Selasa, 17 Mei 2011

jalan petang

Entah kenapa saya sangat takut untuk perjalanan kali ini. Saya model berencana. Ketika saya tidak punya rencana di depan, saya sangat ketakutan. Lagi-lagi saya hanya "menuruti orang lain". Lagi-lagi saya mengalah. Padahal di saat bersamaan saya sudah mempersiapkan hal lain, yang saya pilih untuk saya prioritaskan, walaupun itu juga bukan prioritas seharusnya.

Saya tidak bisa tidur. Saya bingung apa yang akan saya lakukan di sana. Memang, di sana bukan tempat asing lagi bagi saya. Tetapi di sana sudah berubah. Saya menganggap saya menjadi tidak (belum) pantas kembali ke sana. Saya malu. Saya minder. Saya tertinggal.

Saya hanya bisa mempersiapkan apa yang akan terjadi. Mengantisipasi ketinggalan topik pembicaraan, komentar-komentar kasihan terhadap saya, hingga pandangan mereka kepada seorang pecundang. Karena apa yang telah saya lakukan benar-benar melenceng.

Saya benar-benar takut. Saya ingin tidak jadi berangkat, namun itu hanya akan semakin menasbihkan saya menjadi seorang pecundang. Dan juga menambah predikat plin-plan. Saya benar-benar takut.

Sesampainya di sana, saya tidak mendapatkan pelukan selamat datang yang seharusnya pantas saya dapatkan. Dingin. Lelah perjalanan dibiarkan lelah. Saya masih meraba-raba di mana saya memposisikan diri.

Namun ajakan itu memberi sedikit asa.

Segera bergegas mandi dan sebisa mungkin mengabaikan lelah. Memang seorang pria tidak membutuhkan simbol basa-basi pelukan selamat datang. To the point, saya langsung dihajar di dalam angkot. Dan saya pun diadili di dalam taksi.

Saya ditelanjangi atas semua pembenaran-pembenaran itu. Saya ditunjukkan jalan yang telah dilaluinya, dilalui mereka. Mereka semua pejuang dan saya bukan. Mereka semua mandiri dan saya belum. Saya ditampar.

Setelah itu, dia kembali mengingatkan saya bahwa saya sejajar. "Apa sih yang tidak bisa Aldi kerjakan? Kapan sih Aldi gagal?" Berbicara tentang ekspektasi. Ekspektasi muncul bukan tanpa sebab. Ekspektasi terjadi karena kita memang pantas dinilai setinggi itu.

Saya diajarkan untuk egois. Saya lupa di mana jalan saya. Mungkin karena saya terlalu suka jalan-jalan. Saya harus mengesampingkan hobi jalan-jalan saya dan harus fokus pada jalan saya dulu. Walaupun saya hobi jalan-jalan, namun jarak tempuh jalan saya sendiri masih belumlah apa-apa. Saya tertinggal karena seharusnya saya berjajar dengan jarak Medan, Pekanbaru, Batam, Makassar, Papua, hingga Belanda.

Yep! Saya akan segera menyusul. Harap berhati-hati. Ketika saya suka satu hal, maka akan saya maksimalkan. Dan kini, saya mulai suka menyusul.

Terima kasih. Jalan petang ini memberi cahaya. Karena kita tidak akan membiarkannya tetap gelap.



Saya siap berangkat, saya sudah menyiapkan lampu senter dan lilin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar