Selasa, 24 Mei 2011

Kemacetan, Mahasiswa, dan Ajang Bisnis Kampus

Kemacetan. Hanyalah salah satu isu yang mulai dimaklumi di negeri ini. Di tengah terpaan segala hal buruk tentang kenegaraan, kemacetan bukan lagi menjadi hal penting untuk diperhatikan. Kemacetan menjadi rutinitas “pemanasan” di pagi hari.

Data 2010 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 70.714.568 kendaraan. Dengan jumlah sekitar sepertiga jumlah penduduk di Indonesia ini, masalah ini bukan lagi menjadi masalah Kementrian Perhubungan saja, namun sudah menjadi masalah sosial.

Di mana akar permasalahannya? Kendaraan pribadi. Seperti yang kita ketahui, saat ini akses kepemilikan kendaraan pribadi sangatlah mudah. Maraknya perusahaan-perusahaan finance yang menawarkan kredit memudahkan masyarakat untuk membeli kendaraan bermotor. Bahkan menyasar pada golongan masyarakat yang “belum terlalu membutuhkan kendaraan bermotor” dengan senjata kredit selama bertahun-tahun.

Angkutan umum. Bukan rahasia lagi kalau angkutan umum di Indonesia ini kurang diperhatikan pemerintah. Baik pusat ataupun daerah. Sudah jelas di mata kita kalau angkutan umum di Indonesia ini kurang nyaman. Dengan dalih itu saja, cukup bagi masyarakat untuk lebih memilih kendaraan pribadi.

Satu lagi, sayang sekali, karena kendaraan pribadi sudah menjadi identitas di negeri ini. Masuk SMP, sepeda motor baru. Masuk SMA, motor sport baru. Masuh kuliah, mobil baru. Fenomena yang menggeser nilai guna kendaraan pribadi. Penekanan tidak lagi pada “kendaraan”-nya, namun pada “pribadi”-nya.

Lalu siapa yang akan peduli?

Pemerintah, terlebih pemerintah daerah tentu harus peduli dengan kenyataan ini. Kemacetan banyak berdampak buruk pada lingkungan. Konsentrasi karbon pada satu tempat tentu tidak baik bagi kesehatan pengendara. Apalagi dengan kurangnya tumbuhan hijau di sisi-sisi jalan, karbon-karbon itu terlalu banyak untuk di-fotosintesis.

Belum lagi masalah psikologi pengendara. Stress karena macet di pagi hari sedikit banyak berdampak pada mood dan produktivitas di tempat kerja.

Pihak kepolisian? Pihak kepolisian tidak dapat berbuat apa-apa untuk menekan laju pertumbuhan kendaraan bermotor. Asal kepemilikannya sah (karena mudah untuk sah), maka kendaraan bermotor layak dikendarai di jalanan. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah seperti memberlakukan program 3 in 1 di Jakarta. Dan apa hasilnya? Hanya menambah “peluang kerja” ilegal.

Selanjutnya saya memilih mahasiswa. Kenapa mahasiswa? Ayolah, karena mereka menyandang predikat “agent of change”. Karena mereka adalah fase dari masyarakat yang dikenal “sadar”. Selain itu juga lembaga yang menaunginya, kampus. Karena kampus merupakan tempat berkumpulnya para intelektual yang revolusioner.

Untuk mahasiswa dan kampus yang berhadapan dengan fenomena ini seharusnya melakukan sesuatu untuk merubahnya. Mungkin ada organisasi mahasiswa yang menyuarakan propaganda kurangi kemacetan dengan berangkat ke kampus menggunakan angkutan umum. Atau komunitas pesepeda di kampus yang berteriak untuk mengurangi polusi udara dengan program “bike to campus”. Bisa juga kampus menghimbau masyarakatnya untuk mengurangi kemacetan. Bahkan kampus juga bisa mengeluarkan peraturan-peraturan yang bertujuan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor ke kampus.

Idealnya, pemerintah daerah bekerja sama dengan kampus dengan suatu kesepakatan bahwa pemerintah daerah akan memperbaiki system angkutan umum dan juga kampus mengeluarkan peraturan yang membatasi mahasiswa untuk menggunakan kendaraan bermotor.
Namun, bagaimana kenyataannya? Saya berbicara tentang Universitas Brawijaya, mungkin yang juga telah diaplikasikan di sebagian besar universitas di Indonesia. Mengetahui jumlah kendaraan yang semakin menjamur di kampus, pihak kampus menerapkan parkir berlangganan bagi setiap kendaraan mahasiswa. Parkir berlangganan ini berupa sticker yang ditempelkan pada kendaraan dan hanya berlaku satu semester.

Selain itu, kampus juga menyadari potensi jalan kampus yang membelah dan bisa menjadi jalan pintas, sehingga pihak kampus menerapkan “tarif tol” bagi setiap kendaraan yang melintas, yang tidak memiliki sticker parkir berlangganan.

Wow! Produk intelektualnya adalah merubah menjamurnya jumlah kendaraan bermotor menjadi peluang bisnis. Mungkin ini adalah salah satu program dari otonomi kampus. Masa bodoh kemacetan, peduli setan polusi, yang penting kita pintar membaca peluang dan menghasilkan uang. Kapitalis!


TOMBLOK TAHU CARANYA MELEPAS PENAT PADA HUJAN SIANG HARI DI HALTE BUSWAY DUKUH ATAS 1 SETELAH INTERVIEW KERJA DI MENARA BNI

Ojek Sepeda: Salah Satu yang Masih Bertahan


“Saya sudah di sini sejak tahun ’78, dulu banyak yang ngojek di sini, sekarang tinggal dua,” kata bapak ojek sepeda yang saya sambangi. Tempat mangkalnya adalah di depan menara BNI, salah satu gedung tertinggi di Jakarta (bahkan mungkin Indonesia). Tepat di bawah halte busway dukuh atas satu, tepat di seberang patung Jenderal Sudirman di Jalan Sudirman, Jakarta.

Bapak yang berasal dari Purwokerto ini mengeluhkan jumlah kendaraan bermotor yang semakin tidak masuk akal. Dulu beliau biasa mengantar penumpang sampai ke Tanjung Priok. “Sekarang penumpangnya pada kagak berani,” sembari tertawa. “Sekarang sih mungkin cuma nganter deket-deket aja, ke dalem.”

Bapak 72 tahun ini sangat mengidolakan Soekarno. Dengan bangganya beliau bercerita tentang keberanian dan ketegasan Soekarno. Beliau juga menekankan tentang etos kerja jaman dahulu dibandingkan dengan sekarang. “Dulu sama Pak Karno kita semua harus sekolah, semua harus kerja! Gak kaya’ sekarang masih muda, bajunya bagus-bagus malah pada ngamen. Masih sehat aja udah pada ngemis!”

Beliau juga mengomentari tentang lembeknya pemerintahan saat ini. Beliau menganalogikan dengan pemerintahan “tangan besi” Soekarno. “Sekarang penjahat pada bebas, kalo dulu, jangankan koruptor, maling aja langsung di-dor! Sekarang? Berani apa SBY?”

Saking kagumnya terhadap Soekarno, beliau menjawab, “Saya pilih Megawati, kemaren,” saat saya bertanya, “Tapi bapak pilih SBY juga kan, kemaren?” “Megawati itu mikirin rakyat kecil. SBY mana? Malah mau ganti minyak pake gas. Itukan mahal, kasian rakyat kecil.” Bahkan beliau juga akan memilih Puan Maharani, putri dari Megawati jika nanti dicalonkan jadi presiden. Lihat betapa suksesnya positioning Megawati di mata “wong cilik”.

Satu lagi, sentralisasi ternyata tidak berpengaruh pada semua elemen masyarakat Jakarta. Bapak yang dulunya pernah menjadi penjaga malam di Priok ini masih sangatlah kolot. Beliau masih bercita-cita pergi ke Jombang untuk menemui Ponari. “Saya dengar kabarnya katanya manjur,” kata beliau yang ingin mengobati daya pendengarannya yang telah menurun. “Saya sudah nyimpen address-nya yang saya dapat di sobekan Koran.”

Ada satu hal mengganjal yang akhirnya saya tanyakan, “Pak, sekarang kan hampir tiap hari hujan, trus gimana dong kalo hujan? Pulang atau berteduh di sini? Jadi tambah jarang narik dong?” Dengan tegar beliau menjawab, “Kalau hujan saya jadi ojek payung.” Wow. Saya melihat usaha yang tak putus dari beliau. Tidak menyerah pada alam, bahkan dengan cerdiknya mengubahnya menjadi lahan penghasilan alternative. “Seikhlasnya aja, ada yang dua rebu, kadang juga lima rebu, tapi pernah juga saya tiga kali dikasih lima puluh rebu, mungkin karena kasian ya liat bapak-bapak tua ngojek payung.”

Mungkin ngobrol-ngobrol saya itu hanya sedikit dari cerita bapak ojek sepeda yang terlihat tabah tanpa keluh tersebut. Ya pak, kita memang harus terus berusaha dan tidak menjadi bangsa pengemis, seperti kata Bung Karno :D

Selasa, 17 Mei 2011

jalan petang

Entah kenapa saya sangat takut untuk perjalanan kali ini. Saya model berencana. Ketika saya tidak punya rencana di depan, saya sangat ketakutan. Lagi-lagi saya hanya "menuruti orang lain". Lagi-lagi saya mengalah. Padahal di saat bersamaan saya sudah mempersiapkan hal lain, yang saya pilih untuk saya prioritaskan, walaupun itu juga bukan prioritas seharusnya.

Saya tidak bisa tidur. Saya bingung apa yang akan saya lakukan di sana. Memang, di sana bukan tempat asing lagi bagi saya. Tetapi di sana sudah berubah. Saya menganggap saya menjadi tidak (belum) pantas kembali ke sana. Saya malu. Saya minder. Saya tertinggal.

Saya hanya bisa mempersiapkan apa yang akan terjadi. Mengantisipasi ketinggalan topik pembicaraan, komentar-komentar kasihan terhadap saya, hingga pandangan mereka kepada seorang pecundang. Karena apa yang telah saya lakukan benar-benar melenceng.

Saya benar-benar takut. Saya ingin tidak jadi berangkat, namun itu hanya akan semakin menasbihkan saya menjadi seorang pecundang. Dan juga menambah predikat plin-plan. Saya benar-benar takut.

Sesampainya di sana, saya tidak mendapatkan pelukan selamat datang yang seharusnya pantas saya dapatkan. Dingin. Lelah perjalanan dibiarkan lelah. Saya masih meraba-raba di mana saya memposisikan diri.

Namun ajakan itu memberi sedikit asa.

Segera bergegas mandi dan sebisa mungkin mengabaikan lelah. Memang seorang pria tidak membutuhkan simbol basa-basi pelukan selamat datang. To the point, saya langsung dihajar di dalam angkot. Dan saya pun diadili di dalam taksi.

Saya ditelanjangi atas semua pembenaran-pembenaran itu. Saya ditunjukkan jalan yang telah dilaluinya, dilalui mereka. Mereka semua pejuang dan saya bukan. Mereka semua mandiri dan saya belum. Saya ditampar.

Setelah itu, dia kembali mengingatkan saya bahwa saya sejajar. "Apa sih yang tidak bisa Aldi kerjakan? Kapan sih Aldi gagal?" Berbicara tentang ekspektasi. Ekspektasi muncul bukan tanpa sebab. Ekspektasi terjadi karena kita memang pantas dinilai setinggi itu.

Saya diajarkan untuk egois. Saya lupa di mana jalan saya. Mungkin karena saya terlalu suka jalan-jalan. Saya harus mengesampingkan hobi jalan-jalan saya dan harus fokus pada jalan saya dulu. Walaupun saya hobi jalan-jalan, namun jarak tempuh jalan saya sendiri masih belumlah apa-apa. Saya tertinggal karena seharusnya saya berjajar dengan jarak Medan, Pekanbaru, Batam, Makassar, Papua, hingga Belanda.

Yep! Saya akan segera menyusul. Harap berhati-hati. Ketika saya suka satu hal, maka akan saya maksimalkan. Dan kini, saya mulai suka menyusul.

Terima kasih. Jalan petang ini memberi cahaya. Karena kita tidak akan membiarkannya tetap gelap.



Saya siap berangkat, saya sudah menyiapkan lampu senter dan lilin.

Rabu, 11 Mei 2011

let's go, green!



Ini adalah video project pertama saya. Awalnya iseng, pas lagi sepedaan ke kampus ngasal nge-shoot jalanan pake kamera hp. Trus buat nglengkapin saya minta tolong Ersa untuk ngambil gambar saya. Ngeditnya juga bukan dengan software yang canggih, cuma kebetulan ada Windows Live Movie Maker di komputer saya, yang notabene adalah software bawaan windows waktu diinstal.

Dan saya benar-benar awam untuk urusan ini, saya hanya punya keinginan saja. Namun, lumayan lah, hehehe.

Selamat untuk kamu yang masih punya keinginan :D
Salam Amateur!

choice

"Nobody is forcing you to do anything Al, everything is your choice, you do because you choose, it's not you do because blah blah blah, it's your choice Al, there's no absolute right or wrong, what is absolute is being responsible with your choice."
Tomblok. Tuesday, May 10th 2011. 01:24 PM via BBM

Minggu, 08 Mei 2011

Kediri Critical Mass

Sebenarnya awal mulanya cuma "iseng" ingin ngepost di blog kedirigirsiji.blogspot.com. Saya, anak baru di komunitas sepeda di Kediri tanya ke Ige, salah satu "sesepuh" di Kediri Sunday Morning (nama komunitas bersepeda di Kediri), apakah kita sudah punya blog? Pertanyaan yang akhirnya dikembalikan ke saya untuk membuat blog komunitas ini.

Sayapun membuat blog tersebut. Dasarnya saya orang baru, saya bingung mau diisi apa blognya. Sejarah gak paham, foto-foto gak punya. Untuk post awal saya cuma bisa ambil sebagian foto-foto di facebook Kediri Sunday Morning. Dan yang kedua saya bikin semacam interview dengan Ige yang kebetulan baru saja menjuarai alley cat race di Weekend Roadrunner Surabaya. Nah, setelah itu blank! Hehehehe.

Pada saat itu, MLGfgss baru saja mempunyai hajat Sunday Bike and Bash dengan konsep critical mass. Acara ini membuat saya berpikir bahwa salah satu tolak ukur keberhasilan suatu komunitas adalah dengan menularkan ide komunitas itu ke masyarakat yang lebih luas. Salah satunya adalah dengan cara mengadakan suatu event. Karena kita adalah komunitas bersepeda, maka ide yang kita tularkan adalah "mari kembali bersepeda!" Dan yang paling cocok adalah konsep critical mass.

Maka langsung saja saya browsing tentang sejarah, konsep acara, hingga kota-kota mana saja yang telah melakukan critical mass. Setelah itu saya kemas dalam bentuk blogpost untuk mempropaganda Kediri Sunday Morning.

Ternyata respon teman-teman Sunmor (sebutan singkat Kediri Sunday Morning) sangat antusias dengan ide ini. Personil Sunmor sebagian ada yang sedang kuliah dan kerja di luar Kediri, di antaranya di Malang dan Surabaya. Sehari setelah post tersebut, Sunmor chapter Malang langsung menindaklanjuti dengan diskusi. Sehari setelahnya giliran Sunmor chapter Surabaya yang berdiskusi. Dari dua diskusi tersebut akhirnya kita memilih tidak menunda-nunda lagi dan akan dilaksanakan pada akhir April atau setidaknya awal Mei.

Selama April, komunikasi dan diskusi terus berlangsung. Awalnya kita menyepakati tanggal 1 Mei 2011. Saya langsung excited, karena bertepatan juga dengan hari buruh internasional, tanggal yang tepat untuk "mengkritik".

Seminggu sebelum hari-H, kita mengadakan "rapat besar" yang dihadiri oleh sekitar 30 personil Sunmor. Dan ternyata...sebagian besar dari kita belum benar-benar paham dengan konsep critical mass. Memang sih, critical mass intiny cuma sekedar bersepeda bersama saja. Beda jauh dari acara-acara bersepeda pada umumnya yang berupa fun bike yang substansinya bukan pada bersepedanya tapi dorprize-nya, hehehe.

Hasilnya kita sepakat mengundur Kediri Critical Mass selama seminggu menjadi 8 Mei 2011. Masih ada waktu 2 minggu untuk persiapan. Kita semakin gencar berdiskusi mematangkannya. Mencetak poster dan selebaran, kemudian menyebarkannya. Membuat banner. Membuat sticker. Membuat kaos. Dan tentu saja, publikasi gencar di dunia maya.


Yeah! Kita sudah sangat siap dan excited!

Acara Kediri Critical Mass ini selain bersepeda bersama menyusuri jalanan kota Kediri, juga ada lomba sederhana dan pemutaran video tentang critical mass. Nah, kebetulan saya yang kebagian tugas bikin video. Penyelesaian video sederhana itupun sangat-sangat mepet. Dead in deadline (lagi-lagi). Video tersebut baru jadi jam 02.00 dini hari, dan saya harus sudah sampe di lokasi start jam 05.30. Begitulah mepetnya.

Dan....KEDIRI CRITICAL MASS akhirnya terealisasi. Acara dimulai dengan berdoa dan briefing tentang rute perjalanan. Start dari Brass Radio pukul 06.30 dengan check point di Simpang Lima Gumul.Setelah cukup beristirahat dan cukup foto-foto, kita kembali melanjutkan perjalanan dengan finish kembali ke Brass Radio. Setelah di finish, acara dilanjutkan dengan lomba-lomba. Lomba pertama adalah long skid khusus fixed gear. Dilanjutkan oleh lomba trik BMX. Lalu lomba sepeda lambat, non fixed gear. Dan yang terakhr adalah lomba trackstand khusus fixed gear. Secara keseluruhan lomba-lomba sederhana tersebut berlangsung tidak sederhana (baca: meriah), hehehe.

Karena matahari semakin meninggi, acara dilanjutkan di hall Brass Radio dengan pemutaran video-video tentang critical mass.

Secara keseluruhan, peserta Kediri Critical Mass yang pertama ini kurang lebih 150 sepeda. Diikuti dari komunitas lowrider, komunitas BMX, dan datang juga sekitar 20 teman-teman dari Malang. Berbagai jenis sepeda menyisir jalanan Kediri pagi ini. Mulai dari lowrider, BMX, MTB, folding, dan tentu saja yang sedang happening saat ini: fixed gear.

Yeay!!! Alhamdulillah! Persiapan cuma satu bulan oleh teman-teman "baru" yang belum pernah bekerja bersama. Hebatlah pokoknya! Selamat untuk kita semua, hey yo Sunmor. Terima kasih yang banyak untuk teman-teman bersepeda yang telah "sadar". Dan salut untuk rombongan dari Malang.

KEmbali ke DIRI kita untuk mencintai lingkungan dengan bersepeda bersama sebagai bentuk CRITICAL MASS terhadap masyarakat yang masih sangat tergantung terhadap kendaraan bermotor.


See you at Kediri Critical Mass Ride #2! :D

Jumat, 06 Mei 2011

no private gas day

Pagi kemarin saya, Ersa, dan Jaya pulang kampung ke Kediri naik kereta api. Sesungguhnya ini yang pertama kali bagi kami. Perjalanan ke stasiun pun diawali dengan naik angkot. Dan baru menyadari, kalo sepagian ini saya belum menggunakan kendaraan bermotor pribadi sama sekali.

Nah, dari sini, entah kenapa saya bertekad kalo seharian ini saya tidak akan menggunakan kendaraan plat hitam sama sekali! Hahahaha :D

Oke, perjalanan naik kereta, berarti aman sampai Kediri.

Sampai stasiun Kediri. Sebenarnya saya bisa minta dijemput adik saya, tapi karena pake sepeda motor, jadi saya urungkan. Saya berencana naik becak saja.

Ersa sudah minta dijemput. Tinggal Jaya yang ternayata tidak ada yang menjemput. Awalnya saya menawarkan untuk naik becak ke rumah saya, lalu saya antar Jaya pulang. Tapi keinget kalo nanti nganter Jaya pulang, sama saja saya harus pake sepeda motor. Waduh! Akhirnya, saya tidak jadi "berbaik hati" pada Jaya. Saya malah menyuruh Jaya naik angkot, hehe.

Jadinya Jaya dijemput adiknya, dan saya...jalan kaki dari stasiun sampe rumah :D Hingga jam 3 sore masih bebas dari kendaraan bermotor pribadi.

Sampe rumah, saya sempatkan sepedaan sore sebentar. Sampai maghrib saya masih bersih dari pembakaran premium, hehehe.

Malam harinya saya disuruh beli nasi goreng sama ibuk. Oke, naik sepeda. Tapi ternyata adik saya yang masih berumur 6 tahun merengek mau ikut. Walah! Hampir saja saya menyerah dengan naik motor. Tapi saya ingat, saya ada sepeda satu lagi yang bisa untuk boncengan, walaupun boncengannya "tidak biasa".

Meskipun saya agak kerepotan dalam membawa bungkusan 8 nasi goreng dengan sepeda dan membonceng adik saya, namun saya masih bisa mempertahankan status #noprivategasday ini, yeay!

Dan sisa malam itupun hanya saya habiskan di rumah. Maka berhasil lah saya menjalankan "nazar" sehari tanpa menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Bukan pencapaian yang fenomenal sih, tapi saya akan syukuri. Alhamdulillah :))