Sabtu, 12 Februari 2011

Menonton Mesir

Semalam sekitar jam 23.20 saya sudah bersiap untuk tidur. Sembari menunggu kantuk saya pantengin timeline twitter saya. Dan ada satu twit, entah saya lupa dari siapa yang berisi "Mubarak stepped down!" Sontak seketika itu juga saya menyalakan tivi tidak mau ketinggalan berita "penting" tersebut. Ditayangkan gegap gempita sorak sorai rakyat Mesir yang turun ke jalan. Reporter pun mengabarkannya dengan berapi-api. Setelah 18 hari turun ke jalan melancarkan aksi protes, akhirnya perjuangan mereka mencapai klimaksnya. Perjuangan yang telah menelan kurang lebih 300 nyawa itu pun berhasil memaksa Hosni Mubarak untuk menyerahkan jabatannya ke pihak militer.

Ya, kemarin adalah hari Jumat. Jumat ketiga dari selang 18 hari aksi rakyat Mesir tersebut. Ketika sebagian orang menganggap istimewa dengan tanggal yang seperti direfleksikan cermin 1102I2011, maka rakyat Mesir mendapatkan apa itu yang benar-benar disebut istimewa! Jumat juga bisa disebut sebagi hari raya kaum duafa. Dalam konteks ini saya menganalogikan dengan kaum yang tertindas, yaitu rakyat. People power berhasil menggulingkan rezim diktator Muabarak. Gerakan yang diawali oleh pemuda via jejaring sosial itu semakin menegaskan keistimewaan hari Jumat.

Jujur, semalam saya ikut senang, terharu, dan iri! Tentu senang, dengan pemberitaan media yang seperti itu, menguras sebagian energi dan perhatian kita, wajar kita senang jika perjuangan mereka berhasil. Selamat Mesir! Terharu karena demokrasi kembali menunjukkan kekuatannya. Tak terbayangkan bagaimana euforia mereka. Tangis, teriakan, saling berpelukan, ucapan syukur tak henti-hentinya, kebanggaan yang membuncah, semua memiliki negara. Dan yang terakhir iri, yah sudahlah.

Sebelum begitu larut, saya menampar pipi saya sendiri, agar sadar. Jelas-jelas saya menginginkan berada di tengah euforia seperti itu. Tapi, lagi-lagi kita hanyalah penonton. Indonesia generasi saya (mungkin) hanyalah penonton. Bangsa ini terlalu baik hati dan mudah bersimpati. Namun berhenti di situ saja. Kita tidak mempunyai kemauan untuk diberi selamat bangsa lain.

Ketika Wimar di twitnya mengatakan, "saya pernah merasakan euforia itu dua kali, 1966 dan 1998," saya (dan sebaya saya) masih sebatas generasi yang apatis. 1966 tentu belum lahir dan 1998 masih kelas 5 SD. Mungkin generasi saya tidak memiliki rasa memiliki negara. Tapi tampaknya ada peluang... hehehe


NB: Saat menonton berita euforia Mesir, bendera Mesir yang dikibar-kibarkan di kegelapan itu yang terlihat hanya warna merah dan putih saja. De javu? :)

2 komentar:

  1. kita ada peluang memiliki negara..sekecil apapun celahnya al.. :)

    BalasHapus
  2. @difana: yep! setidaknya kita bisa menumbuhkannya sendiri dari diri kita sendiri :)

    BalasHapus