Rabu, 01 Februari 2012

Menerjang Batas: Berpetualang dengan Mesin Waktu, Menembus Mimpi

Sejak pertama kali @andibachtiar melontarkan ide tentang Gabriel Omar, saya sangat antusias. Sudah lama saya mengagumi beliau dengan mengikuti setiap postingan blognya dan menonton film-filmnya, antara lain Hardline, Romeo Juliet, The Conductors dan Hope. Oleh karena itu saya sangat yakin film Gabriel Omar akan menjadi sesuatu yang hebat.

Saya pun mulai mem-follow @gab_omar dan menikmati setiap twitnya dalam mengenalkan dunianya. Dia konsisten menceritakan harmoni sepakbola Indonesia versinya tanpa peduli carut marut yang terjadi di dunia nyata. Sehingga terkadang membawa kita larut pada dunia persepakbolaan Indonesia yang ideal, dunia Gabriel Omar. Saya ingat ketika awal kemunculannya dia menjawab beberapa pertanyaan followernya yang menanyakan nama klub sepakbola di kotanya. Karena namanya memang unik, merepresentasikan ciri khas kota tersebut, dan tentu saja tidak ada unsur nama-nama tim perserikatan. Kerennya, @gab_omar tak jarang pula bertukar sapa dengan para pemain timnas sungguhan, seperti Bambang Pamungkas (@bepe20), Ahmad Bustomi (Bustomi_19), dan Arif Suyono (@ariffsuyono).

Kemudian muncul blog Gabriel Omar di gabrielomar8.com yang dibumbui foto-foto masa-masa kecilnya ketika berlatih di Ungaran Football School. Saya juga mendownload teaser resmi Gabriel Omar di youtube. Hingga media yang terbaru adalah novel "Menerjang Batas". Novel "pengenalan" latar belakang Gabriel Omar dan dunianya.

Novel ini dimulai pada tahun 1985 ketika Indonesia bertanding melawan Korea Selatan dalam play-off Piala Dunia 1986. Dan seperti yang kita ketahui, cerita ini berakhir pada lolosnya Indonesia ke Piala Dunia 2014. Rentang waktu 29 tahun ini membuat kita seperti berada di dalam mesin waktu. Ditambah dengan pemaparan deskriptif Estu Ernesto dalam bahasa yang sederhana namun berbekal kekayaan pengetahuannya membuat kita semakin berpetualang dalam mesin waktu.

Dimulai dari sebuah desa kecil di Ungaran, Jawa Tengah yang menceritakan Edi Baskoro, pemuda yang sangat mencintai sepakbola dan memiliki mimpi dan keyakinan tinggi terhadap persepakbolaan Indonesia. Bersama ketiga karibnya, yaitu Hadi, Yitno, dan Ismanto, kita dibawa ke perhelatan Piala Dunia 1986 di Argentina, pertandingan Juara Sejati di Jogja, dan perolehan perak timnas di ajang Asian Games 1986 di Cina. Kemudian Edi bersama Ismanto dan Pak Abdul menjadi saksi emas pertama timnas Indonesia di ajang Sea Games pada 1987. Gagalnya timnas di semifinal Sea Games 1989. Kembali ke kancah lokal, pertandingan antara PS Tugu melawan Jakarta Metropolitan pada 1991 dan kelahiran sang bintang Gabriel Omar Baskoro, serta emas kedua timnas di Sea Games 1991.

Mesin waktu berputar balik ketahun 1988 yang menceritakan rencana besar Joseph Marshall Erwiyanto, bos Jakarta Metropolitan, tentang pembinaan klub. Kemudian kita melaju kembali ke Piala Asia 1992 di Jepang dan berakselerasi ke tahun 1996 di mana Indonesia sampai ke fase semifinal. 1997 Gabriel Omar masuk UFS dan pada 1999 menjadi top skor sebuah turnamen, walaupun hanya ditempatkan sebagai pemain belakang.

Mesin waktu terus melaju pada medio 2000-an hingga pada perhelatan Piala Asia 2004, timnas Indonesia berhasil menorehkan sejarah sebagai Juara Asia! Cerita terus berlanjut seputar Jakarta Metropolitan hingga perjalanan timnas. Dan puncaknya, Gabriel Omar Baskoro berhasil membawa Indonesia mencapai perempat final Piala Dunia 2014 dan kalah secara dramatis dengan tuan rumah Brasil di Stadion Maracana.

*****

Kredit lebih patut disematkan pada tim produksi Gabriel Omar ini. Khayalan mengenai kondisi persepakbolaan nasional yang ideal tidak hanya sebatas khayalan, namun mereka dapat mempertanggungjawabkannya dengan menggambarkan lingkungan sepakbola dengan detil. Proses transfer, praktik team talk pelatih terhadap pemainnya di ruang ganti, hubungan pemain dengan supporter, koordinasi supporter, sampai profesionalitas kompetisi dan pembinaan usia dini dengan segala rencananya seperti menjadi solusi bagi pemegang tampuk kekuasaan persepakbolaan di negeri ini.

Tidak ketinggalan, salah satu bagian favorit saya adalah deskripsi selama berlangsungnya pertandingan yang menunjukkan bahwa penulis sangat memahami permainan bola kaki ini. Kita bagaikan benar-benar sedang berada di bangku kayu Gelora Bung Karno ataupun berada di depan layar kaca bersama teman-teman menyaksikan pertandingan tersebut. Yang paling menarik adalah ingatan tentang momen-momen kejuaraan sepakbola dunia masa lampau, baik Sea Games, Piala Asia, hingga Piala Dunia. Entah itu pemaparan sejarah atau karangan, atau setengah sejarah setengah karangan, saya tidak mau repot-repot mengambil pusing. Yang pasti saya percaya bahwa itu adalah bagian dari sejarah. Saya ingat beberapa waktu yang lalu @andibachtiar sering ngetwit bahwa dia sedang menonton arsip-arsip sepakbola nasional.

Terlepas dari hingar bingar sepakbola, penulis juga lihai memainkan emosi pembaca. Jujur saya benar-benar ikut bersedih ketika nyawa Ibu Wiwin tidak bisa diselamatkan saat berjuang melahirkan Gabriel Omar. Ada juga cerita antara Gabriel dengan Andien yang menjadi pemanis di novel ini.

Sejauh pengamatan saya, terdapat ketidaksinkronan antara novel, blog, dan teaser. Seperti nama tokoh cewek yang akan dipasangkan dengan Gabriel. Sebelumnya saya mengenal nama Nitya dalam salah satu postingan blognya, namun dalam novel terdapat nama Andien. Satu lagi, dalam teaser Indonesia sempat memimpin 2-1 melawan Brasil, akan tetapi di novel kita kalah 2-1.

*****

Ada 2 kunci dalam novel ini. Kunci yang pertama adalah kata-kata Andibachtiar Yusuf dalam kata pengantar, "Jika Hollywood mampu membuat Amerika Serikat menang di Vietnam atau sanggup menumpas alien yang menyerbu bumi lewat film, maka lewat medium seni modern inilah saya meloloskan Indonesia ke Piala Dunia." Ini adalah mimpi dan upaya menggapai mimpi ala Bang Ucup (nama panggilan Andibachtiar Yusuf).

Kunci yang kedua adalah ungkapan Brasil kuno yang dikutip Bang Ucup di awal kata pengantarnya, "If you're the only one who dream, it's only a dream. But when millions share the same dream, it's reality." Dengan segala manuvernya Bang Ucup mengajak kita untuk mempunyai mimpi yang sama dengannya sehingga akan membuat mimpi itu menjadi kenyataan karena kita akan menggapai mimpi itu dengan cara kita masing-masing.

Semua media yang digunakan seperti twitter, blog, teaser, dan novel ini adalah strategi pemasaran yang jitu. Karena semua itu merupakan sebagai media "pemanasan" bagi kita untuk kembali bermimpi dan menumbuhkan keyakinan kita agar kita bisa menjangkau mimpi gila Andibachtiar Yusuf.

Dan Indonesia memang akan berlaga di Piala Dunia.




PS: Bahkan dalam novel ini Bang Ucup juga masih bermimpi untuk menjadi Ketua Umum PSSI. Amin :)))