Catatan: Tulisan lama, September 2009. Sudah pernah dipost di note facebook.
Tetapi pada perkembangannya, efek Ramadhan tidak hanya terdapat pada nilai-nilai religius semata. Datangnya Bulan Ramadhan telah berimbas pada aspek-aspek yang lain, misalnya dari aspek sosial kemasyarakatan, aspek hukum, dan aspek ekonomi.
Meninjau pada aspek sosial kemasyarakatan, Ramadhan mengingatkan kita agar lebih peka terhadap lingkungan sosial masyarakat di sekitar kita. Karena di Bulan Ramadhan ini, kita diajarkan untuk berbanyak-banyak infaq dan sedekah. Dengan meningkatnya intensitas infaq dan sedekah merupakan cerminan dari kepedulian kita terhada sesama. Hal serupa juga terlihat bila dilhat dari aspek hukum. Setiap Lembaga Pemasyarakatan biasanya memberikan remisi atau pengurangan masa hukuman pada sebagian besar narapidana.
Yang sangat menarik adalah jika kita menilik dari sektor ekonomi. Entah mengapa, tetapi setiap datangnya Bulan Ramadhan, intensitas transaksi, aktivitas ekonomi cenderung meningkat. Mulai transaksi kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan pangan dan pakaian, hingga kebutuhan tersier.
Mari kita berbicara contoh. Sebagai awalnya kita meninjau ke pasar tradisional. Layaknya hari-hari biasa, diluar Ramadhan, tidak ada yang istimewa yang dapat kita temui pada pasar tradisional. Ketika Ramadhan tiba, bisa dipastikan bahwa jumlah transakasi pada pasar tradisional bisa meningkat hingga dua kali lipat. Pada Bulan Ramadhan, selain menyiapkan untuk kebutuhan makanan sehari-hari, juga ada tambahan kebutuhan penting lainnya, yaitu ta’jil.
Ta’jil
Belanja untuk kebutuhan ta’jil ini sangat fenomenal. Karena tidak hanya melibatkan mereka yang telah sehari- hari berkecimpung di pasar tradisional, tetapi juga menarik para pemuda untuk terjun ke pasar tradisional. Dewasa ini ta’jil telah mengalami perluasan kepentingan. Dari yang awalnya hanya sebagai sekadar hidangan pembuka bagi yang berbuka puasa, kini ta’jil telah menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Dan seperti yang telah disebutkan di atas, bisnis ta’jil tidak hanya dimonopoli oleh mereka yang “seharusnya” menyiapkan ta’jil, tetapi juga oleh para pemuda.
Mengapa bisnis ta’jil bisa begitu menarik? Satu contoh, es blewah. Saya membeli blewah yang berdiameter kurang lebih 20cm di Pasar Sama’an Malang dengan harga Rp 3.000,00. Kemudian saya olah dengan bahan tambahan setengah botol sirup dan es batu hingga menjadi satu panci besar es blewah. Dengan modal Rp 3.000 untuk blewah, Rp 5.000 untuk setengah botol sirup (es batu bikinan sendiri dan air putih sudah tersedia) bisa dikonsumsi untuk seluruh penghuni kos saya yang berjumlah 14 orang. Dan apabila kita membeli pada penjual ta’jil, kita akan menemui harga Rp 3.000,00 per porsi es blewah. Porsi yang sama dengan yang saya bagikan ke teman-teman kos dan tingkat kemanisan yang kurang.
Karena memang pada dasarnya masyarakat Indonesia memang senang dengan hal yang praktis, maka penjual ta’jil pun marak pembeli. Apalagi para penjula ta’jil sekarang sangat kreatif dan inovatif dengan “produk” yang mereka tawarkan. Silakan datang ke Jalan Soekarno Hatta Malang pada saat ngabuburit!
Kebutuhan Sandang
Setelah dari pasar tradisional, kita bepergian ke departemen store yang jamak kita temui di mal-mal yang ada di kota besar. Pada masa-masa puasa seperti ini, setiap departemen store berlomba-lomba untuk menawarkan diskon besar-besaran. Diskon ini bertujuan untuk menarik konsumen dan meningkatkan penjualan.
Kita akan menemui bertambahnya jumlah pengunjung pada hari-hari bulan puasa ini jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Entah karena sejuknya AC yang terdapat di setiap sudut departemen store tersebut sehingga melupakan kita akan dahaga, bisa jadi. Kemungkinan lainnya adalah adanya budaya yang masih melekat pada sebagian besar masyarakat Indonesia, bahwa “Lebaran, baju baru”.
Tunjangan Hari Raya (THR)
Apa yang melandasi terciptanya statement tersebut? Jika ditilik dari sisi ekonomi, ada satu fenomena yang menjelaskan mengapa budaya tersebut masih saja subur di kalangan mayoritas masyarakat Indonesia. Yaitu Tunjangan Hari Raya (THR). Bagi setiap pegawai atau karyawan, THR adalah suatu yang ditunggu-tunggu. THR merupakan tunjangan diluar gaji, bisa dikatakan bonus, yang diberikan pada setiap menjelang hari raya. Karena di Indonesia mayoritas masyarakanya beragama Islam, maka sebagian besar perusahaan atau instansi membagikan THR menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Seperti yang diwartakan oleh Jawa Pos edisi Minggu, 30 Agustus 2009 pada halaman 3, “THR Wajib Sepekan sebelum Lebaran”. Ditegaskan oleh Menakertarans Erma Suparno bahwa seluruh perusahaan wajib memberikan THR kepada karyawan maksimal sepekan sebelum Lebaran. Perusahan juga diimbau tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menghindari kewajiban THR. Jika manajemen perusahaan sengaja mengelak membayarkan THR kepada karyawan, pemerintah dapat menerapkan sanksi tegas.
Mungkin karena THR inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain. Seperti yang kita ketahui, biasanya perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat dan di kawasan Eropa membagikan bonus pada karyawan pada akhir tahun. Hal ini juga yang menjadikan pergesaran budaya belanja masyarakat Indonesia yang terjadi pada hari-hari Ramadhan.
Penukaran Uang Pecahan Kecil
Selain fenomena-fenomena di atas, fenomena lain yang terasa istimewa yang terjadi di Bulan Ramadhan adalah adanya konsentrasi massa yang lumayan besar pada halaman depan Bank Indonesia di pagi hari. Bahkan tak sedikit dari mereka yang telah mengantri sejak pukul lima pagi! Apa yang diharapkan mereka dengan rela mengantri pagi-pagi pada hari puasa yang seharusnya, bagi sebagian besar orang, sangat mengantukkan? Ya, mereka antri untuk menukarkan uang pecahan kecil. Pecahan kecil disini adalah pecahan Rp 20 ribu ke bawah. Apalagi terhitung sejak tanggal 10 Agustus 2009 kemarin, telah ditebitkan mata uang rupiah pecahan baru, yakni dua ribu rupiah.
Harian Jawa Pos pada tanggal 27 Agustus 2009, halaman 9 memberitakan bahwa terjadi peningkatan drastis penukaran uang pecahan kecil. Menurut catatan Bank Indonesia (BI) Surabaya, pada Senin (24/8) dan Selasa (25/8) jumlah penukaran uang tercatat hingga Rp 8,1 miliar. Deputi Pemimpin BI Surabaya Bidang Sistem Pembayaran dan Manajemen Internal Mohammad Ishak mengatakan bahwa pada tahun lalu selama Bulan Ramadhan penukaran uang kecil mencapai Rp 103,3 miliar. Pada tahun ini, diperkirakan ada peningkatan hingga 15 persen.
Satu-satunya alasan yang dapat saya pahami mengapa penukaran uang pecahan kecil ini marak dilakukan pada Bulan Ramadhan adalah adanya budaya memberi uang saku dari para orang tua kepada anak-anak yang merayakan Lebaran. Biasanya anak-anak (diartikan bagi mereka yang belum bekerja) akan mendapat semacam uang saku atau bonus pada saat Lebaran. Tidak hanya yang berasal dari keluarga tetapi mereka semua yang merayakan Lebaran dengan silaturahim ke rumah-rumah kerabat ataupun tetangga juga mendapat uang saku tersebut. Nah, uang saku tersebut dibagikan dengan uang pecahan kecil.
Dalam melayani penukaran uang tersebut, BI membatasi mereka yang melakukan penukaran. “Sifatnya untuk meratakan saja. Sehingga semua orang bisa menikmati pecahan uang kecil dan tidak ada aksi borong yang akhirnya diperjualbelikan,” cetus Mohammad Ishak. Tetapi hal yang dikhawatirkan oleh Mohammad Ishak tersebut terjadi. Setidaknya seperti dapat ditemui di Malang, tepatnya di daerah sekitar BI, tepatnya di jalan Merdeka Utara.
Seperti dalam Radar Malang (Jawa Pos Group) pada tanggal 30 Agustus 2009, halaman 29. Terdapat foto seorang yang sedang menjajaka uang. Uang? Ya, menjual uang! Mayoritas uang yang dijajakan adalah pecahan baru Rp 2.000. Satu gebok uang senilai Rp 200 ribu dijual antara Rp 260 ribu hingga Rp 300 ribu. Dan yang mengejutkan, para penjual uang tersebut ternyata mendapatkan uang baru itu di BI Surabaya.
Sebenarnya hal ini menunjukkan tingkat kreativitas masyarakat Indonesia yang tinggi, di mana mereka dapat mencium dan memaksimalkan peluang.
Bulan Ramadhan tidak hanya bulan yang penuh berkah, magfirah, dan ampunan, tetapi juga bulan yang penuh transaksi. Dilandasi dengan anjuran untuk memperbanyak infaq dan sedekah, ditunjang dengan adanya THR, dan budaya belanja Lebaran dan uang saku.
Catatan: Tulisan lama, September 2009. Sudah pernah dipost di note facebook.
Selasa, 26 Juli 2011
Dibalik Layar 21
Bagaimana reaksi teman-teman ketika ada kabar bahwa film impor populer (Hollywood) tidak lagi masuk ke bioskop Indonesia? Reaksi awal kita pasti berkomentar menghujat pemerintah sebagai ungkapan kekecewaan terhadap pemblokiran film asing ini. Salah satu komentar penggemar film Box Office mungkin seperti ini, “Apakah kita sudah tidak boleh menonton film berkualitas, dan disuguhkan film tidak berkualitas seperti film-film hantu yang berbau seks?” Saya paham kekecewaan itu, bahkan seorang teman sampai terlihat kebingungan, atau bahkan bisa disebut kehilangan harapan. Bahkan tak sedikit pula yang mengancam akan memilih melancong ke Singapore demi menonton premiere film-film tersebut.
Sampai minggu lalu ketika muncul berita bahwa film Harry Potter dan Transformers terbaru telah masuk ke LSF dan akan segera tayang membuat para penggemar film berteriak gembira. Berita ini semacam berkah tersendiri bagi penggila film-film tersebut.
Saya bertanya-tanya, setelah sekian banyak olok-olok yang mereka lempar baik dalam obrolan atau social media,apakah mereka kini akan berterima kasih dan memuji-muji Menbudpar yang paling berperan dalam kembalinya film Box Office ke Indonesia ini? Hehehe.
Saya pribadi tidak terlalu concern dengan masalah ini. Setelah begitu mudahnya mendownload film dan tersedia di warnet-warnet, saya jadi tidak begitu peduli dengan kasus ini. Toh, saya juga jarang nonton di bioskop. Hihihi.
Hingga pada tanggal 21 Juli kemarin, saya pantengin twit @aparatmati yang sedang me-retweet kultwit @ilham_bintang tentang kisruh film impor ini. Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah kalian para die hard fans Harry Potter dan Transformers dan X-Men, dan apa saja itu, apakah kalian pernah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik ini semua?
Setelah saya baca kultwit Pak Ilham Bintang yang merupakan Pemimpin redaksi Tabloid Cek dan Ricek ini saya sedikit banyak paham kasus yang sedang terjadi ini. Dan jika ditelusuri lebih jauh, ujung-ujungnya ada campur tangan politis di dalam masalah ini. Saya cuma ingin menunjukkan fakta-fakta sederhana dibalik layar 21 ini.
Sebelumnya kita harus paham, bahwa film-film impor itu bisa tayang karena ada perusahaan film impor yang memang bisnisnya mengimpor film dan menayangkannya di bioskop-bioskop Indonesia. Layaknya barang impor, maka setiap barang impor tentunya harus dibebani pajak bea cukai. Di-stop-nya film Box Office beberapa waktu yang lalu itu karena perusahaan pengimpor film-film Hollywood itu, Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Esthetika masih memiliki kewajiban membayar bea masuk dan denda sebesar 250 milyar rupiah yang jatuh tempo pada 12 Maret kemarin. Jadi wajar kan perusahaan mereka diblokir dan diharuskan melunasi kewajibannya, karena itu uang Negara yang dikemplang.
Nah, angin segar yang berhembus bagi penggemar film kemarin itu karena muncul perusahaan film baru yang bersedia mengimpor film-film Box Office tersebut yang harganya tentu juga sangat tinggi. Perusahaan tersebut adalah PT Omega Film. Namun JB Kristanto, seorang kritikus film dalam tulisannya di Kompas membuktikan bahwa PT Omega Film ini adalah “pemain lama”, yaitu didirikan oleh orang-orang dari perusahaan film yang diblokir tadi. Dan PT Omega Film ini dikesankan sebagai perusahaan baru yang artinya tidak harus memiliki kewajiban membayar 250 milyar rupiah itu.
Loh, tapi kan urusannya tetap pada Camila dan Satrya Internusa? Adalah sebuah kebebasan jika muncul perusahaan baru, Omega. Di sini liciknya mereka. Para owner dan direksi Camila dan Satrya rame-rame mengundurkan diri dan digantikan para karyawan kecil (lower level). Sehingga jika kedua perusahaan tersebut tidak bisa melunasi hutang pajaknya dan dilakukan penyitaan asset, Negara hanya dapat sepeda motor dan rumah BTN.
Lalu dimana pertanggungjawaban mereka terhadap Negara? Setelah sekian lama mereka menikmati guyuran rupiah dari antusiasme masyarakat Indonesia, seharusnya mereka juga harus membayar kewajiban kepada Negara. Oke, pandangan kasarnya, jika pajaknya saja 250 milyar, tentu laba dan penghasilannya pun berkali-kali lipat. Iya, kan?
Permasalahan ini pun menjadi “pertengkaran” di tingkat menteri. Yaitu Menbudpar yang mendukung Omega dan di sisi satunya Menkeu yang bersikeras memblokir Omega melakukan bisnisnya sebelum melunasi kewajiban pendahulunya itu. Tapi saya kira tidak perlu saya tuliskan karena nanti akan mencakup berbagai hal, mulai nasionalisme hingga adanya kepentingan politis dari lingkup Cikeas di balik kasus ini. Belum lagi adanya isu monopoli dari PT Omega dan juga yang telah dilakukan pendahulunya, yang anehnya sangat didukung MPAA (Motion Picture Association of America) produsen film-film Box Office tersebut. Jelas sangat aneh jika menilik bahwa Amerika adalah Negara yang menggembar-gemborkan free market.
Ini hanya pemaparan sederhana, pemaparan “gampang-gampangan”. Dan, yaah, seperti inilah kenyataannya. Saya sih sedikit merasa bersalah, karena juga sedikit nonton bioskop. Karena sedikit pula uang yang saya bayar yang harusnya dibayarkan ke Negara tetapi tidak dibayarkan oleh perusahaan impor film tersebut, hehe.
Lalu apa solusi saya jika ingin nonton film-film tersebut? Walaupun sama-sama ilegalnya, tapi saya lebih nyaman nonton dari hasil download-an atau beli dvd bajakan. Jika saya harus menjadi pencuri, maka saya memilih menjadi Robin Hood. Jadi masih oke lah merugikan produsen film Amerika daripada merugikan Negara, hehehe. Atau jika mau lebih beradab ya kita nyewa aja di tempat rental vcd/dvd.
Pertanyaan terakhir saya, bagaimana menurut kalian yang menganggap bioskop sebagai “tempat ibadah” setelah mengetahui bahwa apa yang dipujanya ternyata tidak suci?
Minggu, 24 Juli 2011
Debut Bagus Wim Atas Pertolongan Riedl
Kemarin malam (23/7) Timnas Indonesia berhasil menahan imbang tuan rumah Turkmenistan dalam pertandingan preliminary Piala Dunia 2014. Bagi masyarakat bola Indonesia, hal ini merupakan suatu prestasi tersendiri bagi kepengurusan PSSI yang baru. Dengan mengeyampingkan bahwa posisi Turkmenistan yang berada di bawah Indonesia dalam peringkat FIFA, namun kondisi PSSI belakangan ini jelas sangat mengganggu persiapan dan konsentrasi Timnas Indonesia.
Mulai dari pelaksanaan Kongres PSSI di Pekanbaru, munculnya Kelompok 78, pembentukan Tim Normalisasi, hingga Kongres Luar Biasa yang terjadi dua kali. Kongres Luar Biasa PSSI yang kedua pada tanggal 9 Juli 2011 berhasil memilih Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Anggota Exco PSSI. Tidak berhenti di situ, pemanggilan pemusatan latihan Timnas yang terus diundur pun harus menerima keputusan tidak popular yang diambil Ketua Umum PSSI yang baru,
Djohar Arifin, yaitu pemecatan pelatih Alfred Riedl.
Terhitung sejak 13 Juli 2011, Alfred Riedl sudah tidak lagi menangani Timnas Indonesia. Berbagai alasan dikemukakan oleh Djohar Arifin, mulai untuk penyegaran hingga masalah kontrak. Riedl pun tidak tinggal diam dan mengancam akan membawa kasus ini ke FIFA. Bahkan hingga detik ini masalah ini masih belum menemui titik terang.
Pada tanggal 13 Juli 2011 pula, PSSI mengumumkan bahwa Timnas akan diganti oleh Wim Rijsbergen. Pelatih yang saat ditunjuk masih menjabat sebagai pelatih PSM Makassar dan dengan curriculum vitae pernah menjadi asisten pelatih Trinidad&Tobago dalam Piala Dunia 2006. Mungkin mayoritas penggila bola tanah air masih asing dengan nama ini. Dan kita tentu saja bertanya-tanya apakah bisa pelatih yang belum begitu mengenal karakter pemain Indonesia (Wim baru menukangi PSM pada Januari 2011) membawa kita lolos dari hadangan Turkmenistan hanya dalam waktu kurang dari 10 hari?
Pada latihan-latihan awal Timnas pun Wim hanya mengamati dari pinggir lapangan, Timnas berlatih atas arahan Asisten Pelatih Rahmad Darmawan. Wim berkoar pada media massa bahwa dia akan mengusung strategi menyerang dengan formasi 4-3-3 dikombinasikan dengan 4-2-3-1. “Saya ingin Timnas memainkan sepakbola kreatif dan ofensif. Kalau Anda melihat bagaimana Spanyol dan Barcelona main, ya seperti itulah kira-kira saya ingin membentuk timnas.”
Optimisme Wim memang patut diacungi jempol. Dia menebarkan komentar-komentar positif daripada mengumbar keluhan-keluhan seperti yang dilontarkan pelatih-pelatih Timnas sebelumnya sebagai antisipasi dari ekspektasi berlebihan masyarakata Indonesia. Namun pertanyaannya, bukankah tim-tim yang disebutkan Wim, Spanyol dan Barcelona tidak terbentuk begitu saja? Pasti perlu proses yang panjang. Ditambah pula pergantian strategi yang begitu frontal. Belum juga mempertimbangkan adaptasi pemain. Dan lagi-lagi waktu yang cuma dalam hitungan hari.
…
Pertandingan kemarin memang patut disyukuri karena kita bisa menahan imbang tuan rumah Turkmenistan. Apalagi dengan mencuri gol di kandang lawan, akan semakin memudahkan langkah kita di leg kedua pada Kamis, 28 Juli nanti. Cukup dengan hasil 0-0 kita bisa lolos ke babak selanjutnya.
Menepikan fakta bahwa lapangan Olympic Stadium, Ashgabat memang benar-benar buruk dan juga gagalnya dua punggawa Timnas (Toni Sucipto dan Wahyu Wijiasnanto) yang gagal berangkat karena masalah visa, permainan Timnas Indonesia kemarin patut diberi apresiasi. Stamina, faktor yang sangat ditakutkan ternyata tidak benar-benar terbukti. Bahkan kita baru melakukan pergantian pemain pada menit ke-86 (Supardi menggantikan M. Nasuha).
Timnas memang sempat gugup di awal pertandingan sehingga kemasukan gol pada menit ke-11 melalui tendangan bebas Krendelev Vyacheslav. Namun setelah itu berangsur kita bisa menguasai pertandingan dengan memainkan bola di lapangan tengah oleh Ahmad Bustomi dan Firman Utina sebelum melebar ke sayap.
Menurut saya pola yang diterapkan Timnas kemarin adalah pola peninggalan Alfred Riedl. Dengan formasi awal 4-4-2 konvensional (bukan 4-3-3 atau 4-2-3-1 seperti yang dikoarkan) dan penempatan pemain seperti era Riedl. Zulkifly (bek kanan) dan M. Nasuha (bek kiri) adalah peninggalan Riedl. Lapangan tengah masih dikuasai Ahmad Bustomi dan Firman Utina yang berperan lebih sebagai Central Midfielder daripada Attacking Midfielder. Dan tentu saja sang Target Man Christian Gonzales yang ditinggal sendirian di depan.
Secara permainan pun masih belum menuju ke arah permainan cantik seperti yang dijanjikan Wim. Mungkin memang karena faktor buruknya lapangan sehingga permainan pendek ala Spanyol dan Barcelona urung terlihat. Kemarin Timnas masih mengandalkan lebar lapangan yang diisi oleh M. Ridwan dan M. Ilham untuk menusuk dan sesekali dibantu Zulkifly dan M. Nasuha. Ahmada Bustomi dan Firman Utina hanya sebagai peredam serangan pertama dan juga jembatan untuk dialirkan ke sisi lapangan. Jika mentok maka pemain belakang akan langsung melayangkan bola daerah kepada Boaz.
Seperti yang dikatakan Benny Dollo dalam sebuah media sebelum pertandingan, “Timnas sebaiknya tidak mengubah gaya bermain seperti taktik yang pernah diajarkan Alfred Riedl. Saat AFF lalu, para pemain sudah terlihat sangat kompak. Riskan bagi mereka jika harus mengikuti strategi dari Wim Rijsbergen.”
Pada kenyataannya (menurut saya) Timnas memang masih menggunakan strategi Alfred Riedl. Entah karena Toni Sucipto tidak jadi berangkat, yang tadinya akan menjadi tandem Ahmad Bustomi di posisi gelandang bertahan, sehingga tidak memungkinkan menggunakan formasi 4-2-3-1, yang jelas 4-4-2 versi Riedl kemarin berhasil menahan imbang Turkmenistan.
Namun kredit untuk Wim, sepertinya Wim telah membenahi mental bertanding Timnas Indonesia. Pada media dia pernah menyebutkan bahwa mental pemain adalah fokus utamanya. “Dalam latihan saya akan memperbaiki mental pemain dan membuat mereka termotivasi memenangkan pertandingan,” tuturnya. Dan seperti yang telah kita lihat bersama, Timnas kemarin sangat termotivasi dan bertarung mengerahkan seluruh tenaganya mengalahkan cuaca panas, lapangan buruk, dan masalah stamina.
Terlepas dari itu semua, ini adalah awal yang bagus buat Wim Rijsbergen. Untuk PSSI, segera tuntaskan kontrak Wim Rijsbergen, jangan membuat kesalahan sebagaimana yang telah kalian permasalahkan (kontrak Alfred Riedl). Dan untuk Wim, teruslah menebar optimisme. Bukan tidak mungkin kau membawa Timnas ke Piala Dunia seperti yang telah kau lakukan untuk Trinidad&Tobago. Bawa Garuda terbang ke Brasil pada 2014. Amin.
Mulai dari pelaksanaan Kongres PSSI di Pekanbaru, munculnya Kelompok 78, pembentukan Tim Normalisasi, hingga Kongres Luar Biasa yang terjadi dua kali. Kongres Luar Biasa PSSI yang kedua pada tanggal 9 Juli 2011 berhasil memilih Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Anggota Exco PSSI. Tidak berhenti di situ, pemanggilan pemusatan latihan Timnas yang terus diundur pun harus menerima keputusan tidak popular yang diambil Ketua Umum PSSI yang baru,
Djohar Arifin, yaitu pemecatan pelatih Alfred Riedl.
Terhitung sejak 13 Juli 2011, Alfred Riedl sudah tidak lagi menangani Timnas Indonesia. Berbagai alasan dikemukakan oleh Djohar Arifin, mulai untuk penyegaran hingga masalah kontrak. Riedl pun tidak tinggal diam dan mengancam akan membawa kasus ini ke FIFA. Bahkan hingga detik ini masalah ini masih belum menemui titik terang.
Pada tanggal 13 Juli 2011 pula, PSSI mengumumkan bahwa Timnas akan diganti oleh Wim Rijsbergen. Pelatih yang saat ditunjuk masih menjabat sebagai pelatih PSM Makassar dan dengan curriculum vitae pernah menjadi asisten pelatih Trinidad&Tobago dalam Piala Dunia 2006. Mungkin mayoritas penggila bola tanah air masih asing dengan nama ini. Dan kita tentu saja bertanya-tanya apakah bisa pelatih yang belum begitu mengenal karakter pemain Indonesia (Wim baru menukangi PSM pada Januari 2011) membawa kita lolos dari hadangan Turkmenistan hanya dalam waktu kurang dari 10 hari?
Pada latihan-latihan awal Timnas pun Wim hanya mengamati dari pinggir lapangan, Timnas berlatih atas arahan Asisten Pelatih Rahmad Darmawan. Wim berkoar pada media massa bahwa dia akan mengusung strategi menyerang dengan formasi 4-3-3 dikombinasikan dengan 4-2-3-1. “Saya ingin Timnas memainkan sepakbola kreatif dan ofensif. Kalau Anda melihat bagaimana Spanyol dan Barcelona main, ya seperti itulah kira-kira saya ingin membentuk timnas.”
Optimisme Wim memang patut diacungi jempol. Dia menebarkan komentar-komentar positif daripada mengumbar keluhan-keluhan seperti yang dilontarkan pelatih-pelatih Timnas sebelumnya sebagai antisipasi dari ekspektasi berlebihan masyarakata Indonesia. Namun pertanyaannya, bukankah tim-tim yang disebutkan Wim, Spanyol dan Barcelona tidak terbentuk begitu saja? Pasti perlu proses yang panjang. Ditambah pula pergantian strategi yang begitu frontal. Belum juga mempertimbangkan adaptasi pemain. Dan lagi-lagi waktu yang cuma dalam hitungan hari.
…
Pertandingan kemarin memang patut disyukuri karena kita bisa menahan imbang tuan rumah Turkmenistan. Apalagi dengan mencuri gol di kandang lawan, akan semakin memudahkan langkah kita di leg kedua pada Kamis, 28 Juli nanti. Cukup dengan hasil 0-0 kita bisa lolos ke babak selanjutnya.
Menepikan fakta bahwa lapangan Olympic Stadium, Ashgabat memang benar-benar buruk dan juga gagalnya dua punggawa Timnas (Toni Sucipto dan Wahyu Wijiasnanto) yang gagal berangkat karena masalah visa, permainan Timnas Indonesia kemarin patut diberi apresiasi. Stamina, faktor yang sangat ditakutkan ternyata tidak benar-benar terbukti. Bahkan kita baru melakukan pergantian pemain pada menit ke-86 (Supardi menggantikan M. Nasuha).
Timnas memang sempat gugup di awal pertandingan sehingga kemasukan gol pada menit ke-11 melalui tendangan bebas Krendelev Vyacheslav. Namun setelah itu berangsur kita bisa menguasai pertandingan dengan memainkan bola di lapangan tengah oleh Ahmad Bustomi dan Firman Utina sebelum melebar ke sayap.
Menurut saya pola yang diterapkan Timnas kemarin adalah pola peninggalan Alfred Riedl. Dengan formasi awal 4-4-2 konvensional (bukan 4-3-3 atau 4-2-3-1 seperti yang dikoarkan) dan penempatan pemain seperti era Riedl. Zulkifly (bek kanan) dan M. Nasuha (bek kiri) adalah peninggalan Riedl. Lapangan tengah masih dikuasai Ahmad Bustomi dan Firman Utina yang berperan lebih sebagai Central Midfielder daripada Attacking Midfielder. Dan tentu saja sang Target Man Christian Gonzales yang ditinggal sendirian di depan.
Secara permainan pun masih belum menuju ke arah permainan cantik seperti yang dijanjikan Wim. Mungkin memang karena faktor buruknya lapangan sehingga permainan pendek ala Spanyol dan Barcelona urung terlihat. Kemarin Timnas masih mengandalkan lebar lapangan yang diisi oleh M. Ridwan dan M. Ilham untuk menusuk dan sesekali dibantu Zulkifly dan M. Nasuha. Ahmada Bustomi dan Firman Utina hanya sebagai peredam serangan pertama dan juga jembatan untuk dialirkan ke sisi lapangan. Jika mentok maka pemain belakang akan langsung melayangkan bola daerah kepada Boaz.
Seperti yang dikatakan Benny Dollo dalam sebuah media sebelum pertandingan, “Timnas sebaiknya tidak mengubah gaya bermain seperti taktik yang pernah diajarkan Alfred Riedl. Saat AFF lalu, para pemain sudah terlihat sangat kompak. Riskan bagi mereka jika harus mengikuti strategi dari Wim Rijsbergen.”
Pada kenyataannya (menurut saya) Timnas memang masih menggunakan strategi Alfred Riedl. Entah karena Toni Sucipto tidak jadi berangkat, yang tadinya akan menjadi tandem Ahmad Bustomi di posisi gelandang bertahan, sehingga tidak memungkinkan menggunakan formasi 4-2-3-1, yang jelas 4-4-2 versi Riedl kemarin berhasil menahan imbang Turkmenistan.
Namun kredit untuk Wim, sepertinya Wim telah membenahi mental bertanding Timnas Indonesia. Pada media dia pernah menyebutkan bahwa mental pemain adalah fokus utamanya. “Dalam latihan saya akan memperbaiki mental pemain dan membuat mereka termotivasi memenangkan pertandingan,” tuturnya. Dan seperti yang telah kita lihat bersama, Timnas kemarin sangat termotivasi dan bertarung mengerahkan seluruh tenaganya mengalahkan cuaca panas, lapangan buruk, dan masalah stamina.
Terlepas dari itu semua, ini adalah awal yang bagus buat Wim Rijsbergen. Untuk PSSI, segera tuntaskan kontrak Wim Rijsbergen, jangan membuat kesalahan sebagaimana yang telah kalian permasalahkan (kontrak Alfred Riedl). Dan untuk Wim, teruslah menebar optimisme. Bukan tidak mungkin kau membawa Timnas ke Piala Dunia seperti yang telah kau lakukan untuk Trinidad&Tobago. Bawa Garuda terbang ke Brasil pada 2014. Amin.
Selasa, 19 Juli 2011
BBM sosial yang tidak disosialisasi
Jaman sekarang, siapa pemuda yang tidak memiliki motor pribadi? Saya yakin sebagian besar pemuda memiliki motor pribadi. Mungkin bisa jadi hadiah ulang tahun ke-17. Namun yang lebih marak adalah sebagai hadiah naik kelas. Masuk SMA bisa tidak bisa harus dibelikan motor, malu sama temennya yang udah bawa motor sendiri sejak SMP. Masuk kuliah harus bawa motor, kan buat transportasi di kota perantauan. Atau mungkin bagi yang agak kaya dibelikan mobil atas nama gengsi. Mobil berpenumpang 4 orang tapi yang 3 mubadzir.
Ada joke di kalangan anak muda, “Melihat seseorang itu jangan dari penampilannya, tapi dari kepribadiannya. Motor pribadi, mobil pribadi, rumah pribadi, dll.” Hehehe. Yeah. Ternyata banyak juga pemuda yang menangkap serius guyonan itu. Setidaknya kendaraan pribadi menjadi kebutuhan penting, (bahkan wajib). Atau mungkin memeiliki motor pribadi adalah hak sebagai anak.
Lalu mari kita berkhayal bertanya mereka apa motivasi memiliki motor pribadi. Mungkin ada yang menjawab, “Aku kan udah SMA, ya sudah seharusnya dong dibeliin motor.” Ada juga, “Temen-temenku pada punya motor semua masa aku gak?” Lalu, “Kemarin papa kan sudah janji kalo aku masuk SMA 2 aku dibeliin mobil.” Atau yang paling standar, “Ya, sebagai alat transportasilah..”
Hmm.. Berarti potret pemuda sekarang ini seperti gerakan “1 siswa 1 sepeda motor”. Hehehe. Okelah, mereka tumbuh dan mobilisasi semakin tinggi, maka sangat butuh alat transportasi pribadi. Namun, sayangnya penggunaan transportasi ini juga keterlaluan. Kadang cuma ke warung yang jaraknya 20 m saja kita menggunakan sepeda motor. Ya kan?
Konsumsi kendaraan bermotor yang berlebihan sejalan dengan konsumsi BBM (premium) yang semakin gila-gilaan. Yang kita konsumsi itu adalah BBM bersubsidi yang mana sebenarnya ditujukan untuk golongan masyarakat tidak mampu. Tapi pada prakteknya belum tepat sasaran. Karena penikmat BBM bersubsidi ini mayoritas masih masyarakat menengah ke atas.
Lalu ketika tersiar isu harga BBM akan naik kita beramai-ramai menghujat pemerintah. Berteriak-teriak pemerintah tidak adil hingga mencap pemerintah tidak pro-rakyat kecil.
Sebentar, apa sih BBM bersubsidi itu? Gampangnya, kita tuh beli bensin yang sudah didiskon pemerintah. Jadi bensin yang kita pakai ke mana-mana itu adalah bensin yang pembayarannya dibantu pemerintah melalui APBN. Sudah gini aja, bagi yang masih tanya uang pajak kita dibuat apa, kongretnya salah satunya dipakai buat motong harga bensin kita itu.
FYI, APBN untuk subsidi BBM di tahun 2011 adalah sebesar 95 triliun rupiah. Inipun bukan tanpa perhitungan dan sudah meningkat sekitar 5% dari jumlah APBN 2010. Namun parahnya, hingga semester pertama 2011 ini kita sudah menggunakannya hampir 60%. Jadi buat bantu kita beli bensin, hingga sekarang pemerintah sudah menghabiskan kurang lebih 57 triliun rupiah.
Nah, karena hingga pertengahan tahun kita sudah menghabiskan hampir 60%, jika tidak ada perubahan APBN kemungkinan subsidi akan habis sebelum akhir tahun. Kalau mau fair, jika subsidi habis maka mau tidak mau kita harus menerima resiko harga BBM (premium) akan naik. Cukup adil kan? Toh kita sendiri yang mengkonsumsi.
Hal-hal semacam inilah yang sering diabaikan masyarakat. Mereka tidak mau tahu dan hanya menuntut. Disayangkan juga pola hidup mereka yang mulai bergantung pada kendaraan bermotor. Bergantung pada kendaraan bermotor berarti bergantung pula pada BBM. Dan mereka hanya paham harga BBM 4500 adalah harga wajar, masa bodoh apa itu subsidi dan bagaimana fluktuasi harga minyak dunia.
Yahh..ini bukan analisis mendalam para ekonom. Juga bukan prediksi pintar para ahli. Ini cuma merupakan potret sederhana kondisi saat ini. Saya masih percaya hukum timbal balik. Kalau mau dipahami orang, maka kita harus memahami orang lain. Jika kita mau pemerintah memahami kesulitan kita, kita juga harus paham bagaimana sulitnya posisi pemerintah. Saling bekerjasama saja lah. Jika kita tidak mau subsidi BBM dicabut, maka kita juga harus dengan bijak menggunakannya.
Ada joke di kalangan anak muda, “Melihat seseorang itu jangan dari penampilannya, tapi dari kepribadiannya. Motor pribadi, mobil pribadi, rumah pribadi, dll.” Hehehe. Yeah. Ternyata banyak juga pemuda yang menangkap serius guyonan itu. Setidaknya kendaraan pribadi menjadi kebutuhan penting, (bahkan wajib). Atau mungkin memeiliki motor pribadi adalah hak sebagai anak.
Lalu mari kita berkhayal bertanya mereka apa motivasi memiliki motor pribadi. Mungkin ada yang menjawab, “Aku kan udah SMA, ya sudah seharusnya dong dibeliin motor.” Ada juga, “Temen-temenku pada punya motor semua masa aku gak?” Lalu, “Kemarin papa kan sudah janji kalo aku masuk SMA 2 aku dibeliin mobil.” Atau yang paling standar, “Ya, sebagai alat transportasilah..”
Hmm.. Berarti potret pemuda sekarang ini seperti gerakan “1 siswa 1 sepeda motor”. Hehehe. Okelah, mereka tumbuh dan mobilisasi semakin tinggi, maka sangat butuh alat transportasi pribadi. Namun, sayangnya penggunaan transportasi ini juga keterlaluan. Kadang cuma ke warung yang jaraknya 20 m saja kita menggunakan sepeda motor. Ya kan?
Q: Heh, kamu ini sensi sekali kayak gak punya motor aja, kayak pas SMA gak minta motor aja!!!Bukan apa-apa, tapi yang saya sayangkan adalah konsumsi kendaraan bermotor yang sangat berlebihan. Setidaknya hampir setiap rumah di Indonesia memiliki satu sepeda motor (bahkan lebih). Menjamurnya motor seiring dengan maraknya perusahaan perkreditan. Belum mapan? Tenang, Anda bisa mengangsur selama 5 tahun!!! Alamaaak! Demi gengsi motor semata!
A: Well, saya praktis gak punya motor pribadi sejak tahun ketiga kuliah. Motor saya, saya kasihkan saudara saya yang lebih butuh kendaraan. Ya, SMA saya juga pake motor untuk transportasi, tapi saya tidak minta, saya pake motor yang ada di rumah.
Konsumsi kendaraan bermotor yang berlebihan sejalan dengan konsumsi BBM (premium) yang semakin gila-gilaan. Yang kita konsumsi itu adalah BBM bersubsidi yang mana sebenarnya ditujukan untuk golongan masyarakat tidak mampu. Tapi pada prakteknya belum tepat sasaran. Karena penikmat BBM bersubsidi ini mayoritas masih masyarakat menengah ke atas.
Lalu ketika tersiar isu harga BBM akan naik kita beramai-ramai menghujat pemerintah. Berteriak-teriak pemerintah tidak adil hingga mencap pemerintah tidak pro-rakyat kecil.
Sebentar, apa sih BBM bersubsidi itu? Gampangnya, kita tuh beli bensin yang sudah didiskon pemerintah. Jadi bensin yang kita pakai ke mana-mana itu adalah bensin yang pembayarannya dibantu pemerintah melalui APBN. Sudah gini aja, bagi yang masih tanya uang pajak kita dibuat apa, kongretnya salah satunya dipakai buat motong harga bensin kita itu.
FYI, APBN untuk subsidi BBM di tahun 2011 adalah sebesar 95 triliun rupiah. Inipun bukan tanpa perhitungan dan sudah meningkat sekitar 5% dari jumlah APBN 2010. Namun parahnya, hingga semester pertama 2011 ini kita sudah menggunakannya hampir 60%. Jadi buat bantu kita beli bensin, hingga sekarang pemerintah sudah menghabiskan kurang lebih 57 triliun rupiah.
Nah, karena hingga pertengahan tahun kita sudah menghabiskan hampir 60%, jika tidak ada perubahan APBN kemungkinan subsidi akan habis sebelum akhir tahun. Kalau mau fair, jika subsidi habis maka mau tidak mau kita harus menerima resiko harga BBM (premium) akan naik. Cukup adil kan? Toh kita sendiri yang mengkonsumsi.
Hal-hal semacam inilah yang sering diabaikan masyarakat. Mereka tidak mau tahu dan hanya menuntut. Disayangkan juga pola hidup mereka yang mulai bergantung pada kendaraan bermotor. Bergantung pada kendaraan bermotor berarti bergantung pula pada BBM. Dan mereka hanya paham harga BBM 4500 adalah harga wajar, masa bodoh apa itu subsidi dan bagaimana fluktuasi harga minyak dunia.
Yahh..ini bukan analisis mendalam para ekonom. Juga bukan prediksi pintar para ahli. Ini cuma merupakan potret sederhana kondisi saat ini. Saya masih percaya hukum timbal balik. Kalau mau dipahami orang, maka kita harus memahami orang lain. Jika kita mau pemerintah memahami kesulitan kita, kita juga harus paham bagaimana sulitnya posisi pemerintah. Saling bekerjasama saja lah. Jika kita tidak mau subsidi BBM dicabut, maka kita juga harus dengan bijak menggunakannya.
Sabtu, 16 Juli 2011
Stroke Life Style
Beberapa minggu yang lalu ayah saya masuk rumah sakit dan didiagnosa terkena stroke ringan. Ada sumbatan di pembuluh darah pada otak kiri dan menyebabkan mati rasa di seluruh tubuh bagian kanan. Masih bisa digerakin sih, tapi mati rasa.
Kalau tidak salah penyebab dari stroke adalah gaya hidup yang tidak sehat. Mulai dari makanan yang berkolesterol dan mengandung lemak tinggi dan rendah serat, makanan siap saji dan juga jarang berolah raga. Memang sih, ini menjadi puncak gunung es kehidupan orang kantoran, makan enak dan jarang berolah raga.
Hal ini membuat saya mengingat-ingat, ayah saya yang termasuk "orang dulu" sering bercerita kalau berangkat ke sekolah beliau harus berjalan kaki sekitar 10km setiap harinya. Orang dulu makanannya juga masih terbilang sehat. Belum mengenal fastfood (junkfood), makan seafood juga jarang.
Nah! Bandingkan dengan gaya hidup kita (pemuda) sekarang???? Berapa kali dalam sebulan kita mengkonsumsi makanan cepat saji? Kapan terakhir kita berkeringat bukan karena kepanasan?
Kehidupan modern memaksa kita untuk serba cepat dan instan. Semakin hari kita semakin bergantung pada mesin. Mau makan tinggal telpon. Aktivitas seharian di depan layar kaca digital. Juga ketergantungan dengan alat bantu gerak bernama kendaraan bermotor.
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Kecenderungannya menyerang generasi muda yang masih produktif. Nah lo!
Yasudah, cuma mengingatkan saja. Tetap sehat ya, teman-teman! :D
Kalau tidak salah penyebab dari stroke adalah gaya hidup yang tidak sehat. Mulai dari makanan yang berkolesterol dan mengandung lemak tinggi dan rendah serat, makanan siap saji dan juga jarang berolah raga. Memang sih, ini menjadi puncak gunung es kehidupan orang kantoran, makan enak dan jarang berolah raga.
Hal ini membuat saya mengingat-ingat, ayah saya yang termasuk "orang dulu" sering bercerita kalau berangkat ke sekolah beliau harus berjalan kaki sekitar 10km setiap harinya. Orang dulu makanannya juga masih terbilang sehat. Belum mengenal fastfood (junkfood), makan seafood juga jarang.
Nah! Bandingkan dengan gaya hidup kita (pemuda) sekarang???? Berapa kali dalam sebulan kita mengkonsumsi makanan cepat saji? Kapan terakhir kita berkeringat bukan karena kepanasan?
Kehidupan modern memaksa kita untuk serba cepat dan instan. Semakin hari kita semakin bergantung pada mesin. Mau makan tinggal telpon. Aktivitas seharian di depan layar kaca digital. Juga ketergantungan dengan alat bantu gerak bernama kendaraan bermotor.
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Kecenderungannya menyerang generasi muda yang masih produktif. Nah lo!
Yasudah, cuma mengingatkan saja. Tetap sehat ya, teman-teman! :D
Kamis, 07 Juli 2011
circuitsop
halo?
baik-baik saja di sini? di sana?
saya cuma menengok sebentar saja.
yah, beginilah..
circuit saya sedang stuck.
loh, bukankah ini halaman untuk menuangkannya?
sayangnya saat ini benar-benar sedang tidak bisa berputar.
saya tidak biasa membagi kabar buruk.
saya selalu lebih memilih diam.
saya terlalu egois untuk berbagi masalah.
iya, iya mblok, saya bukan superman.
saya cuma spiderman yang masih terombang-ambing.
yang masih bingung mau bercerita kepada siapa.
saya terlalu egois untuk menjadi egois.
baik-baik saja di sini? di sana?
saya cuma menengok sebentar saja.
yah, beginilah..
circuit saya sedang stuck.
loh, bukankah ini halaman untuk menuangkannya?
sayangnya saat ini benar-benar sedang tidak bisa berputar.
saya tidak biasa membagi kabar buruk.
saya selalu lebih memilih diam.
saya terlalu egois untuk berbagi masalah.
iya, iya mblok, saya bukan superman.
saya cuma spiderman yang masih terombang-ambing.
yang masih bingung mau bercerita kepada siapa.
saya terlalu egois untuk menjadi egois.
Minggu, 19 Juni 2011
Skripsistuck
Jadi gini, saya ini kan lagi nulis skripsi tentang strategi pengembangan perbankan syariah di Indonesia, secara makro, lha teori-teori strategi itu kebanyakan mikro…
Trus, bicara strategi perusahaan, di mana-mana ujungnya juga laba. Sementara bank syariah yang dikenal mengutamakan keadilan akhirnya harus mengakui kalau juga mencari laba.
Akhirnya kembali lagi. Capitalism rules.
Saya seperti sedang mempertanyakan agama…
Trus, bicara strategi perusahaan, di mana-mana ujungnya juga laba. Sementara bank syariah yang dikenal mengutamakan keadilan akhirnya harus mengakui kalau juga mencari laba.
Akhirnya kembali lagi. Capitalism rules.
Saya seperti sedang mempertanyakan agama…
BEBEK
Ada lagi “oleh-oleh” dari Workshop Perbankan Syariah di Pasuruan. Saat itu Pak Arie Mooduto menjelaskan tentang keunggulan ekonomi Islam dengan menunjukkan bahwa surat kabar resmi Vatikan dalam artikel yang ditulis Loretta Napoleoni pada Maret 2009 menyebut bahwa sistem ekonomi syariah bisa menjadi solusi untuk menggantikan sistem ekonomi konvensional yang disebutnya rogue economic.
Kemudian Pak Arie berulang-ulang meyakinkan peserta workshop bahwa sistem ekonomi syariah merupakan sistem yang terbaik bagi umat manusia. Kasarannya gini, “Vatikan saja mengakui, masa kita umat muslim masih meragukan?”
Nah, kalo sudah ada bukti diakui “bangsa barat” begitu biasanya kita cepat percaya. Apalagi yang mengakui adalah pihak yang kontras.
Tapi di sini masalahnya, apa kita harus menunggu diakui mereka dahulu untuk percaya? Apa kita tidak punya cukup kepercayaan diri untuk membanggakan milik kita? Atau mungkin karena kita sudah berkiblat terlalu ke barat?
Jadi kita perlu persetujuan barat dulu untuk kembali ke ekonomi Islam. Apa kita selamanya menjadi pengikut? Menjadi bebek.
Kemudian Pak Arie berulang-ulang meyakinkan peserta workshop bahwa sistem ekonomi syariah merupakan sistem yang terbaik bagi umat manusia. Kasarannya gini, “Vatikan saja mengakui, masa kita umat muslim masih meragukan?”
Nah, kalo sudah ada bukti diakui “bangsa barat” begitu biasanya kita cepat percaya. Apalagi yang mengakui adalah pihak yang kontras.
Tapi di sini masalahnya, apa kita harus menunggu diakui mereka dahulu untuk percaya? Apa kita tidak punya cukup kepercayaan diri untuk membanggakan milik kita? Atau mungkin karena kita sudah berkiblat terlalu ke barat?
Jadi kita perlu persetujuan barat dulu untuk kembali ke ekonomi Islam. Apa kita selamanya menjadi pengikut? Menjadi bebek.
Belum Siap
Pada Workshop Perbankan Syariah beberapa hari yang lalu dipaparkan mengenai pemetaan segmen target market masyarakat terhadap bank syariah. Hasil dari pemetaan tersebut menunjukkan bahwa banking orientation mayoritas masyarakat adalah memilih bank sesuai kebutuhan, untuk kebutuhan bisnis misalnya. Hasil pemetaan secara psikografis juga merujuk hasil “rata-rata” masyarakat yang memilih bank berdasarkan keamanan dan pelayanan. Bahkan ada satu peserta ulama yang jelas-jelas mengaku memilih bank berdasarkan keuntungannya.
Dari hasil tersebut membuat saya berpikir bahwa masyarakat Indonesia ini kurang (atau mungkin malas) memahami suatu ide. Dalam kasus ini bank syariah, ide perekonomian syariah, terlepas dari riba. Mereka “masih” memilih berdasarkan kebutuhan, karena mereka mementingkan kemudahan akses bisnisnya daripada memenuhi panggilan untuk kembali ke syariah demi perbaikan ekonomi.
Hasil psikografispun, masyarakat memilih bank berdasarkan keamanan dan pelayanannya. Oke, saya anggap mereka paham akan keamanan pada bank syariah yang terjamin, namun mereka juga masih memandang permukaan pelayanannya. Saya yakin merekapun asal menjawab jawaban yang “aman”.
Memang ini adalah tugas perbankan syariah untuk memperbaiki pelayanannya, setidaknya sejajar dengan bank konvensional. Namun setidaknya masyarakat juga proaktif memberi masukan, toh ini juga merupakan solusi untuk perekonomian Indonesia dimana bank syariah lebih mendukung pada pertumbuhan sektor riil.
Bicara seperti ini hampir sama dengan ketika hanya mempertanyakan kebijakan pemerintah, namun kita tidak mendukung. Hanya menghujat, tanpa solusi. Ya, kita masih belum paham bagaimana menjadi masyarakat yang berdemokrasi. Kita mau bebas namun masih mengemis kesejahteraan. Lagi-lagi karena kita belum paham ide dari demokrasi itu.
Mari kita tengok negeri yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Pluralisme dengan tegas menjadi semboyan negeri nan elok dengan beragam adat, agama, budaya, dan suku ini. Tapi apa yang kita lihat di berita-berita kemarin? Ahmadiyah? FPI? Penggembokan GKI Yasmin? Demokrasi adalah bebas memaksakan kehendak.
Merambah ke ranah pemerintah. Hmmm… mereka inilah yang mengaku-ngaku menjadi penegak demokrasi di negeri ini. Para politisi, mulai dari jajaran eksekutif hingga legislative, bahkan yudikatif. Apa? Korupsi? Tidak heran. Sudah biasa. Kita bisa apa? Bisa dapat imbalan untuk memilih. Demokrasi adalah bebas mencapai tujuan politis.
Menuju ke industri kreatif, musik. Demokrasi membuat para musisi menjadi semakin kreatif. Dari segi genre sampai lirik yang syirik. Acara-acara musik bawah tanah juga semakin marak, semakin banyak media untuk bersuara. Tetap saja, demokrasi juga membawa dampak buruk bagi dunia ini dalam bentuk pembajakan. Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat dengan mudahnya mendapatkan hasil jerih payah para pekerja musik tanpa membeli produknya. Pembajakan menjadi kejahatan yang hampir mustahil diberantas hanya dengan mengandalkan peraturan.
Sial, lama-lama tulisan ini mengarah ke masalah moral. Tapi mau gimana lagi. Saya cuma
memotret fakta. Fakta bahwa kita ini adalah masyarakat pemalas yang hanya melihat permukaan. Fakta bahwa kita adalah bangsa yang minder dan pemilih jalan pintas. Fakta bahwa kita ini belum siap karena kita lemah di pondasinya. Semoga saat ini adalah masa-masa pembentukan pondasi. Ayolaaaaahhh, udah pada gede kan? Udah tau mana yang baik, mana yang buruk kan? Udah bisa mikir mana yang bakal jadi baik, mana yang nantinya malah merugikan kan?
Ayo kita bersiap menjadi siap menjadi bangsa yang besar.
Dari hasil tersebut membuat saya berpikir bahwa masyarakat Indonesia ini kurang (atau mungkin malas) memahami suatu ide. Dalam kasus ini bank syariah, ide perekonomian syariah, terlepas dari riba. Mereka “masih” memilih berdasarkan kebutuhan, karena mereka mementingkan kemudahan akses bisnisnya daripada memenuhi panggilan untuk kembali ke syariah demi perbaikan ekonomi.
Hasil psikografispun, masyarakat memilih bank berdasarkan keamanan dan pelayanannya. Oke, saya anggap mereka paham akan keamanan pada bank syariah yang terjamin, namun mereka juga masih memandang permukaan pelayanannya. Saya yakin merekapun asal menjawab jawaban yang “aman”.
Memang ini adalah tugas perbankan syariah untuk memperbaiki pelayanannya, setidaknya sejajar dengan bank konvensional. Namun setidaknya masyarakat juga proaktif memberi masukan, toh ini juga merupakan solusi untuk perekonomian Indonesia dimana bank syariah lebih mendukung pada pertumbuhan sektor riil.
Bicara seperti ini hampir sama dengan ketika hanya mempertanyakan kebijakan pemerintah, namun kita tidak mendukung. Hanya menghujat, tanpa solusi. Ya, kita masih belum paham bagaimana menjadi masyarakat yang berdemokrasi. Kita mau bebas namun masih mengemis kesejahteraan. Lagi-lagi karena kita belum paham ide dari demokrasi itu.
Mari kita tengok negeri yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Pluralisme dengan tegas menjadi semboyan negeri nan elok dengan beragam adat, agama, budaya, dan suku ini. Tapi apa yang kita lihat di berita-berita kemarin? Ahmadiyah? FPI? Penggembokan GKI Yasmin? Demokrasi adalah bebas memaksakan kehendak.
Merambah ke ranah pemerintah. Hmmm… mereka inilah yang mengaku-ngaku menjadi penegak demokrasi di negeri ini. Para politisi, mulai dari jajaran eksekutif hingga legislative, bahkan yudikatif. Apa? Korupsi? Tidak heran. Sudah biasa. Kita bisa apa? Bisa dapat imbalan untuk memilih. Demokrasi adalah bebas mencapai tujuan politis.
Menuju ke industri kreatif, musik. Demokrasi membuat para musisi menjadi semakin kreatif. Dari segi genre sampai lirik yang syirik. Acara-acara musik bawah tanah juga semakin marak, semakin banyak media untuk bersuara. Tetap saja, demokrasi juga membawa dampak buruk bagi dunia ini dalam bentuk pembajakan. Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat dengan mudahnya mendapatkan hasil jerih payah para pekerja musik tanpa membeli produknya. Pembajakan menjadi kejahatan yang hampir mustahil diberantas hanya dengan mengandalkan peraturan.
Sial, lama-lama tulisan ini mengarah ke masalah moral. Tapi mau gimana lagi. Saya cuma
memotret fakta. Fakta bahwa kita ini adalah masyarakat pemalas yang hanya melihat permukaan. Fakta bahwa kita adalah bangsa yang minder dan pemilih jalan pintas. Fakta bahwa kita ini belum siap karena kita lemah di pondasinya. Semoga saat ini adalah masa-masa pembentukan pondasi. Ayolaaaaahhh, udah pada gede kan? Udah tau mana yang baik, mana yang buruk kan? Udah bisa mikir mana yang bakal jadi baik, mana yang nantinya malah merugikan kan?
Ayo kita bersiap menjadi siap menjadi bangsa yang besar.
Rabu, 08 Juni 2011
BUKAN TEMPAT SAMPAH
SOL SEPATU
Saya mendengar adzan dhuhur. Biasanya saya cuma mematikan musik sebentar kemudian ketika adzan berhenti saya mainkan lagi. Selama ini sih saya sholat asal aja, pokoknya masih jamnya ya masih boleh, bahkan lebih sering nelat-nelat.
Tapi selama mendengarkan adzan itu saya keinget bahwa keutamaan sholat adalah dilakukan tepat waktu, tidak ditunda-tunda. Maka saat itu juga saya coba untuk melaksanakan sholat setelah adzan.
Sambil menunggu adzan saya iseng ngetwit dan dengan maksud mengajak sholat tepat waktu, terbersit begitu saja kata “Sol Sepatu” kemudian saya paksakan membuat kepanjangan dan jadilah “sholatlah setepat waktu” hehehehe.
Untuk hari itu sol sepatu sangat efektif untuk “memaksa” saya sholat tepat waktu pada dhuhur, ashar, dan maghrib. Tapi Isya-nya saya lupa lagi :p
Oke, untuk langkah awal sepertinya ini bisa bekerja untuk mendorong agar sholat tepat waktu terus. Setidaknya untuk saya dulu, tapi sambil saya twit terus biar bisa mengajak temen-temen yang lain.
Let’s go Sol Sepatu! :
Tapi selama mendengarkan adzan itu saya keinget bahwa keutamaan sholat adalah dilakukan tepat waktu, tidak ditunda-tunda. Maka saat itu juga saya coba untuk melaksanakan sholat setelah adzan.
Sambil menunggu adzan saya iseng ngetwit dan dengan maksud mengajak sholat tepat waktu, terbersit begitu saja kata “Sol Sepatu” kemudian saya paksakan membuat kepanjangan dan jadilah “sholatlah setepat waktu” hehehehe.
Untuk hari itu sol sepatu sangat efektif untuk “memaksa” saya sholat tepat waktu pada dhuhur, ashar, dan maghrib. Tapi Isya-nya saya lupa lagi :p
Oke, untuk langkah awal sepertinya ini bisa bekerja untuk mendorong agar sholat tepat waktu terus. Setidaknya untuk saya dulu, tapi sambil saya twit terus biar bisa mengajak temen-temen yang lain.
Let’s go Sol Sepatu! :
Toko Kerja Perbankan Syariah
Ayah saya kebetulan menjadi panitia Workshop Perbankan Syariah di Pasuruan. Kebetulan lagi, skripsi saya juga tentang perbankan syariah. Karena kebetulan-kebetulan itu, saya diajak untuk menjadi peserta, yang tentu saja tak diundang. Entah, tapi mungkin ini adalah pertama kali saya berada dalam posisi pelaku nepotisme. Tapi untuk menepis rasa bersalahnya, saya menganggap ini adalah peluang untuk menambah ilmu. Toh, saya juga tidak melanggar aturan. Toh, di spanduk acaranya juga ada tulisan “…untuk stakeholder perbankan syariah.” Nah, saya sebagai mahasiswa yang sedang mempelajari perbankan syariah juga merupakan stakeholder kan?
Oke, acara ini bertajuk “Workshop Perbankan Syariah Untuk Ulama”. Sasarannya jelas, ulama. Jadi ini semacam akselerasi sosialisasi untuk meningkatkan nasabah perbankan syariah. Sama-sama kita tahu, budaya di pesantren di mana para santrinya sangat patuh pada kyai-nya, maka mengedukasi kyai-kyai tentang pentingnya perbankan syariah merupakan langkah yang sangat tepat.
Undangan disebar ke pesantren-pesantren se-Pasuruan dan sekitarnya. Sudah jelas pula bagaimana wardrobe para ulama dan kyai peserta workshop: peci, baju koko, sarung, dan sandal. Kebanyakan dari mereka berjenggot. Mereka saling bersalaman, yang muda mencium tangan yang tua. Dan perbincangan di antara mereka sarat dengan istilah-istilah arab.
Acara yang berlangsung dua hari (1 Juni-2 Juni) ini dibuka oleh Bapak Mulya Siregar, Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Pada sesi pertama yang berlaku sebagai pembicara dalah Pak Buchori dari Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Bagian Pengembangan. Beliau memperkenalkan perbankan syariah pada para ulama. Yaitu seputar kebijakan pengembangan perbankan syariah yang berisi tentang potensi hingga rencana pengembangan yang meliputi service, infrastruktur, dll.
Setelah pemaparan dipersilakan para peserta (ulama) untuk mengajukan pertanyaan. Dari beberapa yang diajukan tampak para ulama masih belum paham akan posisi bank syariah sebagai bank Islam. Mereka kebanyakan masih menanyakan tentang layanan, kemudahan, dan juga akses. Selain itu, ternyata ada beberapa yang masih beropini bahwa bank syariah tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan bank konvensional. Ada juga yang menyangsikan kesyariahan bank syariah.
Pembicara sesi kedua adalah Pak Arie Mooduto, seorang pakar ekonomi Islam. Dalam paparannya beliau menegaskan pentingnya bank syariah dilihat dari fungsi sebagai bank Islam. Bagi umat Muslim yang penting syariah, tidak peduli bagaimana servicenya. Toh, service dari bank syariah akan terus diperbaiki. Untuk lebih meyakinkan audience, Pak Arie mengajak untuk melihat dari sudut pandang ekonomi Islam yang adil, dan oleh dunia barat mulai disebut-sebut sebagai solusi perekonomian dunia.
Tak lupa beliau menyinggung senjata utama bank syariah dalam melawan bank konvensional, yaitu riba. Sudah menjadi isu lama bahwa bunga bank (konvensional) termasuk riba yang berarti haram. Riba (bunga) menjadi pondasi system ekonomi konvensional. Kapitalisme membuatnya menjadi semakin rakus. Nah, ekonomi Islam adalah solusi untuk melawan kerakusan itu. Namun, umat Islam masa kini sudah tidak lagi mempedulikan itu. Sekuler?
Pak Arie Mooduto juga memberikan cerita tentang pentingnya menegur dan mengingatkan kebenaran. Oleh karena itu, para peserta workshop yang para ulama itu yang notabene adalah pemegang teguh syariat Islam diharapkan mau peduli dan menyebarkan tentang perbankan syariah ini.
Hari kedua, materi diberikan oleh Pak Cecep. Dalam pembahasan kali ini, Pak Cecep lebih menekankan pada soal teknis dan produk-produk perbankan syariah. Relatif mudah tentunya mengajarkan produk-produk yang berbahasa Arab itu pada oara ulama. Setelah itu untuk lebih mendalami dalam prakteknya, beliau memberikan semacam studi kasus untuk dianalisis.
Well, untuk hari kedua saya tidak melanjutkan hingga selesai karena suatu alasan harus kembali ke Malang.
Secara keseluruhan saya mencermati penataan paparan yang disampaikan telah disusun dengan baik. Sebagai pemanasan (sesi pertama) adalah pengenalan perbankan syariah secara sekilas dan dengan respon banyak sangkalan. Nah, intinya ada pada sesi kedua ini, yaitu pemupukan pondasi betapa bagusnya ekonomi Islam sebagai solusi perekonomian dunia. Di sini peserta dibuat memahami untuk tidak lagi mementingkan untung-rugi, yang penting amanah dan sesuai syariat Islam. Bank Syariah adalah salah satu produk dari ekonomi Islam tersebut, jadi bagaimanapun untuk urusan bank sebisa mungkin kita memilih bank syariah. Penyampaian yang enak, pendekatan yang bagus pada para ulama membuat Pak Arie Mooduto dapat memiliki hati peserta. Sehingga Pak Cecep apada sesi pengenalan produk bank syariah tidak kesulitan menjelaskan karena pondasi tersebut sudah terbentuk.
Yahh, semoga workshop ini akan berhasil dengan semakin banyaknya nasabah bank syariah di Kabupaten Pasuruan dan sekitarnya. Semoga para ulama mendapat pemahaman tentang bank syariah ini dan menularkan pada santri-santrinya untuk menjadi nasabah bank syariah.
Karena memang ekonomi Islamlah yang dapat menyelamatkan kerakusan kapitalisme dunia ini. Karena memang bank syariah merupakan bank yang bersih jauh dari riba dan memihak pada usaha kecil. Karena memang bank syariah memiliki potensi yang luar biasa di Indonesia ini.
Rabu, 01 Juni 2011
Rokok Pembangunan
Saya ingin menuliskan apa yang saya twit kemarin sehubungan dengan hari tanpa tembakau sedunia yang jatuh kemarin.
Mengingat hari tanpa tembakau sedunia, ada joke yang beredar di masyarakat Kediri tentang merokok. Ketika kita meminta seseorang untuk berhenti merokok, mereka akan menjawab, "Kalau gak ada ini (rokok), Kediri gak bisa maju." Rokok yang dimaksud tentu saja adalah rokok produk dari Gudang Garam. Seperti yang kita ketahui, Gudang Garam adalah salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang berpusat di Kediri.
Dari jawaban itu bisa kita simpulkan bahwa masyarakat Kediri beranggapan bahwa pembangunan Kota Kediri sangat bergantung pada pabrik Gudang Garam itu.
Kemudian salah satu teman saya me-reply twit saya, "Kalo gak ada ini (rokok) eyke makan opo bok?" Nah lo! Tambah lagi ketergantungan masyarakat Kediri kepada Gudang Garam: lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu, masyarakat Kediri seperti memiliki tanggung jawab tidak langsung untuk terus melestarikan (mengkonsumsi) produk Gudang Garam. Hehehe.
Entah itu hanya alasan atau pembenaran masyarakat Kediri untuk tetap merokok, tapi lelucon ini sangat menggelikan. Karena di sini kita mengesampingkan peran Pemerintah Kota Kediri dalam pembangunan Kota Kediri, hanya bergantung pada Gudang Garam.
Ehm, ngomong-ngomong tentang pembangunan oleh pabrik rokok, ternyata hal ini juga berlaku di tingkat negara. Setelah membaca opini di Jawa Pos kemarin, ternyata cukai perusahaan rokok se-Indonesia yang mencapai 44 triliun rupiah merupakan sumber pendapatan negara dalam APBN!!! Dan kabarnya sekitar 1 triliun dikucurkan ke pemda yang memiliki pabrik rokok. Itulah alasan mengapa pemda masih menghamba pada pabrik rokok.
Bukankah itu wajar? Di sini letak ketidaktahuan kita. Seharusnya 70% dari cukai tersebut digunakan untuk usaha-usaha pengurangan rokok, seperti kampanye anti rokok, asuransi kesehatan, penyuluhan dan lain-lain. Namun yang terjadi Indonesia adalah sebaliknya, bukannya berusaha mengurangi rokok, tapi seakan-akan malah menggenjot jumlah produksi rokok. Hal ini dapat diketahui dari jumlah produksi rokok yang semakin meningkat tiap tahunnya.
Selain itu, perusahaan rokok juga diberi panggung di Indonesia. Panggung untuk menjadi sponsir di event-event berskala nasional. Mulai dari event musik sampai event olahraga.
Apa usaha pemerintah? Berapa tempat bebas asap rokok di Indonesia ini???
Apakah kita sudah kembali ke jaman buta aksara karena tidak bisa membaca ancaman kesehatan pada bungkus rokok?
Apa karena ulama kita menjadi "sekuler" terhadap rokok?
Ahh, sudahlah, setidaknya hormati kami yang tidak merokok, seperti kami menghormati Anda yang merokok :)
Selasa, 24 Mei 2011
Kemacetan, Mahasiswa, dan Ajang Bisnis Kampus
Kemacetan. Hanyalah salah satu isu yang mulai dimaklumi di negeri ini. Di tengah terpaan segala hal buruk tentang kenegaraan, kemacetan bukan lagi menjadi hal penting untuk diperhatikan. Kemacetan menjadi rutinitas “pemanasan” di pagi hari.
Data 2010 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 70.714.568 kendaraan. Dengan jumlah sekitar sepertiga jumlah penduduk di Indonesia ini, masalah ini bukan lagi menjadi masalah Kementrian Perhubungan saja, namun sudah menjadi masalah sosial.
Di mana akar permasalahannya? Kendaraan pribadi. Seperti yang kita ketahui, saat ini akses kepemilikan kendaraan pribadi sangatlah mudah. Maraknya perusahaan-perusahaan finance yang menawarkan kredit memudahkan masyarakat untuk membeli kendaraan bermotor. Bahkan menyasar pada golongan masyarakat yang “belum terlalu membutuhkan kendaraan bermotor” dengan senjata kredit selama bertahun-tahun.
Angkutan umum. Bukan rahasia lagi kalau angkutan umum di Indonesia ini kurang diperhatikan pemerintah. Baik pusat ataupun daerah. Sudah jelas di mata kita kalau angkutan umum di Indonesia ini kurang nyaman. Dengan dalih itu saja, cukup bagi masyarakat untuk lebih memilih kendaraan pribadi.
Satu lagi, sayang sekali, karena kendaraan pribadi sudah menjadi identitas di negeri ini. Masuk SMP, sepeda motor baru. Masuk SMA, motor sport baru. Masuh kuliah, mobil baru. Fenomena yang menggeser nilai guna kendaraan pribadi. Penekanan tidak lagi pada “kendaraan”-nya, namun pada “pribadi”-nya.
Lalu siapa yang akan peduli?
Pemerintah, terlebih pemerintah daerah tentu harus peduli dengan kenyataan ini. Kemacetan banyak berdampak buruk pada lingkungan. Konsentrasi karbon pada satu tempat tentu tidak baik bagi kesehatan pengendara. Apalagi dengan kurangnya tumbuhan hijau di sisi-sisi jalan, karbon-karbon itu terlalu banyak untuk di-fotosintesis.
Belum lagi masalah psikologi pengendara. Stress karena macet di pagi hari sedikit banyak berdampak pada mood dan produktivitas di tempat kerja.
Pihak kepolisian? Pihak kepolisian tidak dapat berbuat apa-apa untuk menekan laju pertumbuhan kendaraan bermotor. Asal kepemilikannya sah (karena mudah untuk sah), maka kendaraan bermotor layak dikendarai di jalanan. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah seperti memberlakukan program 3 in 1 di Jakarta. Dan apa hasilnya? Hanya menambah “peluang kerja” ilegal.
Selanjutnya saya memilih mahasiswa. Kenapa mahasiswa? Ayolah, karena mereka menyandang predikat “agent of change”. Karena mereka adalah fase dari masyarakat yang dikenal “sadar”. Selain itu juga lembaga yang menaunginya, kampus. Karena kampus merupakan tempat berkumpulnya para intelektual yang revolusioner.
Untuk mahasiswa dan kampus yang berhadapan dengan fenomena ini seharusnya melakukan sesuatu untuk merubahnya. Mungkin ada organisasi mahasiswa yang menyuarakan propaganda kurangi kemacetan dengan berangkat ke kampus menggunakan angkutan umum. Atau komunitas pesepeda di kampus yang berteriak untuk mengurangi polusi udara dengan program “bike to campus”. Bisa juga kampus menghimbau masyarakatnya untuk mengurangi kemacetan. Bahkan kampus juga bisa mengeluarkan peraturan-peraturan yang bertujuan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor ke kampus.
Idealnya, pemerintah daerah bekerja sama dengan kampus dengan suatu kesepakatan bahwa pemerintah daerah akan memperbaiki system angkutan umum dan juga kampus mengeluarkan peraturan yang membatasi mahasiswa untuk menggunakan kendaraan bermotor.
Namun, bagaimana kenyataannya? Saya berbicara tentang Universitas Brawijaya, mungkin yang juga telah diaplikasikan di sebagian besar universitas di Indonesia. Mengetahui jumlah kendaraan yang semakin menjamur di kampus, pihak kampus menerapkan parkir berlangganan bagi setiap kendaraan mahasiswa. Parkir berlangganan ini berupa sticker yang ditempelkan pada kendaraan dan hanya berlaku satu semester.
Selain itu, kampus juga menyadari potensi jalan kampus yang membelah dan bisa menjadi jalan pintas, sehingga pihak kampus menerapkan “tarif tol” bagi setiap kendaraan yang melintas, yang tidak memiliki sticker parkir berlangganan.
Wow! Produk intelektualnya adalah merubah menjamurnya jumlah kendaraan bermotor menjadi peluang bisnis. Mungkin ini adalah salah satu program dari otonomi kampus. Masa bodoh kemacetan, peduli setan polusi, yang penting kita pintar membaca peluang dan menghasilkan uang. Kapitalis!
Data 2010 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 70.714.568 kendaraan. Dengan jumlah sekitar sepertiga jumlah penduduk di Indonesia ini, masalah ini bukan lagi menjadi masalah Kementrian Perhubungan saja, namun sudah menjadi masalah sosial.
Di mana akar permasalahannya? Kendaraan pribadi. Seperti yang kita ketahui, saat ini akses kepemilikan kendaraan pribadi sangatlah mudah. Maraknya perusahaan-perusahaan finance yang menawarkan kredit memudahkan masyarakat untuk membeli kendaraan bermotor. Bahkan menyasar pada golongan masyarakat yang “belum terlalu membutuhkan kendaraan bermotor” dengan senjata kredit selama bertahun-tahun.
Angkutan umum. Bukan rahasia lagi kalau angkutan umum di Indonesia ini kurang diperhatikan pemerintah. Baik pusat ataupun daerah. Sudah jelas di mata kita kalau angkutan umum di Indonesia ini kurang nyaman. Dengan dalih itu saja, cukup bagi masyarakat untuk lebih memilih kendaraan pribadi.
Satu lagi, sayang sekali, karena kendaraan pribadi sudah menjadi identitas di negeri ini. Masuk SMP, sepeda motor baru. Masuk SMA, motor sport baru. Masuh kuliah, mobil baru. Fenomena yang menggeser nilai guna kendaraan pribadi. Penekanan tidak lagi pada “kendaraan”-nya, namun pada “pribadi”-nya.
Lalu siapa yang akan peduli?
Pemerintah, terlebih pemerintah daerah tentu harus peduli dengan kenyataan ini. Kemacetan banyak berdampak buruk pada lingkungan. Konsentrasi karbon pada satu tempat tentu tidak baik bagi kesehatan pengendara. Apalagi dengan kurangnya tumbuhan hijau di sisi-sisi jalan, karbon-karbon itu terlalu banyak untuk di-fotosintesis.
Belum lagi masalah psikologi pengendara. Stress karena macet di pagi hari sedikit banyak berdampak pada mood dan produktivitas di tempat kerja.
Pihak kepolisian? Pihak kepolisian tidak dapat berbuat apa-apa untuk menekan laju pertumbuhan kendaraan bermotor. Asal kepemilikannya sah (karena mudah untuk sah), maka kendaraan bermotor layak dikendarai di jalanan. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah seperti memberlakukan program 3 in 1 di Jakarta. Dan apa hasilnya? Hanya menambah “peluang kerja” ilegal.
Selanjutnya saya memilih mahasiswa. Kenapa mahasiswa? Ayolah, karena mereka menyandang predikat “agent of change”. Karena mereka adalah fase dari masyarakat yang dikenal “sadar”. Selain itu juga lembaga yang menaunginya, kampus. Karena kampus merupakan tempat berkumpulnya para intelektual yang revolusioner.
Untuk mahasiswa dan kampus yang berhadapan dengan fenomena ini seharusnya melakukan sesuatu untuk merubahnya. Mungkin ada organisasi mahasiswa yang menyuarakan propaganda kurangi kemacetan dengan berangkat ke kampus menggunakan angkutan umum. Atau komunitas pesepeda di kampus yang berteriak untuk mengurangi polusi udara dengan program “bike to campus”. Bisa juga kampus menghimbau masyarakatnya untuk mengurangi kemacetan. Bahkan kampus juga bisa mengeluarkan peraturan-peraturan yang bertujuan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor ke kampus.
Idealnya, pemerintah daerah bekerja sama dengan kampus dengan suatu kesepakatan bahwa pemerintah daerah akan memperbaiki system angkutan umum dan juga kampus mengeluarkan peraturan yang membatasi mahasiswa untuk menggunakan kendaraan bermotor.
Namun, bagaimana kenyataannya? Saya berbicara tentang Universitas Brawijaya, mungkin yang juga telah diaplikasikan di sebagian besar universitas di Indonesia. Mengetahui jumlah kendaraan yang semakin menjamur di kampus, pihak kampus menerapkan parkir berlangganan bagi setiap kendaraan mahasiswa. Parkir berlangganan ini berupa sticker yang ditempelkan pada kendaraan dan hanya berlaku satu semester.
Selain itu, kampus juga menyadari potensi jalan kampus yang membelah dan bisa menjadi jalan pintas, sehingga pihak kampus menerapkan “tarif tol” bagi setiap kendaraan yang melintas, yang tidak memiliki sticker parkir berlangganan.
Wow! Produk intelektualnya adalah merubah menjamurnya jumlah kendaraan bermotor menjadi peluang bisnis. Mungkin ini adalah salah satu program dari otonomi kampus. Masa bodoh kemacetan, peduli setan polusi, yang penting kita pintar membaca peluang dan menghasilkan uang. Kapitalis!
Ojek Sepeda: Salah Satu yang Masih Bertahan
“Saya sudah di sini sejak tahun ’78, dulu banyak yang ngojek di sini, sekarang tinggal dua,” kata bapak ojek sepeda yang saya sambangi. Tempat mangkalnya adalah di depan menara BNI, salah satu gedung tertinggi di Jakarta (bahkan mungkin Indonesia). Tepat di bawah halte busway dukuh atas satu, tepat di seberang patung Jenderal Sudirman di Jalan Sudirman, Jakarta.
Bapak yang berasal dari Purwokerto ini mengeluhkan jumlah kendaraan bermotor yang semakin tidak masuk akal. Dulu beliau biasa mengantar penumpang sampai ke Tanjung Priok. “Sekarang penumpangnya pada kagak berani,” sembari tertawa. “Sekarang sih mungkin cuma nganter deket-deket aja, ke dalem.”
Bapak 72 tahun ini sangat mengidolakan Soekarno. Dengan bangganya beliau bercerita tentang keberanian dan ketegasan Soekarno. Beliau juga menekankan tentang etos kerja jaman dahulu dibandingkan dengan sekarang. “Dulu sama Pak Karno kita semua harus sekolah, semua harus kerja! Gak kaya’ sekarang masih muda, bajunya bagus-bagus malah pada ngamen. Masih sehat aja udah pada ngemis!”
Beliau juga mengomentari tentang lembeknya pemerintahan saat ini. Beliau menganalogikan dengan pemerintahan “tangan besi” Soekarno. “Sekarang penjahat pada bebas, kalo dulu, jangankan koruptor, maling aja langsung di-dor! Sekarang? Berani apa SBY?”
Saking kagumnya terhadap Soekarno, beliau menjawab, “Saya pilih Megawati, kemaren,” saat saya bertanya, “Tapi bapak pilih SBY juga kan, kemaren?” “Megawati itu mikirin rakyat kecil. SBY mana? Malah mau ganti minyak pake gas. Itukan mahal, kasian rakyat kecil.” Bahkan beliau juga akan memilih Puan Maharani, putri dari Megawati jika nanti dicalonkan jadi presiden. Lihat betapa suksesnya positioning Megawati di mata “wong cilik”.
Satu lagi, sentralisasi ternyata tidak berpengaruh pada semua elemen masyarakat Jakarta. Bapak yang dulunya pernah menjadi penjaga malam di Priok ini masih sangatlah kolot. Beliau masih bercita-cita pergi ke Jombang untuk menemui Ponari. “Saya dengar kabarnya katanya manjur,” kata beliau yang ingin mengobati daya pendengarannya yang telah menurun. “Saya sudah nyimpen address-nya yang saya dapat di sobekan Koran.”
Ada satu hal mengganjal yang akhirnya saya tanyakan, “Pak, sekarang kan hampir tiap hari hujan, trus gimana dong kalo hujan? Pulang atau berteduh di sini? Jadi tambah jarang narik dong?” Dengan tegar beliau menjawab, “Kalau hujan saya jadi ojek payung.” Wow. Saya melihat usaha yang tak putus dari beliau. Tidak menyerah pada alam, bahkan dengan cerdiknya mengubahnya menjadi lahan penghasilan alternative. “Seikhlasnya aja, ada yang dua rebu, kadang juga lima rebu, tapi pernah juga saya tiga kali dikasih lima puluh rebu, mungkin karena kasian ya liat bapak-bapak tua ngojek payung.”
Mungkin ngobrol-ngobrol saya itu hanya sedikit dari cerita bapak ojek sepeda yang terlihat tabah tanpa keluh tersebut. Ya pak, kita memang harus terus berusaha dan tidak menjadi bangsa pengemis, seperti kata Bung Karno :D
Senin, 23 Mei 2011
Selasa, 17 Mei 2011
jalan petang
Entah kenapa saya sangat takut untuk perjalanan kali ini. Saya model berencana. Ketika saya tidak punya rencana di depan, saya sangat ketakutan. Lagi-lagi saya hanya "menuruti orang lain". Lagi-lagi saya mengalah. Padahal di saat bersamaan saya sudah mempersiapkan hal lain, yang saya pilih untuk saya prioritaskan, walaupun itu juga bukan prioritas seharusnya.
Saya tidak bisa tidur. Saya bingung apa yang akan saya lakukan di sana. Memang, di sana bukan tempat asing lagi bagi saya. Tetapi di sana sudah berubah. Saya menganggap saya menjadi tidak (belum) pantas kembali ke sana. Saya malu. Saya minder. Saya tertinggal.
Saya hanya bisa mempersiapkan apa yang akan terjadi. Mengantisipasi ketinggalan topik pembicaraan, komentar-komentar kasihan terhadap saya, hingga pandangan mereka kepada seorang pecundang. Karena apa yang telah saya lakukan benar-benar melenceng.
Saya benar-benar takut. Saya ingin tidak jadi berangkat, namun itu hanya akan semakin menasbihkan saya menjadi seorang pecundang. Dan juga menambah predikat plin-plan. Saya benar-benar takut.
Sesampainya di sana, saya tidak mendapatkan pelukan selamat datang yang seharusnya pantas saya dapatkan. Dingin. Lelah perjalanan dibiarkan lelah. Saya masih meraba-raba di mana saya memposisikan diri.
Namun ajakan itu memberi sedikit asa.
Segera bergegas mandi dan sebisa mungkin mengabaikan lelah. Memang seorang pria tidak membutuhkan simbol basa-basi pelukan selamat datang. To the point, saya langsung dihajar di dalam angkot. Dan saya pun diadili di dalam taksi.
Saya ditelanjangi atas semua pembenaran-pembenaran itu. Saya ditunjukkan jalan yang telah dilaluinya, dilalui mereka. Mereka semua pejuang dan saya bukan. Mereka semua mandiri dan saya belum. Saya ditampar.
Setelah itu, dia kembali mengingatkan saya bahwa saya sejajar. "Apa sih yang tidak bisa Aldi kerjakan? Kapan sih Aldi gagal?" Berbicara tentang ekspektasi. Ekspektasi muncul bukan tanpa sebab. Ekspektasi terjadi karena kita memang pantas dinilai setinggi itu.
Saya diajarkan untuk egois. Saya lupa di mana jalan saya. Mungkin karena saya terlalu suka jalan-jalan. Saya harus mengesampingkan hobi jalan-jalan saya dan harus fokus pada jalan saya dulu. Walaupun saya hobi jalan-jalan, namun jarak tempuh jalan saya sendiri masih belumlah apa-apa. Saya tertinggal karena seharusnya saya berjajar dengan jarak Medan, Pekanbaru, Batam, Makassar, Papua, hingga Belanda.
Yep! Saya akan segera menyusul. Harap berhati-hati. Ketika saya suka satu hal, maka akan saya maksimalkan. Dan kini, saya mulai suka menyusul.
Terima kasih. Jalan petang ini memberi cahaya. Karena kita tidak akan membiarkannya tetap gelap.
Saya tidak bisa tidur. Saya bingung apa yang akan saya lakukan di sana. Memang, di sana bukan tempat asing lagi bagi saya. Tetapi di sana sudah berubah. Saya menganggap saya menjadi tidak (belum) pantas kembali ke sana. Saya malu. Saya minder. Saya tertinggal.
Saya hanya bisa mempersiapkan apa yang akan terjadi. Mengantisipasi ketinggalan topik pembicaraan, komentar-komentar kasihan terhadap saya, hingga pandangan mereka kepada seorang pecundang. Karena apa yang telah saya lakukan benar-benar melenceng.
Saya benar-benar takut. Saya ingin tidak jadi berangkat, namun itu hanya akan semakin menasbihkan saya menjadi seorang pecundang. Dan juga menambah predikat plin-plan. Saya benar-benar takut.
Sesampainya di sana, saya tidak mendapatkan pelukan selamat datang yang seharusnya pantas saya dapatkan. Dingin. Lelah perjalanan dibiarkan lelah. Saya masih meraba-raba di mana saya memposisikan diri.
Namun ajakan itu memberi sedikit asa.
Segera bergegas mandi dan sebisa mungkin mengabaikan lelah. Memang seorang pria tidak membutuhkan simbol basa-basi pelukan selamat datang. To the point, saya langsung dihajar di dalam angkot. Dan saya pun diadili di dalam taksi.
Saya ditelanjangi atas semua pembenaran-pembenaran itu. Saya ditunjukkan jalan yang telah dilaluinya, dilalui mereka. Mereka semua pejuang dan saya bukan. Mereka semua mandiri dan saya belum. Saya ditampar.
Setelah itu, dia kembali mengingatkan saya bahwa saya sejajar. "Apa sih yang tidak bisa Aldi kerjakan? Kapan sih Aldi gagal?" Berbicara tentang ekspektasi. Ekspektasi muncul bukan tanpa sebab. Ekspektasi terjadi karena kita memang pantas dinilai setinggi itu.
Saya diajarkan untuk egois. Saya lupa di mana jalan saya. Mungkin karena saya terlalu suka jalan-jalan. Saya harus mengesampingkan hobi jalan-jalan saya dan harus fokus pada jalan saya dulu. Walaupun saya hobi jalan-jalan, namun jarak tempuh jalan saya sendiri masih belumlah apa-apa. Saya tertinggal karena seharusnya saya berjajar dengan jarak Medan, Pekanbaru, Batam, Makassar, Papua, hingga Belanda.
Yep! Saya akan segera menyusul. Harap berhati-hati. Ketika saya suka satu hal, maka akan saya maksimalkan. Dan kini, saya mulai suka menyusul.
Terima kasih. Jalan petang ini memberi cahaya. Karena kita tidak akan membiarkannya tetap gelap.
Saya siap berangkat, saya sudah menyiapkan lampu senter dan lilin.
Rabu, 11 Mei 2011
let's go, green!
Ini adalah video project pertama saya. Awalnya iseng, pas lagi sepedaan ke kampus ngasal nge-shoot jalanan pake kamera hp. Trus buat nglengkapin saya minta tolong Ersa untuk ngambil gambar saya. Ngeditnya juga bukan dengan software yang canggih, cuma kebetulan ada Windows Live Movie Maker di komputer saya, yang notabene adalah software bawaan windows waktu diinstal.
Dan saya benar-benar awam untuk urusan ini, saya hanya punya keinginan saja. Namun, lumayan lah, hehehe.
Selamat untuk kamu yang masih punya keinginan :D
Salam Amateur!
choice
"Nobody is forcing you to do anything Al, everything is your choice, you do because you choose, it's not you do because blah blah blah, it's your choice Al, there's no absolute right or wrong, what is absolute is being responsible with your choice."
Tomblok. Tuesday, May 10th 2011. 01:24 PM via BBM
Minggu, 08 Mei 2011
Kediri Critical Mass
Sebenarnya awal mulanya cuma "iseng" ingin ngepost di blog kedirigirsiji.blogspot.com. Saya, anak baru di komunitas sepeda di Kediri tanya ke Ige, salah satu "sesepuh" di Kediri Sunday Morning (nama komunitas bersepeda di Kediri), apakah kita sudah punya blog? Pertanyaan yang akhirnya dikembalikan ke saya untuk membuat blog komunitas ini.
Sayapun membuat blog tersebut. Dasarnya saya orang baru, saya bingung mau diisi apa blognya. Sejarah gak paham, foto-foto gak punya. Untuk post awal saya cuma bisa ambil sebagian foto-foto di facebook Kediri Sunday Morning. Dan yang kedua saya bikin semacam interview dengan Ige yang kebetulan baru saja menjuarai alley cat race di Weekend Roadrunner Surabaya. Nah, setelah itu blank! Hehehehe.
Pada saat itu, MLGfgss baru saja mempunyai hajat Sunday Bike and Bash dengan konsep critical mass. Acara ini membuat saya berpikir bahwa salah satu tolak ukur keberhasilan suatu komunitas adalah dengan menularkan ide komunitas itu ke masyarakat yang lebih luas. Salah satunya adalah dengan cara mengadakan suatu event. Karena kita adalah komunitas bersepeda, maka ide yang kita tularkan adalah "mari kembali bersepeda!" Dan yang paling cocok adalah konsep critical mass.
Maka langsung saja saya browsing tentang sejarah, konsep acara, hingga kota-kota mana saja yang telah melakukan critical mass. Setelah itu saya kemas dalam bentuk blogpost untuk mempropaganda Kediri Sunday Morning.
Ternyata respon teman-teman Sunmor (sebutan singkat Kediri Sunday Morning) sangat antusias dengan ide ini. Personil Sunmor sebagian ada yang sedang kuliah dan kerja di luar Kediri, di antaranya di Malang dan Surabaya. Sehari setelah post tersebut, Sunmor chapter Malang langsung menindaklanjuti dengan diskusi. Sehari setelahnya giliran Sunmor chapter Surabaya yang berdiskusi. Dari dua diskusi tersebut akhirnya kita memilih tidak menunda-nunda lagi dan akan dilaksanakan pada akhir April atau setidaknya awal Mei.
Selama April, komunikasi dan diskusi terus berlangsung. Awalnya kita menyepakati tanggal 1 Mei 2011. Saya langsung excited, karena bertepatan juga dengan hari buruh internasional, tanggal yang tepat untuk "mengkritik".
Seminggu sebelum hari-H, kita mengadakan "rapat besar" yang dihadiri oleh sekitar 30 personil Sunmor. Dan ternyata...sebagian besar dari kita belum benar-benar paham dengan konsep critical mass. Memang sih, critical mass intiny cuma sekedar bersepeda bersama saja. Beda jauh dari acara-acara bersepeda pada umumnya yang berupa fun bike yang substansinya bukan pada bersepedanya tapi dorprize-nya, hehehe.
Hasilnya kita sepakat mengundur Kediri Critical Mass selama seminggu menjadi 8 Mei 2011. Masih ada waktu 2 minggu untuk persiapan. Kita semakin gencar berdiskusi mematangkannya. Mencetak poster dan selebaran, kemudian menyebarkannya. Membuat banner. Membuat sticker. Membuat kaos. Dan tentu saja, publikasi gencar di dunia maya.
Yeah! Kita sudah sangat siap dan excited!
Acara Kediri Critical Mass ini selain bersepeda bersama menyusuri jalanan kota Kediri, juga ada lomba sederhana dan pemutaran video tentang critical mass. Nah, kebetulan saya yang kebagian tugas bikin video. Penyelesaian video sederhana itupun sangat-sangat mepet. Dead in deadline (lagi-lagi). Video tersebut baru jadi jam 02.00 dini hari, dan saya harus sudah sampe di lokasi start jam 05.30. Begitulah mepetnya.
Dan....KEDIRI CRITICAL MASS akhirnya terealisasi. Acara dimulai dengan berdoa dan briefing tentang rute perjalanan. Start dari Brass Radio pukul 06.30 dengan check point di Simpang Lima Gumul.Setelah cukup beristirahat dan cukup foto-foto, kita kembali melanjutkan perjalanan dengan finish kembali ke Brass Radio. Setelah di finish, acara dilanjutkan dengan lomba-lomba. Lomba pertama adalah long skid khusus fixed gear. Dilanjutkan oleh lomba trik BMX. Lalu lomba sepeda lambat, non fixed gear. Dan yang terakhr adalah lomba trackstand khusus fixed gear. Secara keseluruhan lomba-lomba sederhana tersebut berlangsung tidak sederhana (baca: meriah), hehehe.
Karena matahari semakin meninggi, acara dilanjutkan di hall Brass Radio dengan pemutaran video-video tentang critical mass.
Secara keseluruhan, peserta Kediri Critical Mass yang pertama ini kurang lebih 150 sepeda. Diikuti dari komunitas lowrider, komunitas BMX, dan datang juga sekitar 20 teman-teman dari Malang. Berbagai jenis sepeda menyisir jalanan Kediri pagi ini. Mulai dari lowrider, BMX, MTB, folding, dan tentu saja yang sedang happening saat ini: fixed gear.
Yeay!!! Alhamdulillah! Persiapan cuma satu bulan oleh teman-teman "baru" yang belum pernah bekerja bersama. Hebatlah pokoknya! Selamat untuk kita semua, hey yo Sunmor. Terima kasih yang banyak untuk teman-teman bersepeda yang telah "sadar". Dan salut untuk rombongan dari Malang.
KEmbali ke DIRI kita untuk mencintai lingkungan dengan bersepeda bersama sebagai bentuk CRITICAL MASS terhadap masyarakat yang masih sangat tergantung terhadap kendaraan bermotor.
See you at Kediri Critical Mass Ride #2! :D
Sayapun membuat blog tersebut. Dasarnya saya orang baru, saya bingung mau diisi apa blognya. Sejarah gak paham, foto-foto gak punya. Untuk post awal saya cuma bisa ambil sebagian foto-foto di facebook Kediri Sunday Morning. Dan yang kedua saya bikin semacam interview dengan Ige yang kebetulan baru saja menjuarai alley cat race di Weekend Roadrunner Surabaya. Nah, setelah itu blank! Hehehehe.
Pada saat itu, MLGfgss baru saja mempunyai hajat Sunday Bike and Bash dengan konsep critical mass. Acara ini membuat saya berpikir bahwa salah satu tolak ukur keberhasilan suatu komunitas adalah dengan menularkan ide komunitas itu ke masyarakat yang lebih luas. Salah satunya adalah dengan cara mengadakan suatu event. Karena kita adalah komunitas bersepeda, maka ide yang kita tularkan adalah "mari kembali bersepeda!" Dan yang paling cocok adalah konsep critical mass.
Maka langsung saja saya browsing tentang sejarah, konsep acara, hingga kota-kota mana saja yang telah melakukan critical mass. Setelah itu saya kemas dalam bentuk blogpost untuk mempropaganda Kediri Sunday Morning.
Ternyata respon teman-teman Sunmor (sebutan singkat Kediri Sunday Morning) sangat antusias dengan ide ini. Personil Sunmor sebagian ada yang sedang kuliah dan kerja di luar Kediri, di antaranya di Malang dan Surabaya. Sehari setelah post tersebut, Sunmor chapter Malang langsung menindaklanjuti dengan diskusi. Sehari setelahnya giliran Sunmor chapter Surabaya yang berdiskusi. Dari dua diskusi tersebut akhirnya kita memilih tidak menunda-nunda lagi dan akan dilaksanakan pada akhir April atau setidaknya awal Mei.
Selama April, komunikasi dan diskusi terus berlangsung. Awalnya kita menyepakati tanggal 1 Mei 2011. Saya langsung excited, karena bertepatan juga dengan hari buruh internasional, tanggal yang tepat untuk "mengkritik".
Seminggu sebelum hari-H, kita mengadakan "rapat besar" yang dihadiri oleh sekitar 30 personil Sunmor. Dan ternyata...sebagian besar dari kita belum benar-benar paham dengan konsep critical mass. Memang sih, critical mass intiny cuma sekedar bersepeda bersama saja. Beda jauh dari acara-acara bersepeda pada umumnya yang berupa fun bike yang substansinya bukan pada bersepedanya tapi dorprize-nya, hehehe.
Hasilnya kita sepakat mengundur Kediri Critical Mass selama seminggu menjadi 8 Mei 2011. Masih ada waktu 2 minggu untuk persiapan. Kita semakin gencar berdiskusi mematangkannya. Mencetak poster dan selebaran, kemudian menyebarkannya. Membuat banner. Membuat sticker. Membuat kaos. Dan tentu saja, publikasi gencar di dunia maya.
Yeah! Kita sudah sangat siap dan excited!
Acara Kediri Critical Mass ini selain bersepeda bersama menyusuri jalanan kota Kediri, juga ada lomba sederhana dan pemutaran video tentang critical mass. Nah, kebetulan saya yang kebagian tugas bikin video. Penyelesaian video sederhana itupun sangat-sangat mepet. Dead in deadline (lagi-lagi). Video tersebut baru jadi jam 02.00 dini hari, dan saya harus sudah sampe di lokasi start jam 05.30. Begitulah mepetnya.
Dan....KEDIRI CRITICAL MASS akhirnya terealisasi. Acara dimulai dengan berdoa dan briefing tentang rute perjalanan. Start dari Brass Radio pukul 06.30 dengan check point di Simpang Lima Gumul.Setelah cukup beristirahat dan cukup foto-foto, kita kembali melanjutkan perjalanan dengan finish kembali ke Brass Radio. Setelah di finish, acara dilanjutkan dengan lomba-lomba. Lomba pertama adalah long skid khusus fixed gear. Dilanjutkan oleh lomba trik BMX. Lalu lomba sepeda lambat, non fixed gear. Dan yang terakhr adalah lomba trackstand khusus fixed gear. Secara keseluruhan lomba-lomba sederhana tersebut berlangsung tidak sederhana (baca: meriah), hehehe.
Karena matahari semakin meninggi, acara dilanjutkan di hall Brass Radio dengan pemutaran video-video tentang critical mass.
Secara keseluruhan, peserta Kediri Critical Mass yang pertama ini kurang lebih 150 sepeda. Diikuti dari komunitas lowrider, komunitas BMX, dan datang juga sekitar 20 teman-teman dari Malang. Berbagai jenis sepeda menyisir jalanan Kediri pagi ini. Mulai dari lowrider, BMX, MTB, folding, dan tentu saja yang sedang happening saat ini: fixed gear.
Yeay!!! Alhamdulillah! Persiapan cuma satu bulan oleh teman-teman "baru" yang belum pernah bekerja bersama. Hebatlah pokoknya! Selamat untuk kita semua, hey yo Sunmor. Terima kasih yang banyak untuk teman-teman bersepeda yang telah "sadar". Dan salut untuk rombongan dari Malang.
KEmbali ke DIRI kita untuk mencintai lingkungan dengan bersepeda bersama sebagai bentuk CRITICAL MASS terhadap masyarakat yang masih sangat tergantung terhadap kendaraan bermotor.
See you at Kediri Critical Mass Ride #2! :D
Langganan:
Postingan (Atom)