Kamis, 20 Januari 2011

Negari Prasangkadiraja : Gayus vs Satgas

Gayus menuduh tim satgas pemberantasan mafia hukum yang dibentuk Presiden SBY merekayasa kasusnya. Gayus menuding bahwa satgas hanya mempersempit masalah dengan "hanya" menunjuk hidung Grup Bakrie.


Prasangka: Satgas yang memojokkan Bakrie ini dimaksudkan untuk segera meringkus dan membongkar semua kebusukan Bakrie. Seperti yang kita ketahui, Abu Rizal Bakrie (Ical) digadang-gadang akan menjadi capres pada 2014. Berbagai politisasi telah dilakukannya, seperti memberi bantuan pada korban Merapi dan yang terbaru adalah meng-klaim bahwa keberhasilan Timnas Indonesia tak lepas dari kontribusinya.


Pihak Istana (termasuk satgas) yang direpresentasikan pada twitter Andi Arief menyerang Adnan Buyung Nasution, kuasa hukum Gayus, karena membiarkan Gayus memberikan keterangan pers setelah sidang. Andi Arief menganggap Buyung menghambat pemberantasan korupsi karena hanya memperkeruh suasana dengan menyerang satgas.


Prasangka: Istana seperti kebakaran jenggot. Karena dengan tuduhan Gayus yang menganggap satgas mempersempit kasus, Istana mengindikasikan ketakutannya jika Gayus benar-benar akan membongkar semua kebobrokan pajak maka akan terkuak kebobrokan pemerintah juga. Kasus ini ditengarai terkait dengan kasus Susno Duadji yang juga menyatakan komitmennya untuk memberantas mafia kepolisian. Kasus Susno Duadji ini berkaitan dengan kasus Antasari Azhar. Dan Kasus Antasari Azhar berkaitan dengan Kasus Century. Dan dari kesemua kasus-kasus tersebut seakan-akan dipelintir dan dialihkan dari kasus luar biasa di belakangnya. Kecurigaan kita akan mengarah pada tim penyidik dari Polri karena penyidiklah yang melimpahkan ke pengadilan. Dan pengadilan hanya bekerja sesuai dengan berkas-berkas dari tim penyidik Polri.


-------------------------------------


Lagi-lagi masyarakat lah yang terkena imbasnya. Masyarakat dibuat menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi tanpa pengungkapan bukti. Media-media pun bersorak dengan hanya menyampaikan kabar sepotong-sepotong. Berita yang belum benar-benar selesai. Dan ketika semua sudah mendekati titik terang, akan disapu lagi dengan berita mencengangkan lainnya.


Begitulah siklusnya. Masyarakat dianggap bukan elemen penting untuk mengetahui duduk persoalan. Kalau sudah begitu, masyarakat akan berprasangka bahwa memang ada peran yang bertugas sebagai pengalih isu yang membuat kita lupa akan kebenaran. Cukup transparan, cukup transparan kebodohanmu pemerintah!


NB: Saya memilih untuk tidak berprasangka buruk, karena hanya akan menambah dosa saya. Berpikir positif saja bahwa ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah untuk membersihkan negara kita ini. Dan mendoakannya.

Rabu, 19 Januari 2011

Vonis Gayus Memvonis Diri

Siang tadi Hakim Albertina Ho sudah menjatuhkan vonis hukuman pada Gayus Tambunan yaitu dengan hukuman penjara selama 7 tahun dan denda 300 juta. Reaksi pertama saya adalah langsung ngetwit "What??? 7 tahun saja???" Itu adalah reaksi spontan saya jika didasarkan dengan pemberitaan Gayus yang overrated di media-media. Selama ini Gayus digambarkan sebagai The Godfather, mafia pajak yang bisa dengan gampangnya membeli hukum. Dengan latar belakang pegawai negeri golongan 3 dia dikabarkan memiliki rekening sebesar 28 miliar rupiah. Dia calo dari perusahaan-perusahaan besar yang ingin mengemplang pajak, disinyalir ada sekitar 140 perusahaan. Pada saat di penjara pun dia juga dengan leluasa melancong ke Bali hingga ke Makau. Dan juga kaitan-kaitan kasus besar yang mengancam negara.


Dari deskripsi di atas pasti Gayus tak luput dari segala sumpah serapah, caci maki dan hujatan. Kami semua membayangkan kalau Gayus akan dihukum maksimal (setidaknya 20 tahun penjara seperti yang dituntutkan oleh Jaksa Penuntut Umum). Jadi ketika Hakim menjatuhkan vonis 7 tahun penjara (saja) saya yakin kita semua akan terhenyak. Bergumam, "Gak adil nih!" Berprsangka, "Pasti hakimnya sudah disogok." Dan berbagai macam reaksi awam lainnya. Awam? Yup, awam! Karena kita tidak benar-benar tau kasus apa saja yang sedang disidangkan.


Persidangan siang tadi belum menemukan bukti dari rekening 28 miliar rupiah tersebut. Gayus hanya didakwa dalam empat kasus yaitu dugaan korupsi dalam penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal, menyuap penyidik Polri, menyuap hakim, dan memberikan keterangan palsu. Itu saja. Jika ditilik dari kasus-kasus tersebut, vonis 7 tahun dinilai sudah tepat.


Lalu? Bagaimana dengan kasus-kasus yang lain? Berdasarkan pada kultwit dari @taufikbasari ternyata kasus Gayus ini sudah cacat sejak awal. Kasus Gayus direkayasa oleh penyidik untuk dibonsaikan. Penyidik, dalam hal ini Polri, sengaja mengaburkan fakta-fakta penting dari kasus Gayus ini. Menyedihkan, tapi begitulah kenyataannya.


Tidak berhenti di situ, setelah sidang Gayus berkoar bahwa kasusnya adala rekayasa dari satgas mafia hukum bentukan Presidan SBY. SBY yang mendengan pengakuan Gayus menjadi berang dan memanggil satgas seketika. Satgas pun membantah semua tuduhan Gayus itu. Atas instruksi Presiden, satgas menggelar konferensi pers untuk mengklarifikasi tuduhan Gayus tersebut.


Di satu sisi setelah sidang, Gayus memposisikan diri sebagai "korban" kambing hitam. Korban dari para "big fish" atau para petinggi, mafia sebenarnya dan juga rekayasa dari satgas. Memang pengakuan Gayus yang akan memposisikan diri sebagai whistle blower pengungkapan kasus mafia pajak di Indonesia ini sedikit banyak meraih simpati publik. Dalam sekejap dia berubah akan menjadi pahlawan. Di sisi lain, klarifikasi dari satgas juga berdasarkan bukti yang akurat.


Nah, pertanyaannya sekarang adalah: Anda percaya pada siapa? Pada Gayus yang berjanji akan membongkar semua kasus mafia pajak di Indonesia? Atau pada satgas yang merupakan badan independen bentukan presiden yang seharusnya memang kita percaya?


Kekacauan hukum dan konflik ini memecah opini publik. Namun tak sedikit pula masyarakat yang memilih apatis untuk tidak mempercayai keduanya. Masyarakat terlalu lelah untuk percaya. Dan lagi dijejali konflik Gayus vs Satgas ini membuat masyarakat bertambah bingung, "Sekarang kita harus percaya pada siapa lagi?"


Baiklah, saya memahaminya sebagai bagian dari masyarakat. Sekarang kita sedang tidak punya pegangan. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Terus menghujat? Bukankah menghujat hanya menghabiskan energi dan tidak membawa perbaikan? Atau kita bertambah apatis? Masa bodoh dengan apa yang sedang terjadi. Tapi ingat, metode hujat dan apatis tetap saja tidak membawa kita kepada sesuatu yang kita impikan.


Inilah protet Indonesia saat ini. Sudah terlanjur percuma untuk kita jika hanya berharap pada pemerintah. Memang bukan urusan kita secara langsung untuk merubahnya, karena kita tidak memiliki cukup power. Sudah terlalu lama jika kita menunggu suatu kekuatan yang akan merubah negeri ini. Lalu, kepada siapa kita mengadu?


Kalau memang tidak ada yang bisa dipercaya, maka tinggal diri kita sendirilah yang bisa dipercaya. Diri kita sendirilah yang akan merubah apa yang kita anggap tidak benar. Jika kita menghujat Gayus karena korupsinya, maka kita sendirilah yang menjauhi korupsi. Kita harus berlaku jujur dan transparan dalam keuangan pada setiap kegiatan. Jika kita mencaci Gayus karena suapnya, maka kita sendirilah yang tidak membenarkan praktek sogok menyogok untuk mencapai suatu tujuan ini. Jika kita membenci Gayus karena mafia hukumnya, maka kita sendirilah yang harus patuh hukum dan menjaga tegaknya hukum.


Tak bosan saya mengajak, "Mari berantas korupsi sejak diri!" :D

Selasa, 18 Januari 2011

(Jangan) Maklumi Korupsi

Hey, kawan! Tahukan kalian kalau Negara kita yang tercinta ini sedang tidak aman. Mengapa kita masih saja berselimut dalam zona nyaman? Ya, Negara ini sedang hancur. Para wakil rakyat yang gagal mewakili. Karena menurut mereka kesejahteraan juga diwakilkan pada mereka. Para penegak hukum yang lupa bagaimana cara menegakkan hukum. Ya, hukum sudah runtuh.



Demokrasi (prematur) ini malah membuat kita menjadi egois. Mementingkan diri sendiri dan berpikiran jangka pendek. Mungkin satu-satunya yang masih berpikiran jangka panjang adalah politik! Ya, karena mereka selalu mempunyai maksud dibalik semua topeng kegiatannya. Pencitraan. Ups, tapi ternyata pada akhirnya kembali juga sempit, karena maksud tersebut hanya untuk kepentingan golongannya sendiri (keluh).



Dan tentu saja, sang pionir adalah korupsi. Lagi-lagi karena belum benar-benar paham apa itu demokrasi. Karena demokrasi bagi kita sebatas mendapatkan space untuk berbuat semau kita. Menilik hakikat manusia yang tidak pernah puas, maka demokrasi ini menjadikan lahan yang subur untuk korupsi. Oke, mari bicara fakta. Oh, sial, saya bingung mau memulai dari mana. Karena korupsi ini sudah mengakar, bahkan membudaya.



Okelah, siapa yang tidak kenal Gayus Tambunan dengan semua sepak terjangnya yang sudah menggurita tentang mafia pajak. Mencuatnya isu mafia hukum mengindikasikan bahwa hukum di Negara ini bisa diperjual-belikan. Kasus Antasari Azhar, Kasus Bibit dan Chandra, Kasus bail-out Bank Century bisa jadi merupakan suatu kasus yang berawal dari dugaan korupsi yang merembet pada mafia hukum.



Semua sektor pemerintahan pun tak luput dari korupsi. Kemendiknas yang bertanggungjawab terahadap pendidikan negeri ini pun tak luput dari dugaan korupsi. Temuan BPK pada 2009 tentang adanya aliran dana liar sejumlah 2,3 Triliun rupiah akan diperiksa KPK. Kemensos yang seharusnya mempedulikan masyarakat sosial juga tak lepas dari isu korupsi. Hal ini terkuak setelah tiga panitia pengadaan Kemensos mengungkap peran mantan Mensos Bachtiar Chamsyah dalam kasus korupsi pengadaan mesin jahit, sapi impor, dan sarung.



Yang lebih mencengangkan lagi adalah pengakuan dari Menteri Dalam Negeri mengenai banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Gamawan Fauzi menyebutkan ada 155 kepala daeah yang menjadi tersangka korupsi, 74 diantaranya adalah gubernur. Gamawan menjelaskan bahwa korupsi ini terakait dengan proses pilkada yang memakan banyak biaya, dan korupsi ini dalam rangka balik modal. Wow! Sudah berniat korupsi sejak awal.



Begitulah gambaran betapa Negara kita ini sedang hancur. Kenapa kita masih saja tenang? Kenapa kita masih saja tidak peduli? Seorang teman menjawab, “Cari duit susah bang, gak sempet mungkin.” Nah, di sini akar permasalahannya. Inilah cermin dari demokrasi kita. Liberal. Masyarakat yang bebas, namun pada akhirnya mengarah ke egoistis. Kita hanya diajarkan untuk meraih cita-cita kita setinggi-tingginya. Tapi cita-cita Negara? Itu urusan pemerintah!



Faktor lain yang membuat kita apatis adalah tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Memang Desember 2010 lalu LSI melansir tingkat kepuasan publik masih sebesar 63% (walaupun itu turun jauh dibandingkan pada awal pemerintahan SBY yang mencapai 85%). Tetapi bisa kita lihat dari elemen masyarakat menengah ke bawah, mereka bahkan sudah tidak mempedulikan pemerintah. Mereka sudah muak dengan kekacauan yang ada di negeri ini. Mereka sudah lupa apa arti nasionalisme itu, dan hanya bekerja demi kelangsungan hidup masing-masing tanpa lagi mengharap janji kesejahteraan. Satu-satunya nasionalisme yang ada adalah tentang mendukung Timnas Indonesia. Itu saja.



Hey, kawan! Apakah kita akan terus berpura-pura menutup mata? Apakah kita akan menyerah dan memakluminya? Karena jika kita memakluminya, maka kita membenarkannya. Sehingga rawan adanya tendensi untuk melakukannya dan melestarikannya.



Marilah kawan, kita berani menyalahkan apa yang sedang terjadi di Negara ini. Marilah kawan, kita berlaku melawan semua kesalahan itu. Tidak perlu memaksakan tindakan masif, cukup mengawali dari diri kita masing-masing. Mari kita berantas korupsi sejak dini dan sejak diri. Jangan maklumi korupsi!

Rabu, 05 Januari 2011

STOP BBM TIDAK PRODUKTIF : Pendisiplinan Pengendara di Bawah Umur

Dengan dalih penghematan BBM dan penghematan anggaran pemerintah berencana melakukan pembatasan untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Terdapat 2 (dua) opsi pelaksanaannya. Yang pertama adalah BBM bersubsidi hanya diperuntukkan mobil pribadi tahun 2005 dan sebelumnya;dan kendaraan umum. Opsi kedua lebih ekstrim, yaitu BBM bersubsidi hanya khusus untuk mobil kendaraan umum, praktis mobil pribadi dilarang membeli BBM bersubsidi. Rencana ini akan dilakukan per 1 Maret 2011 secara bertahap. Dimulai dari Jabodetabek, kemudian Jawa-Bali, dan seterusnya.


Rencana ini tentunya menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini akan semakin menambah panjang beban masyarakat yang masih jauh dari kesejahteraan. Respon negatif ini menyeruak karena program pemerintah ini tidak diiringi dengan pembangunan sarana dan prasarana publik.


Mengkritisi mengenai program pemerintah tentang penghematan anggaran melalui BBM bersubsidi tentu kita akan semakin apatis. Karena telah banyak upaya penghematan anggaran BBM bersubsidi ini yang berakhir tidak efektif. Salah satu contohnya adalah fluktuasi harga BBM. Tentu saja program yang terkini sangat rentan untuk dipatahkan. Karena program kali ini tidak memiliki tolok ukur yang riil dan dapat menuntaskan persoalan yang ada.


Oke, sebelumnya kita telusuri tujuan pemerintah dari pembatasan BBM ini. Alasan penghematan anggaran menjadi boomerang bagi pemerintah karena membuktikan bahwa rencana penganggaran yang disusun pemerintah tidak berjalan baik sehingga perlu melakukan penghematan dengan menerbitkan peraturan “sepihak”.


Semakin jelas bahwa pemerintah terlalu rajin menumpuk-numpuk peraturan tanpa menegakkannya dengan maksimal terlebih dahulu. Peraturan lama belum mencapai tujuan sudah diikat dengan peraturan baru. Model legislasi seperti ini cenderung menyepelekan peraturan-peraturan kecil. Padahal jika ditegakkan dengan benar peraturan-peraturan sepele tersebut bisa juga berdampak besar.


Tujuan sebenarnya adalah penghematan konsumsi BBM yang mulai tak terkendali. Peraturan-peraturan yang telah diterbitkan, seperti kenaikan harga BBM dan juga rencana ini ujung-ujungnya juga bertujuan untuk penekanan pemakaian BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi. Namun ternyata peraturan-peraturan tersebut masih juga dimentahkan oleh masyarakat. Karena masyarakat Indonesia telah memiliki mind set mendewakan kendaraan pribadi.


Sehubungan dengan rencana pembatasan BBM bersubsidi ini, alangkah baiknya jika pemerintah meningkatkan efektivitas pemakaian BBM. Salah satu caranya adalah dengan pengurangan pemakaian BBM tidak produktif. Produktif tidaknya pemakaian BBM dalam hal ini menyasar pada konsumsi BBM pada kendaraan pribadi.


Seperti yang kita ketahui, kendaraan pribadi sudah menjamur di negeri ini. Setiap rumah, bahkan setiap anggota keluarga memiliki kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi berangsur-angsur telah menjadi kebutuhan primer. Sebagai contoh, bagi keluarga muda, pemilikan kendaraan pribadi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi nomor dua setelah mengontrak rumah. Apalagi ditunjang dengan berbagai kemudahan-kemudahan kredit yang ditawarkan. (Ini dia bukti bahwa kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjadi pengusaha masih lemah. Karena mereka lebih memilih untuk melakukan kredit kendaraan pribadi daripada kredit usaha.)


Memang tidak bisa disalahkan juga karena transportasi juga merupakan alat pemenuhan kebutuhan yang penting. Ketika transportasi umum tidak bisa diharapkan maka masyarakat lebih memilih pada kendaraan pribadi. Pajak kendaraan pribadi yang relatif rendah juga menjadi faktor pendukung. Dan juga harga bahan bakar minyak yang bersubsidi yang terjangkau.


Mungkin disini perlu ditilik mengenai efektivitas pemakaiannya. Tidak dengan membuat peraturan baru, namun dengan memaksimalkan peraturan yang sudah ada. Di sini saya akan mengangkat tentang satu peraturan sepele, yaitu peraturan kepemilikan SIM yang berkaitan dengan umur pengendara bermotor. Seperti yang kita ketahui peraturan kepemilikan SIM adalah sudah berumur 17 tahun, otomatis berlaku juga dengan pengendara.


Namun sudah rahasia umum bahwa peraturan tersebut sangat disepelekan. Tidak dipungkiri jika banyak remaja yang menggunakan kendaraan bermotor di bawah 17 tahun. Tidak menutup mata jika banyak praktik pencaloan SIM yang memungkinkan pembuatan SIM bagi remaja di bawah 17 tahun.


Pendisiplinan Kepemilikan SIM


Dalam persyaratan permohonan SIM perseorangan berdasarkan Pasal 81 UU No. 22 Tahun 2009, usia minimal pemohon SIM C adalah 17 tahun, SIM A dan D adalah 17 tahun, SIM B1 adalah 20 tahun, dan SIM B2 adalah 21 tahun. Selain itu pemohon harus memiliki KTP yang berarti juga harus berumur 17 tahun.


Namun kenyataan di lapangan banyak terdapat pemilik SIM yang belum benar-benar berumur 17 tahun. Bagaimana bisa? Tidak usah dipungkiri bahwa telah terjadi praktik pencaloan SIM di badan Polri. Para pemohon di bawah umur pun bisa dipalsukan umurnya dengan jasa calo-calo ini. Suka atau tidak KKN model calo SIM ini menjadi berlarut-larut dan susah diberantas.


Pendisiplinan Pengendara di bawah 17 tahun


Menurut saya yang mendasari peraturan umur pengendara minimal 17 tahun adalah factor stabilitas emosi. Bagi remaja yang berumur di bawah 17 tahun cenderung memiliki emosi yang belum stabil. Usia remaja di bawah 17 tahun dinilai masih mudah terprovokasi sehingga mempengaruhi emosinya saat berkendara. Praktis kondisi tersebut dapat berpengaruh juga pada konsentrasi berkendara. Dan situasi emosi yang tak terkendali tersebut berpotensi menimbulkan kecelakaan.


Selain emosi, pengetahuan mengenai etika berlalu lintas juga masih sangat minim dikuasai oleh remaja berusia di bawah 17 tahun itu. Merujuk pada sebuah artikel, Kepala Dinas Perhubungan Bantul, Mardi Ahmad mengatakan bahwa sekitar 75% kecelakaan lalu lintas menimpa anak-anak usia remaja. “Minimnya etika berlalu lintas menjadi penyebab utama. Mereka suka ugal-ugalan di jalan, meski membahayakan keselamatan diri dan orang lain,” tambahnya. Jumlah itu bisa juga menjadi bukti banyaknya pengendaran kendaraan bermotor yang berusia remaja di bawah 17 tahun.


Dari kedua penjabaran di atas, kita tidak bisa memungkiri adanya pelanggaran-pelanggaran sepele yang berdampak besar. Hanya dari melanggar satu peraturan tersebut bisa menjadi efek bola salju ke pelanggaran-pelanggaran berikutnya. Oleh karena itu, pihak yang berwenang sebaiknya mempertimbangkan kembali untuk melakukan pendisiplinan terhadap kepemilikan SIM dan para pengendara di bawah umur ini. Karena upaya pendisplinan ini akan menimbulkan multiefek. Pertama dapat menekan pemakaian BBM tidak produktif dari para remaja di bawah umur. Kedua, dapat meminimalisir ruang gerak calo SIM, bahkan memberantasnya. Dan yang terakhir adalah menekan angka kecelakaan lalu lintas.


Pelaksanaan pendisiplinan inipun tampaknya tidak mudah untuk diterapkan begitu saja. Ini sama saja seperti menyuruh kita keluar dari zona nyaman kita begitu saja. Walaupun ini hanya satu hal kecil saja, namun hal kecil ini terlanjur menjadi maklum di masyarakat, telah menjadi identitas sehingga susah dihilangkan. Tidak ada protes ataupun tuntutan masyarakat terhadap hal ini, karena masyarakat juga merasa membutuhkannya.


Solusi yang bisa ditawarkan adalah pendisiplinan pemakaian kendaraan bermotor di lingkungan sekolah. Pemerintah ataupun polri bisa bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk melarang siswanya menggunakan kendaraan bermotor. Mengapa sekolah? Karena sekolah merupakan filter yang paling jelas untuk mengetahui dan membedakan rentang umur remaja.


Sasaran spesifiknya adalah pada SMP (sederajat) dan SMA (sederajat). Untuk SMP, sudah jelas siwanya dibawah 17 tahun. Tetapi tidak sedikit pula siswa SMP yang sudah menggunakan kendaraan bermotor saat berangkat sekolah. Oleh karena itu, pihak sekolah harus melarang untuk menggunakan kendaraan bermotor. Tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di sekitar sekolah yang biasanya menyediakan tempat parkir. Pihak SMP harus tegas dalam hal ini.


Yang agak sulit adalah penertiban bagi siswa SMA. Biasanya usia 17 tahun berkisar pada kelas 2 atau 3 SMA. Namun jika pihak sekolah (SMA) mendukung, maka mereka bisa memberlakukan peraturan bahwa siswa kelas 1 tidak boleh membawa/mengendarai kendaraan bermotor. Karena secara umur umumnya memang belum memenuhi.


Mari kita bayangkan jika hal ini bisa terlaksana. Ditinjau dari permasalahan utama, maka kita bisa menghemat pemakaian BBM tidak produktif dari pelajar. Kemudian dapat sedikit banyak membantu mengatasi masalah pencaloan SIM di tubuh polri. Selanjutnya juga bisa menekan angka kecelakaan yang sebagian besar dialami oleh remaja.


Selain itu, usulan ini juga bisa menjadi momentum pemerintah daerah untuk menggairahkan kembali sarana transportasi umum yang mulai terbengkalai. Karena siswa sekolah yang di bawah umur dilarang membawa kendaraan bermotor pribadi, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan menggunakan sarana transportasi umum.


Mungkin sulit untuk melawan kebijakan-kebijakan pemerintah. Seperti yang sudah-sudah, bagaikan monopoli yang tidak demokratis, masyarakat dipaksa untuk menerima kebijakan itu. Namun ada baiknya pemerintah meninjau kembali efektivitas dari kebijakan yang akan dan telah dibuat. Dan tentu saja kita tidak boleh menyepelekan peraturan-peraturan kecil. Karena seperti contoh di atas, peraturan sepele ternayata berdampak besar.