Kamis, 31 Maret 2011

Di Mana Saya Berada?

Sepertinya saya terlalu sering terlalu lama meninggalkan blog ini. Sebenarnya idealnya saya akan menulis, setidaknya mengomentari isu maupun peristiwa yang terjadi. Mengingat betapa ramainya negara (dan dunia) ini, seharusnya saya sangat sering meng-update blog ini.

Mungkin mengkritik pemerintah? Menghujat DPR (atau langsung pada Marzuki Alie). Mengutuk penyerangan. Prihatin terhadap bobroknya hukum. Bersuara tentang kisruh PSSI. Bersimpati terhadap korban bencana. Hingga hal-hal kecil di sekitar saya, seperti tertunda dan tertundanya skripsi saya, hobi jalan-jalan saya, sepeda fixie saya, komentar tentang film yang saya tonton, dan pengalaman saya menonton konser.

Melihat concern saya di beberapa bidang tersebut, blog saya seperti ketinggalan jaman. Sebenernya saya spontan, tapi gak spontan nulisnya. Sialnya lagi karena, pemikiran-pemikiran itu hanya nyangkut di kepala terus lupa ditulis. Pas mau nulis kok rasanya udah lewat masanya, hehehe.

Oke, mulai sekarang saya akan mencoba untuk lebih aktif menulis lagi. Sepertinya lebih menyenangkan daripada kehidupan kos saya yang sudah mulai menjadi rutinitas. Membosankan. Hahahaha.

Oiya, saya agak aktif di twitter. Mungkin di sana bisa sedikit menggambarkan di mana saya berada :)

Kamis, 17 Maret 2011

pre-(ac)cident

Saya tidak pernah menjadi peserta seminar tentang kepemimpinan yang sewaktu-waktu berteriak “SUKSES!”. Namun ya sedikit banyak saya tau lah bagaimana pemimpin yang baik. Setidaknya secara harfiah, pemimpin adalah orang yang memimpin. Orang yang memimpin biasanya berada di depan. Orang yang berada di depan seharusnya memberi contoh yang baik sehingga patut untuk ditiru. Saya juga sering mendengar beberapa kriteria-kriteria seorang pemimpin yang baik. Katanya, pemimpin harus berwibawa, jujur, adil, amanah, bisa mengayomi, tegas, dan lain-lain yang baik-baik.

Menjadi pemimpin bisa di mana saja. Baik secara formal maupun informal. Yang informal contohnya orang yang ditunjuk sebagai ketua rombongan perjalanan, orang yang dianggap berpengaruh di sekolah, dan orang yang “dituakan” di suatu desa. Kalo pemimpin formal adalah kepala keluarga, ketua kelas, ketua umum suatu yayasan, kepala cabang sebuah bank, walikota, gubernur, hingga seorang presiden.

Dari semua macam-macam pemimpin tersebut seharusnya memiliki kriteria yang ideal sebagai pemimpin. Semakin luas dan besar cakupan kekuasaannya, harus semakin lengkap kriteria yang dimilikinya. Apa jadinya kalo kepala keluarga tidak jujur? Keluarganya pasti akan berantakan. Apa jadinya kalo walikota tidak amanah? Bisa-bisa dia akan melakukan korupsi. Apa jadinya kalo gubernur tidak adil? Dikhawatirkan dia akan menganaktirikan suatu daerah dan hanya memusatkan pembangunan di satu daerah.

Lalu, apa jadinya kalo seorang presiden tidak tegas? Tengoklah negara bernama Indonesia. Masa’ ada sih presiden yang masa pemerintahannya masih 3,5 tahun tapi rakyatnya sudah meributkan calon presiden baru. Diperparah lagi salah satunya yang digadang-gadang (dan menjadi bahan tertawaan) adalah isu bakal majunya istrinya sendiri sebagai calon presiden.

Ada juga tetralogi buku terbitan salah satu mantan wartawan istana yang menuliskan tentang sisi lain keseharian presiden yang ternyata jauh dari wibawa. Di buku itu di bahas habis-habisan bagaimana ‘letoy”-nya sang presiden dalam menghadapi istrinya. Juga cerita-cerita tentang jenderal satu ini yang ternyata adalah seorang pesolek. Penulis juga dengan cermat mencatat janji-janji kampanye presiden, yang ternyata hingga saat ini hanya sebayas pepesan kosong. Keempat buku itu benar-benar membuat gelisah.

Yang terbaru adalah serangan dari dua surat kabar terbitan Australia yang mengutip berita dari wikileaks. Dalam headline-nya satu Koran menulis “Yudhoyono Abused Power” dan satunya lagi “Bambang: Thank You Ma’am”. Dua harian asal Australia tersebut menyebutkan tentang penyalah gunaan kekuasaan oleh presiden. Dan juga yang sudah menjadi rahasia umum, tentang vitalnya peran “ibu ratu” di istana Negara.

Selain itu, efek demokrasi yang dijunjung tinggi sang presiden menjadi boomerang, senjata makan tuan. Masyarakat mulai berani secara terang-terangan menghujatnya. Baik secara sopan melalui opini di surat kabar ataupun secara langsung di social media. Tak dapat dipungkiri, maraknya social media di Indonesia juga berpengaruh besar dalam membentuk opini publik, dalam hal ini memaki pemerintah (presiden). Belum lagi dari blog-blog para orang berpengaruh yang biasanya disertai dengan data dan fakta.

Presiden di negara bernama Indonesia itu suadah jauh dari ideal. Presiden dianggap sudah gagal dalam menjalankan pemerintahan. Presiden ini dikenal lambat dan tidak tegas. Presiden ini juga seorang yang “cengeng”, hingga terkenal dengan template kata “prihatin” untuk setiap respon peristiwa buruk yang menimpa negaranya. “Saya prihatin dengan (masalah xxx)” , begitulah kira-kira template-nya. Dan? Sudah! Berhenti di situ saja.

Ahh, sudahlah, saya tidak memiliki kompetensi untuk membicarakan (atau menghujat) –nya. Terima kasih untuk demokrasinya. Bahkan saya menulis seperti ini juga merupakan produk dari demokrasi. Dan, ya, saya menghujat presiden.

Bebas?

16 Maret 2011

Kemarin sore lagi-lagi ada peristiwa terorisme peledakan bom di Jakarta. Kali ini modusnya berupa paket buku yang di dalamnya ada rangkaian bom berdaya ledak rendah. Pihak polisi yang mungkin menganggap sepele bahwa itu adalah bom gadungan membuka bom buku tersebut tanpa menunggu tim gegana. Namun sialnya, ternyata bom buku itu benar-benar terpasang bom aktif. Ketika seorang polisi akan mengambil salah satu komponennya, yang berbentuk seperti baterai ponsel, bom itu meledak. Ada tiga korban yang terluka, yang paling parah adalah polisi tersebut, tangan kirinya putus karena terkena ledakan langsung dari jarak yang sangat dekat.

Paket kiriman bom buku tersebut ditujukan kepada Ulil Abshar Abdalla, seorang aktivis pluralisme dan HAM, pendiri Jaringan Islam Liberal, dan juga politisi Partai Demokrat dengan alamat di Kantor Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berada dalam satu komplek dengan Kantor Berita dan Radio 68H di Utan Kayu, Jakarta Timur. Belakangan juga diketahui bahwa paket bom buku serupa juga dikirimkan ke dua alamat lainnya, yaitu Kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang juga mantan Kadensus 88, Komjen Goris Mere, di Kantor BNN dan kepada Japto S. Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP).

Buku yang dikirimkan di Utan Kayu dan Kantor BNN berjudul sama, yaitu “Mereka Harus Dibunuh Karena Dosa-Dosa Mereka Terhadap Islam dan Kaum Muslimin”. Sedangkan buku yang dikirimkan untuk Ketua Umum PP berjudul “Apakah Masih Ada Pancasila”. Ketiganya disertakan surat pengantar untuk meminta dibuatkan kata pengantar buku dan izin untuk melakukan interview.

Jika menilik dari ketiga target tersebut, bisa diduga bahwa motif pelaku adalah bentuk perlawanan karena perbedaan pandangan dan idealisme. Tidak perlu saya menduga-duga lebih lanjut, karena tidak ada gunanya berlarut-larut. Yang perlu ditekankan di sini adalah betapa gampangnya untuk meneror seseorang. Betapa mudahnya berlaku kasar jika tidak sependapat.

Masih segar di ingatan kita tentang penyerangan sekelompok masyarakat terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Tasikmalaya yang menewaskan tiga orang Jamaah Ahmadiyah. Ada lagi aksi perusakan massa terhadap beberapa gereja di Temanggung. Aksi tersebut semula berpusat di depan pengadilan yang menggelar persidangan terdakwa penistaan agama dan kemudian merembet ke gereja-gereja di Temanggung. Ketika masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap hakim, maka inilah yang disebut “main hakim sendiri”. Literally. :p

Peristiwa-peristiwa tersebut adalah beberapa peristiwa yang terjadi pada akhir-akhir ini. Sebelumnya aksi teror-teror itu pun telah banyak dilakukan. Jika diruntut ke belakang aksi-aksi seperti ini mulai marak sejak era reformasi. Saat-saat di mana kita merayakan kemenangan dari kekangan orde baru. Lepas! Bebas! Ya, kita bebas berpendapat, bebas berekspresi, bebas bersuara, bebas melakukan apa saja. Ironisnya, aksi teror ini berkembang sejalan dengan perkembangan demokrasi kita.

Demokrasi Indonesia lahir secara prematur. Kita memaknai kebebasan dengan berlebihan sehingga mengenyampingkan saling menghargai perbedaan. Atas nama demokrasi kita bebas berpendapat. Atas nama demokrasi paham-paham pemikiran bermunculan. Namun atas nama demokrasi pula kita bebas bereaksi apa saja terhadap pendapat dan paham-paham itu.

Dengan bekal demokrasi yang hanya diartikan secara sempit sebagai kebebasan malah membentuk masyarakat yang egois. Masyarakat yang berlomba-lomba memajukan kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan tidak jarang yang “bebas” melakukan segalanya demi tercapainya tujuan. Karena di sisi lain masyarakat Indonesia belum memahami benar hakikat hidup bernegara.

Demokrasi hanya menjadi ajang orgasme masyarakat yang bebas melakukan apa saja. Otak kita berkembang dengan penafsiran-penafsiran subyektif. Menjadi masyarakat yang tak tersentuh. Namun di saat yang sama kita tidak siap dengan segala macam keberagaman yang datang bertubi-tubi ini. Ketika terusik mereka akan bereaksi melawan. Melawan dengan diplomasi hingga serangan fisik.

Tampaknya masyarakat Indonesia masih perlu pemahaman lebih dalam tentang saling menghargai. Bahwa setiap masyarakat demokrasi harus bisa dengan lapang dada menerima setiap perbedaan. Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan ini juga dilandasi dengan rasa hormat terhadap keberagaman.

Demokrasi impian Indonesia adalah di mana masyarakatnya hidup berdampingan dengan rukun tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama. Dengan begitu Indonesia akan semakin kaya. Kaya akan kebudayaan bersanding dengan kekayaan sumber daya alam. Dan jumlah penduduk yang mencapai 230 juta ini juga menyimpan potensi kekayaan pemikiran. Alangkah indahnya jika kita bisa saling melengkapi pemikiran-pemikiran itu dengan membudayakan diskusi dengan damai.

Saya membedakan reaksi masyarakat dalam menghadapi isu ke dalam tiga kelompok. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang pro terhadap isu tersebut. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang kontra atau melawan isu tersebut. Dan kelompok yang ketiga adalah kelompok yang apatis dalam menanggapi isu itu.

Sebagai generasi muda, tentunya kita sangat prihatin dengan keadaan negeri kita yang tercinta ini. Namun keadaan menyedihkan ini bukan alasan bagi kita untuk menjadi apatis. Saya yakin sebagian besar dari kita adalah kelompok yang kontra dengan kondisi Indonesia yang seperti ini. Mari kita lawan dengan tidak membenarkan kondisi ini. Mari kita lawan dengan belajar saling menghargai perbedaan. Mari kita lawan dengan belajar berdemokrasi dengan baik. Mari kita wujudkan keberagaman yang bebas bedampingan.

Sabtu, 05 Maret 2011

Rejeki

"Alhamdulillah, dapat rejeki.."

"...iya, nanti kalo dapat rejeki.."


Sayang sekali, bagi sebagian orang, rejeki (rezeki, rizki) telah disempitkan artinya menjadi hanya berupa UANG!

Ungkapan-ungkapan di atas sering kita temui ketika sesorang mendapat uang.

Kenapa ada embel-embel "dapat" sebelum kata rejeki? Seakan-akan baru saat itu kita dapat rejeki?

Bukankah rezeki telah selalu kita dapat? Sesungguhnya kita selalu dilimpahi rezeki.

Mari lebih peka untuk bersyukur :)