Sabtu, 30 April 2011

buang sampah di jalan


Sudah "lumrah" kita lihat para pengguna jalan membuang sampah sembarangan. Entah itu pengendara mobil, sepeda motor, sepeda, sampai penumpang becak tidak sungkan membuang sampah di jalan.

Lalu apa? Kita mengeluh dengan jalanan yang kumuh? Kita menghujat pemerintah karena tidak bisa menanggulangi banjir?

Ayolaaahhh, tidak perlu saya tulis lagi kata-kata yang ada pada setiap tempat sampah. Atau seharusnya di setiap mobil harus ada tempat sampahnya. Atau di bawa dulu sampahnya, nanti baru dibuang kalo nemu tempat sampah. Atau lempar sampahnya ke tempat sampah yang ada di pinggir jalan. Biarpun gak masuk ke tempat sampah, setidaknya kita sudah berniat "membuang sampah pada tempatnya" :)

Minggu, 10 April 2011

Hujan di Tengah Jumat

Hujan deras mengguyur kos saya Jumat kemaren. Tepat di tengah hari bolong, di mana saatnya laki-laki muslim wajib melaksanakan Sholat Jumat di Masjid. Hilmi dengan sedikit bercanda tapi bermaksud serius menyarankan untuk tidak Sholat Jumat dengan alasan sunnah tidak sholat jika memang hujan deras. Saya sih setuju saja dan mengamini untuk tidak berangkat ke masjid, meskipun saya barus saja selesai mandi. Tapi Jaya dan Roy memaksa untuk tetap berangkat. Dengan argument, “Halah, hujan gini saja, kan ada payung!” “Dulu di zaman Rasul memang boleh gak ke masjid kalo hujan, karena dulu belum ada payung.” Sekejap saya teringat bahwa sudah ada teknologi penangkal hujan bernama payung. Hehehe.

Betapa hebatnya teman-teman saya yang begitu keukeuhnya memperjuangkan kewajiban sholat ini. Namun otak iseng saya sekelebat memerintahkan mulut saya untuk melontarkan pertanyaan, “Tadi pagi kamu Subuhan gak?” Dijawab Jay, “Gak, hehe. (Setidaknya Jay sudah jujur :p)

Sekarang pertanyaannya, apa yang membuat Sholat Jumat lebih penting dari Sholat Subuh? Apa karena Sholat Jumat hanya dilakukan seminggu sekali? Lhah? Kalo gitu kita bisa seenaknya sama sholat yang lain dong? Udah tiap hari, lima kali lagi. Apa karena Sholat Jumat diwajibkan ke masjid? Sebenernya sih semua sholat disunnah-muakkadkan dilakukan di masjid, kitanya aja yang kelewat males. Apa karena Sholat Jumat ada ceramahnya? Kalo mau rajin dikit sih, kita bisa dapet ceramah tiap hari di kultum subuh di masjid-masijd. Hehe.

Dipertegas lagi pas Sholat Jumat jumlah jamaah bisa dibilang luar biasa. Masjid penuh oleh laki-laki semua. Masjid yang melebar, penuh dari sisi utara hingga selatan. Dan masjid yang bertingkat, sesak di setiap lantainya. Lha terus kalo pas 34 waktu sholat lain dalam seminggu pada ke mana kita ini ya?

Fenomena yang sama dapat kita jumpai pada saat sholat Ied. Baik itu Idul Fitri maupun Idul Adha. Selain itu juga bisa kita temui pada fenomena sholat tarawih. Oke, dengan begitu kita bisa mengerucutkan sebabnya. Yaitu semua hari yang (dianggap) penting dan yang berjangka waktu.

Dengan menganggap ada suatu hari yang dipentingkan, maka kita akan mempersiapkan dengan baik datangnya hari itu. Namun di sisi lain, bisa jadi kita juga bisa menyepelekan hari-hari yang lain. Terlebih jika kita mengasosiasikannya pada sholat. Entah terbukti, atau apalah namanya, namun kondisi seperti itu bisa saya sebut dengan mementingkan suatu sholat dan menyepelekan sholat lainnya. Apakah kita lupa kalau sholat Jumat juga sama wajibnya dengan sholat subuh dan sholat wajib lima waktu lainnya. Apakah kita mengesampingkan sunnah sholat Ied di masjid atau lapangan kosong dan sunnah sholat tarawih di masjid sama dengan sunnahnya sholat fardhu di masjid?

Faktor selanjutnya adalah tentang jangka waktu. Kita cenderung lebih antusias menghadiri suatu acara yang memiliki rentang waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kita masih belum siap dengan kontinuitas. Apalagi jika kita bicara tentang sholat. Fakta-fakta yang saya sebutkan di atas membuktikan bahwa sholat (berjamaah) masih dianggap rutinitas yang memaksa bagi sebagian orang. Tak terkecuali saya.

Satu lagi, mungkin fenomena semacam sholat Jumat itu sudah tersetting menjadi gerakan massa. Menjadi kewajiban di atas kewajiban. Bahkan mungkin merubah sholat Ied menjadi kewajiban. Kenapa? Terdesak pandangan sinis masyarakat jika kita tidak melakukannya? Dipaksa keadaan?

Eh, saya menyebut kalo kita masih belum siap dengan rutinitas ya? Bagaimana dengan pekerjaan? Saya tidak tega menyebut kalo pekerjaan adalah “tuntutan”. Atau ada yang menyanggah, bahwa pekerjaan bukanlah tuntutan, tapi karena mereka sangat mencintai pekerjaan itu sehingga kita rela melakukannya secara rutin. Lalu pertanyaannya, kenapa kita tidak mencintai sholat?

Mari kita lebih bijak lagi. Sholatlah karena itu kebutuhan kita. Untuk hati yang tenang karena syukur.



Catatan: Hehe, saya pun tidak lebih baik dari kita semua. Sholat saya juga masih terkadang bolong-bolong.

BELAJAR ITU BERPIKIR

Jika ada istilah “learning by doing”, sepertinya saya kok “learning by thinking”.

Baru tadi pagi saya bisa melakukan skid. Padahal sebelumnya saya tidak bisa. Dua mingguan pake fixie tapi belum pernah bisa melakukan skid. Bahkan yang pertama kali melakukan skid dengan sepeda saya adalah adiknya Ersa yang masih kelas 4 SD. Berkali-kali saya mencoba gak pernah berhasil.

Tapi tadi pagi, saya coba lagi kok “tiba-tiba” bisa. Saya coba lagi pakai sepedanya Ersa yang crank-nya lebih besar (lebih berat genjotannya), eh, bisa juga. Saya sendiri juga terheran-heran. Darimana kemampuan itu. Ini tadi tanpa berlatih, saya lakukan pada percobaan pertama langsung bisa!


Sebelumnya saya juga pernah merasakan hal seperti ini. Saat itu saat masih belajar gitar. Jari saya masih kaku dalam memencet senar. Pada saat belajar kunci (berdiri) tentu saja harus membiasakan jari meregang untuk memencet senar. Berhari-hari tetap saja tidak berhasil. Yasudah.

Lalu pada suatu hari, entah kenapa kok saya (lagi-lagi) “tiba-tiba” bisa. Saya langsung bisa kunci (berdiri) itu pada kesempatan pertama saya memegang gitar pagi itu.

Saya tidak belajar dengan melakukannya. Saat proses belajar itu sering berakhir dengan kegagalan. Dan besoknya tiba-tiba bisa.

Sepertinya otak saya merekam bagaimana caranya melakukan apa yang sedang saya pelajari. Kemudian pada saat semua “data” sudah lengkap dan diolah saatnya mengeksekusi dengan cara menyampaikan pesan cara-cara yang telah dipelajari ke bagian tubuh yang melakukannya. Mungkin begitu polanya.

Terimakasih Tuhan atas cara belajar yang agak aneh ini.

Apa yang saya lakukan ketika mempunyai hal baru?

IKHLAS.

Kenapa menunggu hilang dulu untuk menjadi ikhlas?
Kenapa menunggu usang dulu untuk menjadi ikhlas?
Tak usah menunggu rusak untuk menjadi ikhlas.
Berbagilah.
Kesenangan itu.
Sensasi itu.

“Kenapa sepedaan saja harus pake fixie?”

Dalam benak saya yang masih apatis dengan tren fixie. Sampai pada malam itu Hilmi dan Ersa bermain fixiestudio.com, situs yang memungkinkan kita membuat gambaran fixie impian kita. Setelah dipaksa mencoba, akhirnya jadi juga fixie impian saya.



Dan seketika itu juga saya benar-benar jatuh hati. Besoknya saya langsung belajar tentang fixie dari internet. Kenapa kok dinamai fixed gear? Apa saja istilah-istilah bagian-bagian fixie? Harga part-part fixie. Semua saya lahap. Hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk mengkonsep sepeda saya sebagai sepeda yang “generik”. Maksudnya saya akan membangun sepeda yang part-partnya bukanlah part kelas satu, namun hanya part-part “biasa”. Juga saya akan memaksimalkan barang-barang bekas dalam pembuatannya. Reuse and recycle! (hahahaha, alasan gara-gara gak punya uang :p)

Besoknya lagi saya menjabani pasar loak. Part pertama yang saya dapat adalah frame. Frame itu langsung saya bawa ke tukang cat. Setelah itu saya membuat wheelset dan part-part lainnya. Seminggu setelah cat frame jadi saatnya merakit sepeda. Walaupun harus ada penyesuaian di sana-sini, akhirnya jadi juga. Yeay!!


Jadi, perlu waktu seminggu bagi saya untuk menyukai sesuatu dan mewujudkannya! “Just do it” kata Nike. Keinginan bukan untuk dipendam tapi direalisasikan. Keinginan bukan untuk diadukan dalam twitter. Keinginan bukan hanya sekedar khayalan. Keinginan itu seperti peluang. Apakah kamu akan memaksimalkan peluang itu atau tidak.

Hmm, mengenai pertanyaan di awal tulisan ini, saya akan menjawabnya. Kenapa harus fixie? Karena dengan fixie akan meningkatkan semangat kita untuk bersepeda. Warnanya yang warna-warni sedap dipandang dan meningkatkan kepercayaan diri tersendiri. Mungkin kini fixie sudah menjadi gadget yang dengan bangga ditenteng.

Namun saya punya filosofi sendiri untuk fixie. Seperti yang saya twitkan beberapa hari yang lalu. Fixie adalah jujur, tenaga yang kita keluarkan sama dengan laju sepeda. Fixie tidak ribet dengan birokrasi, tenaga kaki kita langsung ditujukan ke pedal yang dikayuh. Fixie tak kenal kompromi, tidak ada penyesuaian gear yang mempengaruhi kecepatan. Fixie mengajarkan untuk selalu waspada, karena tidak bisa nge-rem mendadak, harus berhati-hati dan waspada. Fixie adalah tentang terus bergerak, terserah pilihan kita, mau maju apa mundur?

Selain itu saya menghindari penggunaan kata “gowes” dalam kegiatan bersepeda saya. Karena sampai sekarang saya masih menganggap bahwa kata “gowes” adalah kata yang didengungkan hanya atas nama ke-keren-an. Karena kata “bersepeda” kurang sell out jika dibandingkan kata “gowes”. Seakan-akan “gowes” hanya merupakan praktek pamer dan keren-kerenan yang menghilangkan fungsi sebenarnya dari bersepeda. Ketika “go green” menjadi tren dan kehilangan substansinya. Memakan mentah-mentah tren bersepeda (eh, gowes :p) tanpa beraksi lebih lanjut.

Sabtu, 09 April 2011

Doa Makan

Eh, masih ada gak ya yang sebelum makan berdoa sebelum makan seperti yang diajarkan di SD dulu?

"Allahumma Bariklana Fima Rozaktana Wakinaa Adzaa Bannaar"

Saya berusaha masih :D

(akan) posting tumpuk-tumpuk :p

Jadi saya kehilangan akses internet.
Saya sudah menumpuk beberapa tulisan untuk diposkan.
Oke, akan saya cek, ummm... ada 5 tulisan baru.
Saya juga berencana me-repost tulisan saya di blog friendster saya dulu. Ada 3 tulisan.
Selain itu saya juga mau meng-upload video pertama bikinan saya sendiri.

Nah, pas sudah di rumah lagi, akses internet lancar, ternayata tulisan saya masih urung juga di-post.
Karena tulisa saya save di Word 2007. Dan, silakan ditertawakan, komputer di rumah saya masih menggunakan Word 2003.
Ketika semua windows menggunakan windows seven atau setidaknya vista, di sini masih menggunakan XP.
Ehm, kita tahu bagaimana bentuk "XP" dalam emoticon, hehehe.

Yasudah ya. Iya.