Minggu, 19 Juni 2011

Belum Siap

Pada Workshop Perbankan Syariah beberapa hari yang lalu dipaparkan mengenai pemetaan segmen target market masyarakat terhadap bank syariah. Hasil dari pemetaan tersebut menunjukkan bahwa banking orientation mayoritas masyarakat adalah memilih bank sesuai kebutuhan, untuk kebutuhan bisnis misalnya. Hasil pemetaan secara psikografis juga merujuk hasil “rata-rata” masyarakat yang memilih bank berdasarkan keamanan dan pelayanan. Bahkan ada satu peserta ulama yang jelas-jelas mengaku memilih bank berdasarkan keuntungannya.

Dari hasil tersebut membuat saya berpikir bahwa masyarakat Indonesia ini kurang (atau mungkin malas) memahami suatu ide. Dalam kasus ini bank syariah, ide perekonomian syariah, terlepas dari riba. Mereka “masih” memilih berdasarkan kebutuhan, karena mereka mementingkan kemudahan akses bisnisnya daripada memenuhi panggilan untuk kembali ke syariah demi perbaikan ekonomi.

Hasil psikografispun, masyarakat memilih bank berdasarkan keamanan dan pelayanannya. Oke, saya anggap mereka paham akan keamanan pada bank syariah yang terjamin, namun mereka juga masih memandang permukaan pelayanannya. Saya yakin merekapun asal menjawab jawaban yang “aman”.

Memang ini adalah tugas perbankan syariah untuk memperbaiki pelayanannya, setidaknya sejajar dengan bank konvensional. Namun setidaknya masyarakat juga proaktif memberi masukan, toh ini juga merupakan solusi untuk perekonomian Indonesia dimana bank syariah lebih mendukung pada pertumbuhan sektor riil.

Bicara seperti ini hampir sama dengan ketika hanya mempertanyakan kebijakan pemerintah, namun kita tidak mendukung. Hanya menghujat, tanpa solusi. Ya, kita masih belum paham bagaimana menjadi masyarakat yang berdemokrasi. Kita mau bebas namun masih mengemis kesejahteraan. Lagi-lagi karena kita belum paham ide dari demokrasi itu.

Mari kita tengok negeri yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Pluralisme dengan tegas menjadi semboyan negeri nan elok dengan beragam adat, agama, budaya, dan suku ini. Tapi apa yang kita lihat di berita-berita kemarin? Ahmadiyah? FPI? Penggembokan GKI Yasmin? Demokrasi adalah bebas memaksakan kehendak.

Merambah ke ranah pemerintah. Hmmm… mereka inilah yang mengaku-ngaku menjadi penegak demokrasi di negeri ini. Para politisi, mulai dari jajaran eksekutif hingga legislative, bahkan yudikatif. Apa? Korupsi? Tidak heran. Sudah biasa. Kita bisa apa? Bisa dapat imbalan untuk memilih. Demokrasi adalah bebas mencapai tujuan politis.

Menuju ke industri kreatif, musik. Demokrasi membuat para musisi menjadi semakin kreatif. Dari segi genre sampai lirik yang syirik. Acara-acara musik bawah tanah juga semakin marak, semakin banyak media untuk bersuara. Tetap saja, demokrasi juga membawa dampak buruk bagi dunia ini dalam bentuk pembajakan. Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat dengan mudahnya mendapatkan hasil jerih payah para pekerja musik tanpa membeli produknya. Pembajakan menjadi kejahatan yang hampir mustahil diberantas hanya dengan mengandalkan peraturan.

Sial, lama-lama tulisan ini mengarah ke masalah moral. Tapi mau gimana lagi. Saya cuma
memotret fakta. Fakta bahwa kita ini adalah masyarakat pemalas yang hanya melihat permukaan. Fakta bahwa kita adalah bangsa yang minder dan pemilih jalan pintas. Fakta bahwa kita ini belum siap karena kita lemah di pondasinya. Semoga saat ini adalah masa-masa pembentukan pondasi. Ayolaaaaahhh, udah pada gede kan? Udah tau mana yang baik, mana yang buruk kan? Udah bisa mikir mana yang bakal jadi baik, mana yang nantinya malah merugikan kan?

Ayo kita bersiap menjadi siap menjadi bangsa yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar