Apa ya yang dilakukan para personil SNSD sehari-hari?
Bangun tidur, mereka pasti tidur teratur dan bangun pagi. Lihat, mereka tidak memiliki kantung mata sama sekali.
Pasti mereka banyak minum air putih, betapa segarnya mereka.
Lalu mereka akan stretching ringan, menjaga kebugaran.
Setelah itu sarapan sandwich, mungkin.
Agak siang mereka akan ke salon melakukan perawatan tubuh.
Abis dari salon mereka akan melatih vokal. Perhatikan mereka selalu bermain live di setiap pertunjukan panggungnya dengan suara yang sangat prima.
Kemudian mereka berlatih koreografi. Bayangkan betapa giatnya mereka berlatih sehingga bisa melakukan gerakan yang begitu sempurna. Aktif, energik, lucu, dan yang paling penting, gak bitchy.
Dan pasti mereka semua rajin mengikuti kajian psikologis. Mereka pasti memiliki positive mental attitude, man! Lihat, mereka selalu tersenyum! Sialnya senyumnya selalu berhasil membuat kita tersenyum juga :)) PMA, man! PMA!
Dengan jadwal sepadat itu pasti ada batasnya mereka cape. Belum lagi siklus bulanan cewek. Tapi mereka ga pernah bete. Wajah mereka selalu senyum bersinar segar. Bagaimana caranya memanage 9 cewek biar terus bahagia? Bagaimana kalo salah satu bete. Pasti akan berpengaruh ke yang lainnya. Belum lagi kalo ada perselisihan. Tapi mereka ga pernah bete, guys! Bahkan mereka berhasil meredakan bete kita setelah menonton videonya, hehehe.
SNSD PMA, man! Yeah! XD
Kamis, 29 September 2011
Rabu, 28 September 2011
25 September
Selamat ulang tahun Keigo Mikami!
Selamat ulang tahun Ponaryo Astaman!
Selamat ulang tahun Angelo Palombo!
Selamat ulang tahun Karl-Heinz Rummenigge!
Selamat ulang tahun Ponaryo Astaman!
Selamat ulang tahun Angelo Palombo!
Selamat ulang tahun Karl-Heinz Rummenigge!
Kamis, 22 September 2011
Teenage Anarchist
Hilmi tau saya sedang mempelajarai anarkis dan dia memberi saya video Against Me! - I Was A Teenage Anarchist
I was a teenage anarchist, looking for a revolution
I had a style, I had the ambition
Read all the authors, I knew the right slogans
There was no war but the class war
I was ready to set the world on fire
I was a teenage anarchist, looking for a revolution
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist, but the politics were too convenient
In the depths of their humanity, all I saw was bloodless ideology
With freedom as their doctrine, guess who was the new authority
I was a teenage anarchist, but the politics were too convenient
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist, but then the scene got too rigid
It was mob mentality, they set their rifle sights on me
Narrow visions of autonomy, you want me to surrender my identity
I was a teenage anarchist, the revolution was a lie
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
When you were young and you wanted to set the world on fire
When you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
No, I am a teenage anarchist.
I was a teenage anarchist, looking for a revolution
I had a style, I had the ambition
Read all the authors, I knew the right slogans
There was no war but the class war
I was ready to set the world on fire
I was a teenage anarchist, looking for a revolution
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist, but the politics were too convenient
In the depths of their humanity, all I saw was bloodless ideology
With freedom as their doctrine, guess who was the new authority
I was a teenage anarchist, but the politics were too convenient
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist, but then the scene got too rigid
It was mob mentality, they set their rifle sights on me
Narrow visions of autonomy, you want me to surrender my identity
I was a teenage anarchist, the revolution was a lie
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
Do you remember when you were young and you wanted to set the world on fire
When you were young and you wanted to set the world on fire
When you were young and you wanted to set the world on fire
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
I was a teenage anarchist
No, I am a teenage anarchist.
Rabu, 21 September 2011
Bekas Propinsi ke-27
Ini adalah prolog dari salah satu film terhebat yang pernah saya tonton, Barefoot Dream. Film tentang impian anak-anak Timor Leste yang dilatih oleh mantan pemain sepakbola Korea yang mencari "kehidupan" di perantauan.
Terlepas dari isi filmnya, saya sangat tergugah dengan prolog film ini. Prolog yang mendeskripsikan bagaimana keadaan Timor Leste di mata dunia. Prolog singkat yang mungkin bagi sebagian kami, orang Indonesia, adalah penjelasan panjang atas apa yang sebenarnya terjadi di bekas propinsi ke-27 itu.
Apa yang kita ketahui tentang Timor Timur? Propinsi termuda, namun juga yang paling awal memisahkan diri dari Indonesia. Kita hanya menyesalkan kenapa mereka memilih merdeka. Tanpa kita pernah tau apa yang sebenarnya terjadi.
Film ini adalah produksi Korea dan apa yang disampaikannya merupakan obyektivitas internasional. Bahwa memang pernah terjadi pembantaian besar-besaran di sana.
Apa kalian tahu? Pemerintah dengan rapihnya menyimpan informasi-informasi kebenaran (kalau tidak bisa saya bilang KEKEJIAN atau KEBIADABAN) dari media. Ya, kita dipacung informasi.
Kalaupun tahu, kita hanya bisa diam.
Baik, itu adalah satu contoh. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Terutama di daerah-daerah yang sering terjadi konflik. Papua? Maluku? Aceh? Apa yang sebenarnya terjadi di sana sampai ada gerakan-gerakan separatis?
Logika simpel saja, seseorang (atau kelompok) akan memilih meninggalkan daerahnya ketika mereka sudah merasa tidak nyaman. Lalu apa yang membuat ketidaknyamanan itu? Bukankah "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia"???
Kamis, 08 September 2011
Saya Punya Negara, Kalian Tidak
Masih dipicu oleh #Munir. Masih tentang bobroknya negeri ini.
*mengumpat*
Apa kalian sama marahnya dengan saya?
Apa kalian merasa apa yang saya rasa?
Merasa ditipu, merasa tak dianggap, merasa dicurangi, merasa dikebiri, merasa dibungkam?
Kenapa kalian masih tak peduli?
Kenapa ini bukan hal yang penting?
Sampai kapan kalian menutup mata?
Sampai kapan kalian merasa baik-baik saja?
Kalian tidak tahu apa memang bodoh?
Lalu apa yang kalian perjuangkan?
Lalu apa yang kalian bela?
Karena kalian tidak merasa memiliki negara ini?
Kalau begitu, apa yang kalian miliki?
Kalau begitu apa yang kalian perjuangkan? Apa yang kalian bela?
Apa yang membuat kalian prihatin?
Apa yang membuat kalian risau?
Uang? Pasangan?
Maka kalian akan baik-baik saja.
SAYA TIDAK.
Ini negara siapa?
INI NEGARA SAYA! SAYA MARAH DENGAN SEMUA KEBOHONGAN INI.
*mengumpat*
Apa kalian sama marahnya dengan saya?
Apa kalian merasa apa yang saya rasa?
Merasa ditipu, merasa tak dianggap, merasa dicurangi, merasa dikebiri, merasa dibungkam?
Kenapa kalian masih tak peduli?
Kenapa ini bukan hal yang penting?
Sampai kapan kalian menutup mata?
Sampai kapan kalian merasa baik-baik saja?
Kalian tidak tahu apa memang bodoh?
Lalu apa yang kalian perjuangkan?
Lalu apa yang kalian bela?
Karena kalian tidak merasa memiliki negara ini?
Kalau begitu, apa yang kalian miliki?
Kalau begitu apa yang kalian perjuangkan? Apa yang kalian bela?
Apa yang membuat kalian prihatin?
Apa yang membuat kalian risau?
Uang? Pasangan?
Maka kalian akan baik-baik saja.
SAYA TIDAK.
Ini negara siapa?
INI NEGARA SAYA! SAYA MARAH DENGAN SEMUA KEBOHONGAN INI.
Rabu, 07 September 2011
#Munir, The Guy Fawkes of Indonesia
7 September 2011
Timeline twitter saya penuh dengan hashtag #Munir. Avatar para following saya serentak berganti portrait Munir. Ya, hari ini mengenang 7 tahun kematian Munir.
Siapakah Munir? Awalnya saya cuma tau Munir adalah pahlawan HAM yang dibunuh dengan racun di pesawat. Itu saja.
Sampai kemarin, timeline layaknya buku sejarah bagi saya. Salah satu yang saya pantengin adalah @juliusibrani yang menceritakan Munir dari awal terjun ke pembelaan HAM yang kecil hingga pada membongkar kasus pelanggaran HAM yang menyangkut petinggi Negara dan akhirnya dibunuh secara detail. Ada juga timeline @AhmadErani yang bercerita Munir semasa masih menjadi aktivis. Betapa Munir sosok kecil tapi pemberani. Selalu menonjol di setiap diskusi.
Tidak perlu saya menjelaskan kembali sejarah Munir ini, silakan googling untuk mendapat data lengkapnya. Tapi dari kasus ini kita kembali diingatkan bahwa ada yang salah dengan Negara ini. Negara bebal ini. Bagaimana bisa kasus ini masih belum jelas pengungkapannya selama 7 tahun? Padahal pada 2004 SBY yang saat itu baru saja menjabat Presiden menjanjikan kasus ini akan selesai tidak sampai setahun.
Pembunuhan Munir ini merupakan operasi intelijen yang telah dirancang secara sistematis. Munir menjadi “orang yang harus dibunuh oleh Negara” karena akan mengadukan kasus-kasus pelanggaran HAM berat ke Badan HAM PBB di Den Haag. Beginilah sikap Negara terhadap orang yang menegakkan kebenaran. Saya yakin hal ini bisa digeneralisasikan ke semua aspek bangsa ini.
Betapa bobroknya Indonesia sebenarnya. Sial, saya selalu muak dengan kata intelijen. Seolah-olah rakyat dibutakan dengan manuver-manuver politik yang ada. Kita selalu disajikan masakan yang menarik tanpa diberi tahu cara memasaknya. Kita selalu disuguhkan lukisan indah tanpa sadar mereka melukisnya dengan cat atau dengan darah. Pikiran kita dikebiri tanpa sempat merasakan orgasme. Dan yang lebih menyedihkan, panggung media menjadi sarana yang sangat tepat bagi para politisi untuk menjadi yang paling tahu. SIALAN DENGAN SEMUA KEBOHONGAN INI!!!
Demokrasi? Jika pada tulisan-tulisan terdahulu saya masih bilang bahwa demokrasi kita premature, maka sekarang saya bilang demokrasi kita hanya sampul! Demokrasi kita hanya di permukaan. Dimana ketika kita mulai akan membaca buku Indonesia ini, kita akan menemui lembaran yang bebal.
Kenapa kasus yang sudah jelas-jelas pembunuhan berencana oleh Negara secara keji ini mengambang selama 7 tahun? Satu hal yang pasti tidak ada kemauan dari yang berwenang kasus ini tuntas. Para sahabat-sahabat Munir, para aktivis tak henti-hentinya bersuara. Tak henti-hentinya mengungkap fakta namun semua dihantam oleh tembok bebal yang bernama “yang berwenang”. Di sini kelemahan kita. System yang ada harus melalui prosedur “yang berwenang”. Dan kita semua tahu “yang berwenang” ini BAJINGAN. Lagi-lagi saya sakin hal ini juga bisa digeneralisasi untuk semua lapisan.
Garis merahnya adalah Negara sudah tidak sehat. Ketika kesehatan itu bernama kemanusiaan. Negara diatur untuk kepentingan pengaturnya sendiri. Rakyat bukan siapa-siapa. Rakyat tidak berwenang. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan. Rakyat adalah bebek.
…
Saya jadi ingat film V for Vendetta. Pemerintahan dictator. Konspirasi-konspirasi busuk. Dan rakyat dibungkam ketakutan. Saya berani menaruh Indonesia di posisi Inggris di film itu. Lalu apa yang rakyat bisa lakukan? Tidak ada.
Maka muncullah sosok V yang dengan anarkismenya menghancurkan pemerintahan itu. Apa yang telah dilakukannya menularkan keberanian. Sosok yang mendobrak system. Berani mati demi kebenaran. Maka saya menempatkan V sebagai Munir.
MUNIR LEBIH DARI SEKEDAR PAHLAWAN HAM. MUNIR ADALAH PEJUANG SEBENARNYA DI ERA SETELAH KEMERDEKAAN. MUNIR BERANI MELAWAN PEMERINTAH DEMI MENEGAKKAN KEBENARAN.
Saya akan mengutip terjemahan intro dari V for Vendetta sebagai outro tulisan ini.
“Kita disuruh mengingat pemikirannya dan bukan orangnya karena manusia bisa gagal. Dia bisa tertangkap, bia bisa terbunuh dan terlupakan. Tapi pemikiran masih bisa mengubah dunia.”
Catatan:
1. Oleh karena itu, untuk mbak Suciwati dan para yang memperjuangkan Munir, kita tidak boleh berhenti dengan terungkapnya kasus kematian Munir ini. Kita juga harus terus meneruskan perjuangan Munir. Meneruskan kebenaran yang harus diungkap. Dosa bajingan-bajingan itu harus dipertanggungjawabkan. Jika perlu kita menapaktilasi Munir dengan mengadukannya ke Badan HAM PBB.
2. Idealnya tulisan ini lebih banyak umpatan.
Selasa, 06 September 2011
Saatnya Bangun dari Mimpi, Timnas!
Barusan Indonesia kalah dari Bahrain dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2014 dengan skor 0-2. Laga kandang yang ditunggu-tunggu dengan sejuta harapan ini ternyata jauh panggang dari api. Segala optimisme supporter yang dipupuk oleh euphoria media terhadap timnas ternyata harus kembali dihantam kenyataan bahwa kita belum terbang setinggi itu.
Data statistik menempatkan kita layak diunggulkan. Rekor pertemuan kedua tim memihak kita. Fakta bahwa kita tidak pernah kalah dalam 8 (delapan) pertandingan kandang terakhir, hingga mandulnya lini depan Bahrain semakin menambah kepercayaan diri kita bahwa malam ini kita akan menang dan pergi ke Brasil 2014.
Mimpi itu terangkai secara “tidak sengaja” saat kita mengalahkan Turkmenistan (yang levelnya memang di bawah kita). Setelah carut-marut PSSI, tiba-tiba dimulai dengan hasil (yang sebenarnya tidak begitu) membanggakan, kita lolos ke putaran ke-3 kualifikasi Piala Dunia 2014. Dimana kali pertama kita melangkah sejauh ini.
Hasil drawing pun terhitung mudah, kita se-grup dengan Iran, Bahrain, dan Qatar. Selain Iran, Bahrain dan Qatar merupakan lawan yang bisa kita kalahkan. Oleh karena itu optimisme kembali membuncah, bahwa kita bisa lolos dari grup ini.
Uji coba pun dilaksanakan untuk menjaga performa timnas. Setelah bermain imbang dengan juniornya, timnas secara mengesankan mengalahkan Palestina dengan skor 4-1. Semangat supporter semakin berkobar. Saat uji coba tandang ke Jordania pun juga hanya kalah 0-1. Berharap perbaikan pada kondisi puncak, melawan Iran.
Namun seperti tidak belajar dari pengalaman, kita kalah 0-3 dari Iran dengan semua gol terjadi di babak kedua. Akan tetapi kekalahan ini tidak begitu merisaukan karena kita memaklumi bahwa kita memang satu level di bawah Iran. Nah, lawan Bahrain adalah saatnya kita meraih kemenangan!
Dan hasilnya telah kita ketahui bersama. Bermain di GBK yang katanya angker bagi tim “sekelas” Bahrain, nyatanya kita tetap saja minim peluang dan terus tertekan. Permainan mudah sekali dibaca lawan. Bola dimainkan di tengah sebentar lalu terobosan ke sayap. Strategi lainnya, bola diberikan pada Gonzales untuk ditahan sebelum diberikan ke pemain yang membuka ruang. Sudah itu saja. Kebobolan kita? Lagi-lagi kesalahan kita adalah kelengahan karena kurangnya konsentrasi dan koordinasi.
…
Oke, kita kalah, lalu apa? Mencari kambing hitam? Siapa yang salah? Salah Wim? Salah SBY yang menonton? Salah Djohar yang memecat Riedl? Salah Markus? Salah supporter yang menyalakan petasan? Dan kita tidak kemana-mana.
Mari kita melihat lebih bijak. Apa yang bisa dijadikan pelajaran dari kekalahan ini? Ya, kekalahan ini menyadarkan kita dari euphoria mimpi melaju ke putaran final Piala Dunia 2014. Menampar kita, bahwa kita belum sekuat itu.
Timnas adalah muara dari kompetisi dan pembinaan yang baik. Kompetisi professional yang sehat dan kompetitif akan melahirkan banyak bakat. Pembinaan yang berjenjang dan terstruktur baik dapat memonitor bakat-bakat muda.
Timnas yang “cuma” menang melawan Turkmenistan dan Palestina kemarin bukanlah representasi dari kompetisi kita. Timnas kita ini semacam klub yang baru dibentuk. Beruntung kompetisi kita belum aktif, jadi “klub timnas” ini bisa leluasa melakukan pemusatan latihan. Kalaupun malam ini menang, hasil yang kita dapat bukanlah hasil yang ideal. Karena (lagi-lagi) ini adalah hasil instan.
Kenapa selama ini selalu dilakukan pembentukan “klub timnas”? Setiap pemusatan latihan pelatih timnas harus memulai dari awal. Harus menyeleksi dan pemantapan fisik terlebih dahulu. Tetek bengek ini membuat persiapan timnas secara taktik selalu berkurang. Sehingga tidak bisa mencapai hasil maksimal yang diinginkan pelatih. Hal ini menunjukkan ada yang salah dengan system kompetisi kita. Bagaimana cara klub mengelola pemain secara fisik, mental, ataupun taktik tidak sinkron dengan yang diharapkan timnas. Ini yang membuat timnas harus membangun lagi pemain dari awal.
Nah, kekalahan dari Bahrain ini datang di saat yang tepat. Di saat PSSI akan menyelenggarakan kompetisi baru yang disebutnya professional, tanpa APBD. Selain pembenahan secara sumber dana, seharusnya PSSI juga meningkatkan standar-standar klub mengenai pembangunan fisik dan mental yang selaras dengan program timnas.
PSSI juga harus memperhatikan pembinaan usia dini dengan menggelar kompetis-kompetisi kelompok umur secara konsisten. Disamping pengembangan pemain, PSSI juga harus memperhatikan tentang pengembangan pelatih. PSSI bisa mengadakan workshop kepada pelatih-pelatih di daerah-daerah.
Apapun itu, semoga PSSI dapat mengambil pelajaran dari hasil malam ini. Merekalah yang seharusnya paling tertampar dengan kekalahan ini. Tamparan bahwa ternyata mereka belum menghasilkan apa-apa. Dan peran kita sebagai supporter adalah terus mendukung semua kebijakan PSSI serta mengawalnya.
Semoga tamparan malam ini benar-benar membangunkan kita.
Data statistik menempatkan kita layak diunggulkan. Rekor pertemuan kedua tim memihak kita. Fakta bahwa kita tidak pernah kalah dalam 8 (delapan) pertandingan kandang terakhir, hingga mandulnya lini depan Bahrain semakin menambah kepercayaan diri kita bahwa malam ini kita akan menang dan pergi ke Brasil 2014.
Mimpi itu terangkai secara “tidak sengaja” saat kita mengalahkan Turkmenistan (yang levelnya memang di bawah kita). Setelah carut-marut PSSI, tiba-tiba dimulai dengan hasil (yang sebenarnya tidak begitu) membanggakan, kita lolos ke putaran ke-3 kualifikasi Piala Dunia 2014. Dimana kali pertama kita melangkah sejauh ini.
Hasil drawing pun terhitung mudah, kita se-grup dengan Iran, Bahrain, dan Qatar. Selain Iran, Bahrain dan Qatar merupakan lawan yang bisa kita kalahkan. Oleh karena itu optimisme kembali membuncah, bahwa kita bisa lolos dari grup ini.
Uji coba pun dilaksanakan untuk menjaga performa timnas. Setelah bermain imbang dengan juniornya, timnas secara mengesankan mengalahkan Palestina dengan skor 4-1. Semangat supporter semakin berkobar. Saat uji coba tandang ke Jordania pun juga hanya kalah 0-1. Berharap perbaikan pada kondisi puncak, melawan Iran.
Namun seperti tidak belajar dari pengalaman, kita kalah 0-3 dari Iran dengan semua gol terjadi di babak kedua. Akan tetapi kekalahan ini tidak begitu merisaukan karena kita memaklumi bahwa kita memang satu level di bawah Iran. Nah, lawan Bahrain adalah saatnya kita meraih kemenangan!
Dan hasilnya telah kita ketahui bersama. Bermain di GBK yang katanya angker bagi tim “sekelas” Bahrain, nyatanya kita tetap saja minim peluang dan terus tertekan. Permainan mudah sekali dibaca lawan. Bola dimainkan di tengah sebentar lalu terobosan ke sayap. Strategi lainnya, bola diberikan pada Gonzales untuk ditahan sebelum diberikan ke pemain yang membuka ruang. Sudah itu saja. Kebobolan kita? Lagi-lagi kesalahan kita adalah kelengahan karena kurangnya konsentrasi dan koordinasi.
…
Oke, kita kalah, lalu apa? Mencari kambing hitam? Siapa yang salah? Salah Wim? Salah SBY yang menonton? Salah Djohar yang memecat Riedl? Salah Markus? Salah supporter yang menyalakan petasan? Dan kita tidak kemana-mana.
Mari kita melihat lebih bijak. Apa yang bisa dijadikan pelajaran dari kekalahan ini? Ya, kekalahan ini menyadarkan kita dari euphoria mimpi melaju ke putaran final Piala Dunia 2014. Menampar kita, bahwa kita belum sekuat itu.
Timnas adalah muara dari kompetisi dan pembinaan yang baik. Kompetisi professional yang sehat dan kompetitif akan melahirkan banyak bakat. Pembinaan yang berjenjang dan terstruktur baik dapat memonitor bakat-bakat muda.
Timnas yang “cuma” menang melawan Turkmenistan dan Palestina kemarin bukanlah representasi dari kompetisi kita. Timnas kita ini semacam klub yang baru dibentuk. Beruntung kompetisi kita belum aktif, jadi “klub timnas” ini bisa leluasa melakukan pemusatan latihan. Kalaupun malam ini menang, hasil yang kita dapat bukanlah hasil yang ideal. Karena (lagi-lagi) ini adalah hasil instan.
Kenapa selama ini selalu dilakukan pembentukan “klub timnas”? Setiap pemusatan latihan pelatih timnas harus memulai dari awal. Harus menyeleksi dan pemantapan fisik terlebih dahulu. Tetek bengek ini membuat persiapan timnas secara taktik selalu berkurang. Sehingga tidak bisa mencapai hasil maksimal yang diinginkan pelatih. Hal ini menunjukkan ada yang salah dengan system kompetisi kita. Bagaimana cara klub mengelola pemain secara fisik, mental, ataupun taktik tidak sinkron dengan yang diharapkan timnas. Ini yang membuat timnas harus membangun lagi pemain dari awal.
Nah, kekalahan dari Bahrain ini datang di saat yang tepat. Di saat PSSI akan menyelenggarakan kompetisi baru yang disebutnya professional, tanpa APBD. Selain pembenahan secara sumber dana, seharusnya PSSI juga meningkatkan standar-standar klub mengenai pembangunan fisik dan mental yang selaras dengan program timnas.
PSSI juga harus memperhatikan pembinaan usia dini dengan menggelar kompetis-kompetisi kelompok umur secara konsisten. Disamping pengembangan pemain, PSSI juga harus memperhatikan tentang pengembangan pelatih. PSSI bisa mengadakan workshop kepada pelatih-pelatih di daerah-daerah.
Apapun itu, semoga PSSI dapat mengambil pelajaran dari hasil malam ini. Merekalah yang seharusnya paling tertampar dengan kekalahan ini. Tamparan bahwa ternyata mereka belum menghasilkan apa-apa. Dan peran kita sebagai supporter adalah terus mendukung semua kebijakan PSSI serta mengawalnya.
Semoga tamparan malam ini benar-benar membangunkan kita.
Langganan:
Postingan (Atom)