Sabtu, 24 April 2010

Akhirnya DID Tercantum di Pamflet Gigs




HURU HARA AKHIR PEKAN!!!

KOALISI NADA #2
sebuah persembahan dari SINGLE FIGHTER bersama VOLLMOND & BALE STEAK

sebuah instalasi mini untuk terus bergairahnya musik indie

mari berapresiasi dan mari berdiskusi...

>>> Repost dari facebooknya Hilmi :)

Akhirnya Dead in Deadline maen juga selain bulan puasa. hehe.. Iya, memang, selama ini Dead in Deadline cuma maen (manggung atau gigs atau apalah..) pas bulan puasa aja, semacam acara ngabuburit gitulah. Pernah sih maen kemaren Desember, tapi bukan dalam kemasan full band, cuma akustikan minimalis saja. Yah..begitulah... Kita mulai sekitar tahun 2007 dan hanya maen tiga kali!!!

Well, Dead in Deadline merupakan band yang berlatar belakang teman teman (ada yang lebih dari sekedar teman gak?) sekos. Yaitu saya, Hilmi, Tea, Vigna, Ersa plus Komang sekarang. Semua kecuali Ersa adalah mahasiswa angkatan 2006. Kumpulan mahasiswa culun yang (sok) idealis dengan hobi menertawakan, mengimajinasikan, mengkutuk, semua hal. Mulai dari (terutama) televisi, berita di koran, gosip di majalah hingga masa depan. Tahun pertama kuliah cuma ngobrol, kumpul-kumpul, futsal, nonton bola, dengerin musik, ngegame, berkhayal, dan berbagai macam hal tidak penting lainnya. Hari-hari dilalui dengan ceria tanpa dosa. Tidak ada terlintas satu pun pikiran: bikin band!

Nah, tahun kedua (2007) ada satu penghuni baru: Ersa. Kesan pertama, anaknya culun, pendiam, dan membosankan. Hari-hari pertama dia selalu mengurung diri di kamar. Seiring berjalannya waktu, mulai kenal dan mengkorek informasi. Ternyata Ersa vokalis band!!! Band pop yang bernama A6 (baca: Asix, jangan Anam!). Dia juga salah satu personel home bandnya SMAN 1 Kediri. Dia pernah les vokal dengan saudara saya. Dia pernah memenangkan suatu kuis di radio dengan menyanyi salah satu jinggle sebuah produk kopi (kalau gak salah), dan mamanya juga menang. Pokonya dia punya latar belakang musik.

Pada saat yang sama Hilmi yang sudah puas dengan musik-musik indie Jakarta, mulai menggandrungi scene indie Malang, yang saat itu masih sebatas ngerti Brigade 07, Toxictoast da SATCF. Dan pada saat yang sama juga, ternyata Vigna punya teman-teman yang bergelut di scene musik punk Malang. Setiap hari soundtrack di kos adalah punk Malang! Sampai pada suatu saat kita nonton acara konser musik punk di JE Cafe. Dan distulah secara resmi kita mulai merasakan atmosfer punk Malang. Dan kita pun terhanyut dalam suasana distorsi yang mengajak berdansa pogo! Pogo untuk pertama kalinya, belum mengerti selah-selah berdansa, hanya asal memutar badan dan tidak tahu gestur untuk melindungi badan. Kaget, terdorong-dorong, terpukul-pukul, dan melepaskan beban! dan kami akan menentikan acara-acara berikutnya.

Pada suatu hari, seperti biasa berkumpul, bercanda tertawa ria, dan ada seorang yang menceletuk (saya lupa siapa), "nang studio yuk!"
Kebetulan di dekat kos kami ada studio musik Grand Sound Studio. Akhirnya kita berangkat, kurang lebih delapan anak. Memasuki studio yang hanya berukuran sekitar 4m x 5m, ruangan terasa begitu sempit. Dan kita bengong... Siapa yang pegang apa, pegang apa mau diapain, lagu apa, kenapa kita di sini? hehe.. Dian (jenggot) mengaku pernah les drum, maka dia ambil posisi di belakang drum. Virgi yang pertama kali bawa gitar ke kos pegang gitar. Irfan (kepek) juga mengaku bisa gitar. Tea sudah teruji bisa gitar. Vigna bisa gitar juga. Ersa, yang saya tahu cuma bisa gitar. Saya sedikit sekali bisa gitar. Dan Hilmi tidak bisa pegang instrumen, baiklah, penyanyi. Alat yang tersedia cuma gitar dua, bas satu, keyboard (yang gak bisa nyalainnya) satu. Pengalaman pertama di studio sangat kacau.

Entah bagaimana ceritanya kita jadi keseringan maen (ngeband) ke studio. Dan pada suatu ketika ternyata Ersa bisa ngedrum! Padahal itu adalah koponen utama dalam ngeband, kalo gak ada yang bisa ngedrum trus mau apa? keroncongan? elktonan? hehehe.. Dan jadilah Ersa sebagai drumer. Hingga akhirnya tinggal lima orang di studio. Ersa ternyata drumer yang hebat, penuh inovasi dan kerasi dalam mengatur kita-kita yang tidak tau cara bermusik ini. Tea pegang gitar, sudah tidak perlu diragukan lagi. Vigna yang akhirnya ngalah sama aku untuk tidak bermain gitar, untuk pertama kalinya pegang bas. Dan ternyata dia cepat belajar, salute! Hilmi? Nyanyi aja kaleee.. Mau pegang apa coba? hehe.. Namun dia memiliki karakter vokal yang unik. Yang saya bilang bisa cocok untuk genre apa saja tanpa merubah cara bernyanyinya. Tidak perlu mendayu untuk melodic punk, tidak usah memperhalus untuk pop, dan tidak kesulitan untuk berteriak serak. Dan terakhir saya, karena mereka kasihan, diajari gitar. hehe.. So here we are, What We Kill for Dinner! Ha???!! Apa itu? Iya, itu adalah nama awal band kita. Dulu "dead in deadline" hanyalah tag line kita, suatu gaya hidup kita, dalam kuliah (tugas), contohnya. Hari-hari awal tenggang waktu tugas tak sekalipun kepikiran tugas. Tapi ketika besok sudah waktunya deadline, di situlah kita mempunyai nafsu untuk mengerjakan. Di mana kita mengeksplorasi maksimal suatu hal jika akan mendekati deadline. Dan akhirnya diputuskan nama Dead in Deadline sebagai nama band kami karena lebih merepresentasikan pola hidup kami :)

Lagu-lagu yang kita buat latihan awal-awal dulu adalah Letters to You-nya Finch, Burried My Self Alive, Taste of Ink-nya The used, Dear God-nya A7X, dan Hilang-nya SATCF. Masih itu-itu saja, soalnya terhalang keterbatasan saya dalam bermain gitar, hehe. Saya hanya bisa kunci-kunci standar (belum bisa kunci "berdiri") yang bila untuk ukuran band masih sangat belum layak, hehe. Tapi lama kelamaan, akhirnya juga bisa, tapi ya gitu, masih sangat minim.

Hingga suatu hari, Hilmi pulang dari kampus dengan berdendang, "Always says the same. Always act the same. Just to be the same. Just to be the same!" Dan memeberi tahu saya, bahwa ini akan menjadi lirik lagu pertama kita. WOW!!! Judulnya In Between Scream and The Same. Sebuah lagu yang bercerita tentang jeritan terhadap keberagaman. Keberagaman? Ah, apalah itu saya sudah bosan menghujat.

Kebingungan terjadi ketika akan membuat lagu. Genre apa yang kita usung? Hilmi lebih condong untuk melakukan scream dengan emo, tapi vigna bersikukuh ke punk. Tea dan Ersa mah tidak terlalu mempedulikannya, toh mereka tidak akan kesulitan dengan aliran apa kita bermain. Dan saya? Saya sebenarnya tidak tahu dan bingung...

Pada saat itu di kos ada Deni, seorang yang lebih berpengalaman dalam bidang ini. Pemain band juga lebih tau (atau tua?) dalam scene punk Malang. Dia yang awalnya membuatkan nada dan kunci untuk bagian reff lagu In Between. Ternyata cukup mengasikkan, dapat diterima, dan dipakai. Dan genre yang kami pilih akhirnya adalah punk (pada awalnya). Vigna menang! Selanjutnya kami bersama-sama membuat lagunya. Jadilah lagu pertama :D

Masa-masa yang indah.... (speechless dan berkaca-kaca.....) Untuk saya, mereka sangat mengisi masa muda saya. Dan kita semua tahu bahwa masa muda adalah masa yang paling berkesan, tidak mungkin kita sia-siakan, konstruksi sudut pandang, mengenal dunia, dan pijakan ke masa depan. Terima kasih!





NB: Awalnya saya hanya mau sekedar promosi, eh, malah keterusan hehehehe. Sepertinya tulisan ini adalah awal untuk cerita-cerita culun Dead in Deadline selanjutnya..

4 komentar:

  1. Nice post...

    Hum, burried my self alive nya the used..., my fav song when i was in senior high...haha. Jd inget.

    BalasHapus
  2. hehe terima kasih terima kasih!

    tahukah kamu kalao saya baru tahu burried my self alive, the used, dll baru masuk kuliah ini?

    hehe, I'm newbie and fast learner :)

    BalasHapus
  3. iya...sangar, kekuatannya willingness to learn memang sangar...

    gudluck for the show...
    sayang sekali saya tak bisa datang...

    BalasHapus
  4. saya juga ngucapin gudluck karena tidak bisa datang, hehe
    semoga semua berjalan seperti yang dicita citakan di Jakarta!

    BalasHapus