Jumat, 25 Februari 2011

Ruang Ekonomi

Setelah menempuh perjalanan darat dengan bus dari Kediri sampai Jepara, untuk menyeberang ke Karimun maka saya harus menggunakan kapal ferry. Ini bukan pengalaman pertama saya naik kapal ferry, saya sudah pernah beberapa kali waktu menyeberang ke Pulau Bali. Namun mengingat waktu tempuhnya, ya, ini pengalaman pertama saya 6 jam di atas laut! Bayangkan 1/4 hari berada di atas goyangan gelombang laut.

Seperti biasa, lantai dasar kapal ferry adalah semacam garasi untuk menampung kendaraan yang menyeberang. Ketika naik tangga dan masuk ke ruang penumpang, semua gambaran keceriaan perjalanan itu sirna. Bagaimana tidak, ternyata ruang penumpang itu telah berubah menjadi seperti ruang pengungsian.


Lantai ruang penumpang disulap menjadi tempat tidur masal dengan alas tikar. Didukung pula pihak kapal ferry menyewakan single sleeping bed seharga 10 ribu selama perjalanan. Bahkan lantai di sela-sela kursi pun dijejali. Dan kursi-kursi yang kosong karena ditinggal "penduduk"-nya yang tidur di lantai itupun mengalami perluasan fungsi menjadi tempat tidur juga.


Saya rasa tidak berlebihan saya menyebutnya tempat pengungsian. Mereka mengungsi dari mual. Mereka membunuh mati gaya 6 jam terombang-ambing dengan kenyamanan tidur.

Namun tidak selamanya kenyamanan mereka berdampak nyaman bagi penumpang lain, terlebih orang awam seperti saya. Pemandangan yang terlihat jelas-jelas mengganggu dan terkesan kumuh. Seorang bule backpacker cewek juga bereaksi hampir sama dengan saya ketika memasuki ruang penumpang yang ruang ekonomi itu. Kaget, bingung mau menempatkan di mana barang-barangnya karena hampir semua lantai telah terisi rebahan badan. Bule yang belakangan saya ketahui bernama Yoanna itu pun tampak berhati-hati melangkahkan kaki di sebelah kepala-kepala orang yang tertidur pulas.

Tidak hanya di ruang penumpang, mereka yang merasa tidak mendapatkan ruang untuk sekedar meluruskan kaki pun memilih garasi di lantai bawah untuk tempat tidur. Benar sekali, mereka tidur di atas kendaraan bak terbuka bahkan tepat di samping roda kendaraan.


Mungkin inilah gambaran ruang atau kelas ekonomi di semua alat transportasi di Indonesia. Saya teringat ketika beberapa kali perjalanan Kediri-Jakarta dan Malang-Jakarta menggunakan kereta ekonomi, kereta Brantas dan Matarmaja. Saya juga menemui hal serupa, kekumuhan serupa. Kebetulan saat itu saya memiliki tiket tapi tanpa tempat duduk. Yap, bisa ditebak di mana saya menghabiskan hampir 18 jam perjalanan di lantai kereta. Kadang berpindah di depan pintu gerbong untuk mencari udara segar, kadang di antara gandengan gerbong, dan malam hari tidur beralaskan koran di lantai jalan kereta dan harus rela dilangkahi para penjual kopi.

Tak berebda jauh juga dengan bus ekonomi. Bus ekonomi tidak mengenal kapasitas jumlah penumpang. Bus ekonomi tidak mengenal terminal atau halte. Siapapun sah untuk naik hingga tidak ada ruang untuk menolehpun. Aroma asap rokok bercampur dengan pekatnya keringat. Kumuh.




Pertanyaannya, kenapa harus dinamakan ruang atau kelas ekonomi?
Apakah serendah itu arti kata ekonomi di Indonesia?
Sehingga ketika kita membicarakan tentang ekonomi maka sasarannya selalu masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dari sini pun kita sudah dilatih untuk memahami rendahnya tingkat ekonomi di Indonesia...

ekonomi Indonesia: tidur di antara kaki-kaki

3 komentar:

  1. menunggu orang-orang sepertimu untuk cepat turun gunung sepertinya al..

    dengan harapan ekonomi indonesia tidak lagi berarti tidur di antara kaki-kaki, tapi tidur dengan lebih rapi. rapi mimpinya, rapi kasurnya, juga rapi "ekonominya". hehe..;)

    BalasHapus
  2. susah memodern kan kebiasaan orang Indonesia... -_-"

    BalasHapus
  3. @komang: setidaknya kita harus membangunkannya dulu... :)

    @difana: Kalau susah memodernkan kebiasaan orang Indonesia (secara umum), mari memodernkan diri dulu :)

    BalasHapus