Minggu, 30 Mei 2010

Chauvinisme: Persikmania

Saya masih shock saja sekarang, masih sesak dada ini. Pengen jahe untuk melegakan (loh, bukannya jahe untuk melegakan tenggorokan bukan dada? Salah ya?). Asem, berarti gak ada yang bisa melegakan. Masa’ harus nangis? Tapi saya rasa saya gak malu menangisi. Ironis. Mendengar raungan konvoi motor merayakan juaranya Arema, saya terlindas-lindas. Persik terdegradasi. Degradasi kasta kejuaraan sepakbola Indonesia membuat degradasi kemauan saya malam ini, rencana saya berantakan. Saya malas ngapa-ngapain, murung, masih sesak.

Persik terdegradasi? Saya benar-benar masih tidak percaya. Ada setitik harapan dilambungkan, tapi kita tidak bisa meraihnya. Saya tidak bisa berusaha apa-apa, mengusahakan apa-apa. Hanya terus berdoa saja. Saya masih tak percaya.

Layaknya anak laki-laki di daerah, saya berpaham chauvinisme akut. Apalagi yang daerahnya memiliki klub sepakbola. Dan saya cah Kediri, maka saya Persikmania (nama pendukung Persik, klub sepakbola Kota Kediri). Saya bukan yang garis keras atau fanatik berlebihan yang hanya bisa melihat satu sisi saja. Bukannya yang membenarkan anarki. Bukan garis depan. Namun saya selalu berusaha semaksimal mungkin nonton di stadion setiap Persik berlaga. Di kandang maupun tandang ataupun laga usiran. Saya di sana.

Saya bukan Persikmania dadakan. Saya sudah di sana ketika Persik masih di Divisi II atau kasta level ketiga (saat itu, sekarang level keempat), tahun 2001. Saya masih ingusan, SMP kelas 1. Persik pun juga masih belum bergaung seperti sekarang, malah hampir tidak ada kabarnya, bahkan dulu masih tenar Persedikab, klub sepakbola Kabupaten Kediri. Masa-masa itu merupakan masa-masa berkenalan dengan Persik. Stadion Brawijaya (kandang Persik) masih sangat belum layak untuk level nasional sekalipun. Hanya ada satu tribun dan hanya menampung sekitar 400-an orang yang terletak di barat stadion (sekarang VIP). Dulu Persikmania cuma 200-an dan mengisi setengah bagian tribun bagian utara saja. Karena sisi lain stadion hanya gundukan tanah yang ditumbuhi pohon-pohon besar saja, kalo hujan becek.

Tahun itu Persik promosi ke Divisi I setelah menempati peringkat ketiga (kalo tidak salah). Setelah promosi itu gaung Persik di Kota Kediri mulai terasa. Mulai banyak persikmania yang datang ke stadion. Untuk mengakomodasi semakin banyaknya supporter, maka dibuat tribun sementara dari bambu. Tribun dari bambu tersebut dibangun di sisi timur lapangan. Lumayanlah, karena tidak harus duduk di tanah lagi, hehe. Dan ternyata Persik hebat juga di musim itu, didukung dengan trio pemain asing dari Chile, yaitu Fernando Guajardo Levia, Alejandro Bernal, dan Juan Carlos Tapia (sumber: ingatan). Dan dengan tangan dingin manajer Iwan Budianto yang merekonstruksi Persik. Saat itu, Iwan Budianto merupakan menantu dari Pak Maschut, Walikota Kediri sekaligus Ketua Persik Kediri. Iwan rela meninggalkan jabatan sebagai manajer Arema untuk menangani Persik yang berada di level lebih rendah.

Dan ternyata hasilnya sangat menggembirakan, Persik menjadi Juara Divisi I!!! Dengan predikat itu, maka Persik berhak untuk naik kasta ke Divisi Utama, kasta tertinggi Liga Indonesia (saat itu). Untuk pertama kalinya Persik menembus Divisi Utama! Kebetulan pada saat yang sama Persedikab terdegradasi ke Divisi I, jadi animo penonton tersedot ke Stadion Brawijaya. Yang asli Kota Kediri, Kabupaten Kediri, hingga Pare, Blitar, dan Tulunggagung adalah Persikmania!!!

Tahun 2003, kelas 3 SMP. Saya pastikan saya selalu menonton setiap pertandingan kandangnya. Jika pertandingan pas midweek, atau hari sekolah, saya rela tidak masuk bimbingan (kan kelas 3 dulu ada bimbingan persiapan UNAS gitu lah). Pulang jam 1, langsung mancal sepeda super cepat, makan cepet-cepetan, sholat gak khusyuk, pilih baju persik, syal persik, langsung berangkat ke stadion…lari! Ya, rumah saya lumayan dekat dengan stadion, kurang lebih 1 km (kayaknya kurang). Jadi teman-teman saya sering nitip sepeda atau motor di rumah saya. Cuma sekali saya gak nonton, pas lawan Petrokimia Gresik, itupu karena pas UNAS. Dan saya hanya bisa mendengar teriakan “GOOO..OOL” dari rumah saya.

Tak disangka Persik sangat hebat musim itu. Dengan dipoles tangan dingin Jaya Hartono, motivasi dari Iwan Budianto, dan pemain-pemain (tak usah disebutkan satu-satu, tapi saya jamin saya masih (hampir) hapal semua plus nomor punggung :p) yang tak masuk perhitungan bintang, Persik menjelma menjadi tim ajaib. Lebih ajaib dari Persikota Tangerang yang dijuluki Bayi Ajaib karena langsung menembus semifinal pada tahun pertamanya di Divisi Utama. Karena Persik menjadi juara Divisi Utama pada keikutsertaannya yang pertama dan pada kompetisi penuh untuk yang pertama kalinya! Karena Persik tidak terkalahkan di kandang! Hebat! Terlalu hebat! Melambungkan asa kami secara prematur. Khayal! Bangga! Gak percaya! Bahkan kami masih belum tau bagaimana biasanya supporter bola berpesta? Hahaha. Kota Kediri penuh dengan atribut Persik. Benar-benar terlalu penuh untuk kota kecil itu, ungu! Berpesta, mengusung replika trofi, kembang api, konvoi mengarak sang pahlawan mengitari se-eks Karisidenan Kediri. Senang! Sangat senang!

Oiya, ada cerita terselip, yaitu ketika di kandang melawan Arema. Karena jarak yang dekat antara Kediri dan Malang, ditambah lagi kedekatan secara “saudara muda” karena banyak pemain Persik yang eks-Arema. Stadion penuh membludak, setengah bagian selatan milik Persik, dan sisanya milik Arema. Bahkan lebih banyak Arema. Jam-jam sebelum pertandingan kita saling melempar lagu atau yel-yel. “Ayo ayo Persik Kediri, Arema kita saudara..!” Begitu akur dan akan sangat meriah saya kira. Kebetulan saya berada di tribun yang paling berdekatan dengan tribun Arema, jadi bosa lebih merasakan atmosfernya. Untuk pertama kalinya melihat pendukung yang sudah berpengalaman dan sangat kreatif. Sesaat sebelum pertandingan ada empat Aremania yang berlari mengitari lapangan dengan membentangkan spanduk raksasa Arema, sepertinya memang sudah tradisi atau untuk menyapa. Namun Persikmania yang belum paham merasa kesal dan beberapa melakukan aksi pelemparan. Di situ mulai ada “percikan” permusuhan. Ketika pertandingan berlangsung Aremania merangsek hingga berada di belakang gawang. Dan pertandingan berlangsung. Priiit, Persik mendapat hadiah pinalti. Aremania pun protes hingga ada yang masuk ke lapangan. Tensi mulai meninggi. Pertandingan dilanjutkan dan gol, 1-0 bagi Persik, gol diciptakan oleh Bob “Bobby” Bamidele Manuel dari titik pinalti. Seiring berjalannya pertandingan Aremania sudah merasa gusar dan beranggapan bahwa keputusan wasit tidak fair, hingga akhirnya Aremania memberondong masuk ke lapangan. Kerusuhan, pertandingan dihentikan. Tawuran tak terelakkan. Tapi bukan antara Persikmania dan Aremania, namun Aremania dan jajaran polisi. Chaos, sangat kacau keadaan saat itu. Saya berulang kali harus menunduk untuk menghindari barang-barang yang tebang kesana-kemari. Lemparan batu, lemparan botol, hingga lemparan sandal. Polisi berkuda melintas di depan saya, anjing K-9 dikerahkan, dan ribuan aparat berpakaian lengkap berhamburan. Kami, perskmania masih tertahan di dalam stadion untuk menghindari kerusuhan yang lebih luas. Karena Aremania digiring keluar oleh polisi. Suasana masih mencekam hingga malam hari saya baru bisa pulang. Pengalaman pertama saya tentang gesekan supporter bola.

Tahun 2004 masih terus bersama Persik. Liga Champion Asia melawan Yokohama Marinos, di situ ada Ahn Jung Hwan (pahlawan Korea Selatan di Piala Dunia 2002)! Yang dulunya hanya bisa nonton di layar kaca kini bisa nonton secara langsung, dan dia mencetak gol! WOW! Namun secara keseluruhan tahun 2004 dan 2005 prestasi Persik biasa-biasa saja. Namun saya masih selalu nonton di stadion.

Tahun 2006, kelas 3 SMA. Masih terus nge-persik. Persik lolos 8 besar dan dkonsentrasikan di Stadion Manahan Solo. Saya selalu tret-tet-tet ke Solo tiap Persik maen. Pernah suatu ketika pas pertandingan lawan Arema di Solo. Hari Rabu kumpul jam 8 pagi dan berangkat jam 10. Sampek Solo jam 3 sore-an. Seperti biasa Arema datang lebih banyak (padahal jaraknya lebih jauh). Karena suatu kondisi pertandingan dibatalkan dan akan dilangsungkan keesokan harinya. Aremania banyak yang kecewa dan mulai berulah. Lagi-lagi persikmania harus menunggu di dalam stadion dulu hingga keadaan kondusif, dan baru bisa keluar stadion jam 9 malam. Pulang ke Kediri dan tiba jam 2-an. Paginya siap berangkat lagi. Capek badan akan terbayarkan kemenangan. Dan benar saja, Persik kembali menang lawan Arema saat itu 1-0 lewat gol Harianto. Yeah, kurang dari 48 jam pulang-pergi Kediri-Solo 2x!! Yang penting Persik!!! Hahaha.

Pas final di Solo bertepatan dengan tes STAN. Aku yang sedari awal gak sreg masuk STAN ngasal aja tes di Jogja, maksudnya biar bisa nonton final Persik vs PSIS! Benar saja, saat tes yang dipikiran Persik tok, masa bodoh dengan tesnya! Pulang tes jam 1-an langsung berangkat ke Solo!!! Kebetulan kita berenam naik mobil ke Solo. Sampek Solo, ekspektasi awal tiket ekonomi seharga 20ribu. Teman-teman yang tes di Malang sekitar 12 anak nitip dibeliin tiket, karena mereka sedang ngebut perjalanan dari Malang ke Solo!! Dan ketika tanya ke calo tiket sudah seharga 40ribu! Saya tidak percaya dan mencari loket, sangat ramai, mencari loket yang lain, ramai juga, loket lain, terus saya telusuri wilayah stadion untuk mencari loket. Hampir tiga putaran stadion saya terus mencari tiket untuk kami dan juga pesanan teman-teman. Sambil mencari loket saya juga tanya-tanya ke calo. Putaran pertama di calo seharga 50ribu. Putaran kedua naik 60ribu. Putaran ketiga tiket di loket habis dan harga di calo 75ribu!!! Sialan! Daripada tidak nonton, kami beli saja itu 75ribu dan mengabarkan pada teman-teman saya bahwa tiket sudah habis, supaya mereka mengurungkan niat untuk berangkat ke Solo. Mereka yang pada saat itu suda sampai Caruban akhirnya putar balik pulang ke Kediri, nonton bareng di Kediri. Dan saya beruntung bisa nonton di stadion langsung!

Dan akhirnya 75ribu tersebut tidak bisa dibandingkan dengan perasaan jumawa saya karena untuk kedua kalinya Persik menjadi Juara Liga Indonesia!!! Hebat!!! Dalam kurun waktu 4 tahun bisa juara dua kali!!! WAW! YEAH! AAAAAAAAA…aaaaaa!!!!! Saya berteriak keras di bawah hujan kembang api. Kembang api yang sangat-sangat indah. Saya “tinggi” sekali saat itu! Saya terbang!!! Untuk yang ini, kita sudah paham bagaimana harus berpesta :D

Yeah, itulah perjalanan ke-“persikmania”-an saya. Di samping perjalanan, saya juga mengoleksi souvenir dari supporter-supporter klub lain. Saya pernah bertukar kaos dengan Jakmania saat tandang ke Kediri, bertukar syal dengan Pasoepati selaku tuan rumah final di Solo, dan yang paling saya suka, saya juga tukar syal dengan pendukung Urawa Reds Diamond dari Jepang, pas Persik melawan Urawa pada Liga Champion Asia di Solo!! Sayang, syalnya hilang, jatuh di kereta saat perjalanan ke Jakarta L.

Masuk kuliah di Malang sebagai salah satu publik enemy dari Aremania, saya selalu bangga. Saya termasuk yang dikenal sangat Persik di kampus. Sering kita beradu argumen bahkan saling ejek, hehe. Sering saya dikepung para aremania dan membahas perselisihan itu (saya berada di kandang singa!!! Hahaha). Namun untungnya saya termasuk yang obyektif, saya bisa memahami perasaan mereka, bagaimana mereka sangat benci dengan Persik, dan semacamnya, jadi gak sampek terjadi perselisihan, hehe.

Dan sekarang…sekarang Persik terdegradasi! Saya telah dibawa terbang tinggi dua kali dan kini saya tersungkur. Saya mau sukanya maka saya harus ikut menyangga dukanya. Saya siap dihujat, diolok-olok, dilecehkan, dikasihani. Tapi saya tidak akan lari dan berbelok mendukung Arema yang juara. Tidak, saya obyektif dan sudah memberi selamat pada Arema. Juga bersimpati kepada sesama Persikmania teman-teman saya.

Masih sesak dada ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar