Kamis, 04 Agustus 2011

Fenomena Ekonomi di Bulan Ramadhan

Ramadhan merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Bagi umat Muslim, Ramadhan adalah bulan yang besar, agung, dan suci. Bulan di mana mereka dapat semakin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Singkatnya, Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan ampunan.

Tetapi pada perkembangannya, efek Ramadhan tidak hanya terdapat pada nilai-nilai religius semata. Datangnya Bulan Ramadhan telah berimbas pada aspek-aspek yang lain, misalnya dari aspek sosial kemasyarakatan, aspek hukum, dan aspek ekonomi.

Meninjau pada aspek sosial kemasyarakatan, Ramadhan mengingatkan kita agar lebih peka terhadap lingkungan sosial masyarakat di sekitar kita. Karena di Bulan Ramadhan ini, kita diajarkan untuk berbanyak-banyak infaq dan sedekah. Dengan meningkatnya intensitas infaq dan sedekah merupakan cerminan dari kepedulian kita terhada sesama. Hal serupa juga terlihat bila dilhat dari aspek hukum. Setiap Lembaga Pemasyarakatan biasanya memberikan remisi atau pengurangan masa hukuman pada sebagian besar narapidana.

Yang sangat menarik adalah jika kita menilik dari sektor ekonomi. Entah mengapa, tetapi setiap datangnya Bulan Ramadhan, intensitas transaksi, aktivitas ekonomi cenderung meningkat. Mulai transaksi kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan pangan dan pakaian, hingga kebutuhan tersier.

Mari kita berbicara contoh. Sebagai awalnya kita meninjau ke pasar tradisional. Layaknya hari-hari biasa, diluar Ramadhan, tidak ada yang istimewa yang dapat kita temui pada pasar tradisional. Ketika Ramadhan tiba, bisa dipastikan bahwa jumlah transakasi pada pasar tradisional bisa meningkat hingga dua kali lipat. Pada Bulan Ramadhan, selain menyiapkan untuk kebutuhan makanan sehari-hari, juga ada tambahan kebutuhan penting lainnya, yaitu ta’jil.

Ta’jil

Belanja untuk kebutuhan ta’jil ini sangat fenomenal. Karena tidak hanya melibatkan mereka yang telah sehari- hari berkecimpung di pasar tradisional, tetapi juga menarik para pemuda untuk terjun ke pasar tradisional. Dewasa ini ta’jil telah mengalami perluasan kepentingan. Dari yang awalnya hanya sebagai sekadar hidangan pembuka bagi yang berbuka puasa, kini ta’jil telah menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Dan seperti yang telah disebutkan di atas, bisnis ta’jil tidak hanya dimonopoli oleh mereka yang “seharusnya” menyiapkan ta’jil, tetapi juga oleh para pemuda.

Mengapa bisnis ta’jil bisa begitu menarik? Satu contoh, es blewah. Saya membeli blewah yang berdiameter kurang lebih 20cm di Pasar Sama’an Malang dengan harga Rp 3.000,00. Kemudian saya olah dengan bahan tambahan setengah botol sirup dan es batu hingga menjadi satu panci besar es blewah. Dengan modal Rp 3.000 untuk blewah, Rp 5.000 untuk setengah botol sirup (es batu bikinan sendiri dan air putih sudah tersedia) bisa dikonsumsi untuk seluruh penghuni kos saya yang berjumlah 14 orang. Dan apabila kita membeli pada penjual ta’jil, kita akan menemui harga Rp 3.000,00 per porsi es blewah. Porsi yang sama dengan yang saya bagikan ke teman-teman kos dan tingkat kemanisan yang kurang.

Karena memang pada dasarnya masyarakat Indonesia memang senang dengan hal yang praktis, maka penjual ta’jil pun marak pembeli. Apalagi para penjula ta’jil sekarang sangat kreatif dan inovatif dengan “produk” yang mereka tawarkan. Silakan datang ke Jalan Soekarno Hatta Malang pada saat ngabuburit!

Kebutuhan Sandang

Setelah dari pasar tradisional, kita bepergian ke departemen store yang jamak kita temui di mal-mal yang ada di kota besar. Pada masa-masa puasa seperti ini, setiap departemen store berlomba-lomba untuk menawarkan diskon besar-besaran. Diskon ini bertujuan untuk menarik konsumen dan meningkatkan penjualan.

Kita akan menemui bertambahnya jumlah pengunjung pada hari-hari bulan puasa ini jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Entah karena sejuknya AC yang terdapat di setiap sudut departemen store tersebut sehingga melupakan kita akan dahaga, bisa jadi. Kemungkinan lainnya adalah adanya budaya yang masih melekat pada sebagian besar masyarakat Indonesia, bahwa “Lebaran, baju baru”.

Tunjangan Hari Raya (THR)

Apa yang melandasi terciptanya statement tersebut? Jika ditilik dari sisi ekonomi, ada satu fenomena yang menjelaskan mengapa budaya tersebut masih saja subur di kalangan mayoritas masyarakat Indonesia. Yaitu Tunjangan Hari Raya (THR). Bagi setiap pegawai atau karyawan, THR adalah suatu yang ditunggu-tunggu. THR merupakan tunjangan diluar gaji, bisa dikatakan bonus, yang diberikan pada setiap menjelang hari raya. Karena di Indonesia mayoritas masyarakanya beragama Islam, maka sebagian besar perusahaan atau instansi membagikan THR menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Seperti yang diwartakan oleh Jawa Pos edisi Minggu, 30 Agustus 2009 pada halaman 3, “THR Wajib Sepekan sebelum Lebaran”. Ditegaskan oleh Menakertarans Erma Suparno bahwa seluruh perusahaan wajib memberikan THR kepada karyawan maksimal sepekan sebelum Lebaran. Perusahan juga diimbau tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menghindari kewajiban THR. Jika manajemen perusahaan sengaja mengelak membayarkan THR kepada karyawan, pemerintah dapat menerapkan sanksi tegas.

Mungkin karena THR inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain. Seperti yang kita ketahui, biasanya perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat dan di kawasan Eropa membagikan bonus pada karyawan pada akhir tahun. Hal ini juga yang menjadikan pergesaran budaya belanja masyarakat Indonesia yang terjadi pada hari-hari Ramadhan.

Penukaran Uang Pecahan Kecil

Selain fenomena-fenomena di atas, fenomena lain yang terasa istimewa yang terjadi di Bulan Ramadhan adalah adanya konsentrasi massa yang lumayan besar pada halaman depan Bank Indonesia di pagi hari. Bahkan tak sedikit dari mereka yang telah mengantri sejak pukul lima pagi! Apa yang diharapkan mereka dengan rela mengantri pagi-pagi pada hari puasa yang seharusnya, bagi sebagian besar orang, sangat mengantukkan? Ya, mereka antri untuk menukarkan uang pecahan kecil. Pecahan kecil disini adalah pecahan Rp 20 ribu ke bawah. Apalagi terhitung sejak tanggal 10 Agustus 2009 kemarin, telah ditebitkan mata uang rupiah pecahan baru, yakni dua ribu rupiah.

Harian Jawa Pos pada tanggal 27 Agustus 2009, halaman 9 memberitakan bahwa terjadi peningkatan drastis penukaran uang pecahan kecil. Menurut catatan Bank Indonesia (BI) Surabaya, pada Senin (24/8) dan Selasa (25/8) jumlah penukaran uang tercatat hingga Rp 8,1 miliar. Deputi Pemimpin BI Surabaya Bidang Sistem Pembayaran dan Manajemen Internal Mohammad Ishak mengatakan bahwa pada tahun lalu selama Bulan Ramadhan penukaran uang kecil mencapai Rp 103,3 miliar. Pada tahun ini, diperkirakan ada peningkatan hingga 15 persen.

Satu-satunya alasan yang dapat saya pahami mengapa penukaran uang pecahan kecil ini marak dilakukan pada Bulan Ramadhan adalah adanya budaya memberi uang saku dari para orang tua kepada anak-anak yang merayakan Lebaran. Biasanya anak-anak (diartikan bagi mereka yang belum bekerja) akan mendapat semacam uang saku atau bonus pada saat Lebaran. Tidak hanya yang berasal dari keluarga tetapi mereka semua yang merayakan Lebaran dengan silaturahim ke rumah-rumah kerabat ataupun tetangga juga mendapat uang saku tersebut. Nah, uang saku tersebut dibagikan dengan uang pecahan kecil.

Dalam melayani penukaran uang tersebut, BI membatasi mereka yang melakukan penukaran. “Sifatnya untuk meratakan saja. Sehingga semua orang bisa menikmati pecahan uang kecil dan tidak ada aksi borong yang akhirnya diperjualbelikan,” cetus Mohammad Ishak. Tetapi hal yang dikhawatirkan oleh Mohammad Ishak tersebut terjadi. Setidaknya seperti dapat ditemui di Malang, tepatnya di daerah sekitar BI, tepatnya di jalan Merdeka Utara.

Seperti dalam Radar Malang (Jawa Pos Group) pada tanggal 30 Agustus 2009, halaman 29. Terdapat foto seorang yang sedang menjajaka uang. Uang? Ya, menjual uang! Mayoritas uang yang dijajakan adalah pecahan baru Rp 2.000. Satu gebok uang senilai Rp 200 ribu dijual antara Rp 260 ribu hingga Rp 300 ribu. Dan yang mengejutkan, para penjual uang tersebut ternyata mendapatkan uang baru itu di BI Surabaya.

Sebenarnya hal ini menunjukkan tingkat kreativitas masyarakat Indonesia yang tinggi, di mana mereka dapat mencium dan memaksimalkan peluang.

Bulan Ramadhan tidak hanya bulan yang penuh berkah, magfirah, dan ampunan, tetapi juga bulan yang penuh transaksi. Dilandasi dengan anjuran untuk memperbanyak infaq dan sedekah, ditunjang dengan adanya THR, dan budaya belanja Lebaran dan uang saku.



Catatan: Tulisan lama, September 2009. Sudah pernah dipost di note facebook.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar