Senin, 07 November 2011

Idul Adha: Tenggang Rasa atau Renggang Rasa?



Sebuah repost dari 27 November 2009:




Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Laailahaillalaahu Allahu Akbar..
Allahu Akbar walillahilham..
(takbir, hehe)

Ungkapan syukur umat muslim atas datangnya Hari Raya Idul Adha. Bersyukur karena di (setidaknya satu) hari ini kita diingatkan untuk berintropeksi dan kembali mengingat. Dewasa ini kita sudah dimanjakan oleh fasilitas-fasilitas keduniawian. Komunikasi, transportasi, transaksi begitu diagungkan belakangan ini. Nah, dengan Idul Adha ini saat tepat untuk kembali mengingat untuk berbagi. Berbagi apapun.

Ditinjau dari sejarahnya, Idul Adha sarat dengan pelajaran-pelajaran berbagi yang dapat kita ambil dari Sang Tokoh Utama, yaitu Nabi Ibrahim AS. Berbagi keikhlasan, berbagi keyakinan hati, ketika diperintah Allah untuk menyembelih putranya Ismail AS. Totalitas dalam melaksanakan perintah, ketika beliau diperintah untuk meninggikan pondasi Ka’bah, sebetulnya cukup bagi beliau untuk menyusun batu hingga setinggi yang bisa dijangkau oleh tangannya. Namun beliau tidak puas akan hal itu dan terus menumpuk hingga lebih tinggi lagi. Itu semua dilakukan karena kecintaannya pada perintah-perintah Allah.

Hingga berbagi dalam arti sebenarnya (baca : amal). Tidak cukup dengan hanya sekedar amal (menyisihkan sejumlah harta, sudah), namun juga harus dihiasi dengan ikhlas dan ditunaikan dengan sepenuh hati. Diriwayatkan suatu hari Rasulullah SAW menjumpai Fatimah, putrinya sedang menggosok dirham (perak). Nabi bertanya: “Untuk apa engkau menggosok dirham?”

Kemudian Fatimah menjawab, “Aku berniat menyedekahkannya.”

“Kalau akan diberikan orang lain, mengapa engkau gosok (membersihkan/memperbagus) dulu?” tanya Rasulullah.

“Karena aku tahu bahwa dirham ini akan sampai di tangan Allah sebelum berpindah ke tangan orang yang membutuhkan.”


Well, itu hanya sepenggal dari khotbah sholat Idul Adha di jalanan dekat kos saya pagi ini. Oiya, refleksi berbagi juga dijumpai pada pelaksanaan sholat ied yang diselenggarakan (sebagian besar) di lapangan-lapangan atau setidaknya di lokasi yang dinilai cukup lapang untuk mengumpulkan semua elemen masyarakat muslim di satu tempat (karena tadi saya sholat di tengah jalan raya, hehe). Sholat di lapangan (mungkin) dimaksudkan untuk mengakomodasi semua muslim untuk merayakan hari raya bersama-sama. Bukan rahasia jika setiap sholat ied akan selalu memecahkan rekor jumlah jamaah. Makna lainnya, dengan sholat di lapangan kita bisa memupuk kebersamaan, silaturahmi (atau silaturahim? Hehe), tenggang rasa, berbagi tempat, bersama-sama di pagi yang sangat dingin. Kapan lagi coba? Indahnya Idul Adha. Hahaha

Namun, saya merasakan kerenggangan dalam kebersamaan itu. Sepele, tapi merepresentasikan “ya, seperti inilah Indonesia.” Kita datang berbondong-bondong, baju koko, kopiah, rukuh, sajadah, ada yang bawa beberapa lembar koran juga. Tiba, mengambil tempat, memasang sajadah, duduk dengan nyaman, bertakbir. Ketika sholat akan dilaksanakan…….apa-apa’an ini???? Kita semua hanya terpaku pada tempat awal kita. Terpaku pada sajadah kita, bahkan ketika mengetahui saf depan kita kosong. Apalagi tak jarang yang sajadahnya lebar. Ini saf terlonggar yang pernah saya temui!!!! Bahkan, kita lupa pesan standar imam ketika akan memulai sholat, “Rapatkan safnya, yang depan dipenuhi dulu!” hahaha, kita terlalu nyaman dengan posisi kita!

Yup! Seperti inilah Indonesia. Kita masih terlalu egois untuk meninggalkan sesuatu yang kita “bangun” untuk dinikmati orang lain. Kita masih terlalu nyaman dengan kondisi dan enggan untuk “maju” demi mencari sesuatu yang lebih baik. C’mon guys! Lets move forward!

NB: tadi saya pake sajadah kecil kok.. :p

Sabtu, 05 November 2011

Dokter dan Dosen Pembimbing

Sering denger pasien terlantar karena dokternya sedang sibuk, kan? Pasien mengantri giliran periksa sambil menahan sakit, dokternya belum datang. Ketika ditanyakan ke susternya, selalu jawaban tidak pasti. Mau gimana lagi? Dokter punya nilai tawar di sini. Pasien mau sembuh ga? Ya sudah, harus sabar. Sementara dokter (mungkin) masih baru bangun tidur. Dokter tidak merasakan sakit. Kalau sudah begini yang tersisa hanya mengharap belas kasihan dokter untuk lebih memikirkan pasiennya. Eh, atau (mungkin) itu sudah menjadi keharusan dalam kode etik seorang dokter? Profesionalitas? Sebagai seorang pengabdi? Atau posisi penting yang digantungkan banyak pihak sehingga menciptakan kuasa?

Dosen pembimbing juga begitu.