Jadi gini, saya ini kan lagi nulis skripsi tentang strategi pengembangan perbankan syariah di Indonesia, secara makro, lha teori-teori strategi itu kebanyakan mikro…
Trus, bicara strategi perusahaan, di mana-mana ujungnya juga laba. Sementara bank syariah yang dikenal mengutamakan keadilan akhirnya harus mengakui kalau juga mencari laba.
Akhirnya kembali lagi. Capitalism rules.
Saya seperti sedang mempertanyakan agama…
Minggu, 19 Juni 2011
BEBEK
Ada lagi “oleh-oleh” dari Workshop Perbankan Syariah di Pasuruan. Saat itu Pak Arie Mooduto menjelaskan tentang keunggulan ekonomi Islam dengan menunjukkan bahwa surat kabar resmi Vatikan dalam artikel yang ditulis Loretta Napoleoni pada Maret 2009 menyebut bahwa sistem ekonomi syariah bisa menjadi solusi untuk menggantikan sistem ekonomi konvensional yang disebutnya rogue economic.
Kemudian Pak Arie berulang-ulang meyakinkan peserta workshop bahwa sistem ekonomi syariah merupakan sistem yang terbaik bagi umat manusia. Kasarannya gini, “Vatikan saja mengakui, masa kita umat muslim masih meragukan?”
Nah, kalo sudah ada bukti diakui “bangsa barat” begitu biasanya kita cepat percaya. Apalagi yang mengakui adalah pihak yang kontras.
Tapi di sini masalahnya, apa kita harus menunggu diakui mereka dahulu untuk percaya? Apa kita tidak punya cukup kepercayaan diri untuk membanggakan milik kita? Atau mungkin karena kita sudah berkiblat terlalu ke barat?
Jadi kita perlu persetujuan barat dulu untuk kembali ke ekonomi Islam. Apa kita selamanya menjadi pengikut? Menjadi bebek.
Kemudian Pak Arie berulang-ulang meyakinkan peserta workshop bahwa sistem ekonomi syariah merupakan sistem yang terbaik bagi umat manusia. Kasarannya gini, “Vatikan saja mengakui, masa kita umat muslim masih meragukan?”
Nah, kalo sudah ada bukti diakui “bangsa barat” begitu biasanya kita cepat percaya. Apalagi yang mengakui adalah pihak yang kontras.
Tapi di sini masalahnya, apa kita harus menunggu diakui mereka dahulu untuk percaya? Apa kita tidak punya cukup kepercayaan diri untuk membanggakan milik kita? Atau mungkin karena kita sudah berkiblat terlalu ke barat?
Jadi kita perlu persetujuan barat dulu untuk kembali ke ekonomi Islam. Apa kita selamanya menjadi pengikut? Menjadi bebek.
Belum Siap
Pada Workshop Perbankan Syariah beberapa hari yang lalu dipaparkan mengenai pemetaan segmen target market masyarakat terhadap bank syariah. Hasil dari pemetaan tersebut menunjukkan bahwa banking orientation mayoritas masyarakat adalah memilih bank sesuai kebutuhan, untuk kebutuhan bisnis misalnya. Hasil pemetaan secara psikografis juga merujuk hasil “rata-rata” masyarakat yang memilih bank berdasarkan keamanan dan pelayanan. Bahkan ada satu peserta ulama yang jelas-jelas mengaku memilih bank berdasarkan keuntungannya.
Dari hasil tersebut membuat saya berpikir bahwa masyarakat Indonesia ini kurang (atau mungkin malas) memahami suatu ide. Dalam kasus ini bank syariah, ide perekonomian syariah, terlepas dari riba. Mereka “masih” memilih berdasarkan kebutuhan, karena mereka mementingkan kemudahan akses bisnisnya daripada memenuhi panggilan untuk kembali ke syariah demi perbaikan ekonomi.
Hasil psikografispun, masyarakat memilih bank berdasarkan keamanan dan pelayanannya. Oke, saya anggap mereka paham akan keamanan pada bank syariah yang terjamin, namun mereka juga masih memandang permukaan pelayanannya. Saya yakin merekapun asal menjawab jawaban yang “aman”.
Memang ini adalah tugas perbankan syariah untuk memperbaiki pelayanannya, setidaknya sejajar dengan bank konvensional. Namun setidaknya masyarakat juga proaktif memberi masukan, toh ini juga merupakan solusi untuk perekonomian Indonesia dimana bank syariah lebih mendukung pada pertumbuhan sektor riil.
Bicara seperti ini hampir sama dengan ketika hanya mempertanyakan kebijakan pemerintah, namun kita tidak mendukung. Hanya menghujat, tanpa solusi. Ya, kita masih belum paham bagaimana menjadi masyarakat yang berdemokrasi. Kita mau bebas namun masih mengemis kesejahteraan. Lagi-lagi karena kita belum paham ide dari demokrasi itu.
Mari kita tengok negeri yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Pluralisme dengan tegas menjadi semboyan negeri nan elok dengan beragam adat, agama, budaya, dan suku ini. Tapi apa yang kita lihat di berita-berita kemarin? Ahmadiyah? FPI? Penggembokan GKI Yasmin? Demokrasi adalah bebas memaksakan kehendak.
Merambah ke ranah pemerintah. Hmmm… mereka inilah yang mengaku-ngaku menjadi penegak demokrasi di negeri ini. Para politisi, mulai dari jajaran eksekutif hingga legislative, bahkan yudikatif. Apa? Korupsi? Tidak heran. Sudah biasa. Kita bisa apa? Bisa dapat imbalan untuk memilih. Demokrasi adalah bebas mencapai tujuan politis.
Menuju ke industri kreatif, musik. Demokrasi membuat para musisi menjadi semakin kreatif. Dari segi genre sampai lirik yang syirik. Acara-acara musik bawah tanah juga semakin marak, semakin banyak media untuk bersuara. Tetap saja, demokrasi juga membawa dampak buruk bagi dunia ini dalam bentuk pembajakan. Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat dengan mudahnya mendapatkan hasil jerih payah para pekerja musik tanpa membeli produknya. Pembajakan menjadi kejahatan yang hampir mustahil diberantas hanya dengan mengandalkan peraturan.
Sial, lama-lama tulisan ini mengarah ke masalah moral. Tapi mau gimana lagi. Saya cuma
memotret fakta. Fakta bahwa kita ini adalah masyarakat pemalas yang hanya melihat permukaan. Fakta bahwa kita adalah bangsa yang minder dan pemilih jalan pintas. Fakta bahwa kita ini belum siap karena kita lemah di pondasinya. Semoga saat ini adalah masa-masa pembentukan pondasi. Ayolaaaaahhh, udah pada gede kan? Udah tau mana yang baik, mana yang buruk kan? Udah bisa mikir mana yang bakal jadi baik, mana yang nantinya malah merugikan kan?
Ayo kita bersiap menjadi siap menjadi bangsa yang besar.
Dari hasil tersebut membuat saya berpikir bahwa masyarakat Indonesia ini kurang (atau mungkin malas) memahami suatu ide. Dalam kasus ini bank syariah, ide perekonomian syariah, terlepas dari riba. Mereka “masih” memilih berdasarkan kebutuhan, karena mereka mementingkan kemudahan akses bisnisnya daripada memenuhi panggilan untuk kembali ke syariah demi perbaikan ekonomi.
Hasil psikografispun, masyarakat memilih bank berdasarkan keamanan dan pelayanannya. Oke, saya anggap mereka paham akan keamanan pada bank syariah yang terjamin, namun mereka juga masih memandang permukaan pelayanannya. Saya yakin merekapun asal menjawab jawaban yang “aman”.
Memang ini adalah tugas perbankan syariah untuk memperbaiki pelayanannya, setidaknya sejajar dengan bank konvensional. Namun setidaknya masyarakat juga proaktif memberi masukan, toh ini juga merupakan solusi untuk perekonomian Indonesia dimana bank syariah lebih mendukung pada pertumbuhan sektor riil.
Bicara seperti ini hampir sama dengan ketika hanya mempertanyakan kebijakan pemerintah, namun kita tidak mendukung. Hanya menghujat, tanpa solusi. Ya, kita masih belum paham bagaimana menjadi masyarakat yang berdemokrasi. Kita mau bebas namun masih mengemis kesejahteraan. Lagi-lagi karena kita belum paham ide dari demokrasi itu.
Mari kita tengok negeri yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Pluralisme dengan tegas menjadi semboyan negeri nan elok dengan beragam adat, agama, budaya, dan suku ini. Tapi apa yang kita lihat di berita-berita kemarin? Ahmadiyah? FPI? Penggembokan GKI Yasmin? Demokrasi adalah bebas memaksakan kehendak.
Merambah ke ranah pemerintah. Hmmm… mereka inilah yang mengaku-ngaku menjadi penegak demokrasi di negeri ini. Para politisi, mulai dari jajaran eksekutif hingga legislative, bahkan yudikatif. Apa? Korupsi? Tidak heran. Sudah biasa. Kita bisa apa? Bisa dapat imbalan untuk memilih. Demokrasi adalah bebas mencapai tujuan politis.
Menuju ke industri kreatif, musik. Demokrasi membuat para musisi menjadi semakin kreatif. Dari segi genre sampai lirik yang syirik. Acara-acara musik bawah tanah juga semakin marak, semakin banyak media untuk bersuara. Tetap saja, demokrasi juga membawa dampak buruk bagi dunia ini dalam bentuk pembajakan. Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat dengan mudahnya mendapatkan hasil jerih payah para pekerja musik tanpa membeli produknya. Pembajakan menjadi kejahatan yang hampir mustahil diberantas hanya dengan mengandalkan peraturan.
Sial, lama-lama tulisan ini mengarah ke masalah moral. Tapi mau gimana lagi. Saya cuma
memotret fakta. Fakta bahwa kita ini adalah masyarakat pemalas yang hanya melihat permukaan. Fakta bahwa kita adalah bangsa yang minder dan pemilih jalan pintas. Fakta bahwa kita ini belum siap karena kita lemah di pondasinya. Semoga saat ini adalah masa-masa pembentukan pondasi. Ayolaaaaahhh, udah pada gede kan? Udah tau mana yang baik, mana yang buruk kan? Udah bisa mikir mana yang bakal jadi baik, mana yang nantinya malah merugikan kan?
Ayo kita bersiap menjadi siap menjadi bangsa yang besar.
Rabu, 08 Juni 2011
BUKAN TEMPAT SAMPAH
SOL SEPATU
Saya mendengar adzan dhuhur. Biasanya saya cuma mematikan musik sebentar kemudian ketika adzan berhenti saya mainkan lagi. Selama ini sih saya sholat asal aja, pokoknya masih jamnya ya masih boleh, bahkan lebih sering nelat-nelat.
Tapi selama mendengarkan adzan itu saya keinget bahwa keutamaan sholat adalah dilakukan tepat waktu, tidak ditunda-tunda. Maka saat itu juga saya coba untuk melaksanakan sholat setelah adzan.
Sambil menunggu adzan saya iseng ngetwit dan dengan maksud mengajak sholat tepat waktu, terbersit begitu saja kata “Sol Sepatu” kemudian saya paksakan membuat kepanjangan dan jadilah “sholatlah setepat waktu” hehehehe.
Untuk hari itu sol sepatu sangat efektif untuk “memaksa” saya sholat tepat waktu pada dhuhur, ashar, dan maghrib. Tapi Isya-nya saya lupa lagi :p
Oke, untuk langkah awal sepertinya ini bisa bekerja untuk mendorong agar sholat tepat waktu terus. Setidaknya untuk saya dulu, tapi sambil saya twit terus biar bisa mengajak temen-temen yang lain.
Let’s go Sol Sepatu! :
Tapi selama mendengarkan adzan itu saya keinget bahwa keutamaan sholat adalah dilakukan tepat waktu, tidak ditunda-tunda. Maka saat itu juga saya coba untuk melaksanakan sholat setelah adzan.
Sambil menunggu adzan saya iseng ngetwit dan dengan maksud mengajak sholat tepat waktu, terbersit begitu saja kata “Sol Sepatu” kemudian saya paksakan membuat kepanjangan dan jadilah “sholatlah setepat waktu” hehehehe.
Untuk hari itu sol sepatu sangat efektif untuk “memaksa” saya sholat tepat waktu pada dhuhur, ashar, dan maghrib. Tapi Isya-nya saya lupa lagi :p
Oke, untuk langkah awal sepertinya ini bisa bekerja untuk mendorong agar sholat tepat waktu terus. Setidaknya untuk saya dulu, tapi sambil saya twit terus biar bisa mengajak temen-temen yang lain.
Let’s go Sol Sepatu! :
Toko Kerja Perbankan Syariah
Ayah saya kebetulan menjadi panitia Workshop Perbankan Syariah di Pasuruan. Kebetulan lagi, skripsi saya juga tentang perbankan syariah. Karena kebetulan-kebetulan itu, saya diajak untuk menjadi peserta, yang tentu saja tak diundang. Entah, tapi mungkin ini adalah pertama kali saya berada dalam posisi pelaku nepotisme. Tapi untuk menepis rasa bersalahnya, saya menganggap ini adalah peluang untuk menambah ilmu. Toh, saya juga tidak melanggar aturan. Toh, di spanduk acaranya juga ada tulisan “…untuk stakeholder perbankan syariah.” Nah, saya sebagai mahasiswa yang sedang mempelajari perbankan syariah juga merupakan stakeholder kan?
Oke, acara ini bertajuk “Workshop Perbankan Syariah Untuk Ulama”. Sasarannya jelas, ulama. Jadi ini semacam akselerasi sosialisasi untuk meningkatkan nasabah perbankan syariah. Sama-sama kita tahu, budaya di pesantren di mana para santrinya sangat patuh pada kyai-nya, maka mengedukasi kyai-kyai tentang pentingnya perbankan syariah merupakan langkah yang sangat tepat.
Undangan disebar ke pesantren-pesantren se-Pasuruan dan sekitarnya. Sudah jelas pula bagaimana wardrobe para ulama dan kyai peserta workshop: peci, baju koko, sarung, dan sandal. Kebanyakan dari mereka berjenggot. Mereka saling bersalaman, yang muda mencium tangan yang tua. Dan perbincangan di antara mereka sarat dengan istilah-istilah arab.
Acara yang berlangsung dua hari (1 Juni-2 Juni) ini dibuka oleh Bapak Mulya Siregar, Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Pada sesi pertama yang berlaku sebagai pembicara dalah Pak Buchori dari Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Bagian Pengembangan. Beliau memperkenalkan perbankan syariah pada para ulama. Yaitu seputar kebijakan pengembangan perbankan syariah yang berisi tentang potensi hingga rencana pengembangan yang meliputi service, infrastruktur, dll.
Setelah pemaparan dipersilakan para peserta (ulama) untuk mengajukan pertanyaan. Dari beberapa yang diajukan tampak para ulama masih belum paham akan posisi bank syariah sebagai bank Islam. Mereka kebanyakan masih menanyakan tentang layanan, kemudahan, dan juga akses. Selain itu, ternyata ada beberapa yang masih beropini bahwa bank syariah tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan bank konvensional. Ada juga yang menyangsikan kesyariahan bank syariah.
Pembicara sesi kedua adalah Pak Arie Mooduto, seorang pakar ekonomi Islam. Dalam paparannya beliau menegaskan pentingnya bank syariah dilihat dari fungsi sebagai bank Islam. Bagi umat Muslim yang penting syariah, tidak peduli bagaimana servicenya. Toh, service dari bank syariah akan terus diperbaiki. Untuk lebih meyakinkan audience, Pak Arie mengajak untuk melihat dari sudut pandang ekonomi Islam yang adil, dan oleh dunia barat mulai disebut-sebut sebagai solusi perekonomian dunia.
Tak lupa beliau menyinggung senjata utama bank syariah dalam melawan bank konvensional, yaitu riba. Sudah menjadi isu lama bahwa bunga bank (konvensional) termasuk riba yang berarti haram. Riba (bunga) menjadi pondasi system ekonomi konvensional. Kapitalisme membuatnya menjadi semakin rakus. Nah, ekonomi Islam adalah solusi untuk melawan kerakusan itu. Namun, umat Islam masa kini sudah tidak lagi mempedulikan itu. Sekuler?
Pak Arie Mooduto juga memberikan cerita tentang pentingnya menegur dan mengingatkan kebenaran. Oleh karena itu, para peserta workshop yang para ulama itu yang notabene adalah pemegang teguh syariat Islam diharapkan mau peduli dan menyebarkan tentang perbankan syariah ini.
Hari kedua, materi diberikan oleh Pak Cecep. Dalam pembahasan kali ini, Pak Cecep lebih menekankan pada soal teknis dan produk-produk perbankan syariah. Relatif mudah tentunya mengajarkan produk-produk yang berbahasa Arab itu pada oara ulama. Setelah itu untuk lebih mendalami dalam prakteknya, beliau memberikan semacam studi kasus untuk dianalisis.
Well, untuk hari kedua saya tidak melanjutkan hingga selesai karena suatu alasan harus kembali ke Malang.
Secara keseluruhan saya mencermati penataan paparan yang disampaikan telah disusun dengan baik. Sebagai pemanasan (sesi pertama) adalah pengenalan perbankan syariah secara sekilas dan dengan respon banyak sangkalan. Nah, intinya ada pada sesi kedua ini, yaitu pemupukan pondasi betapa bagusnya ekonomi Islam sebagai solusi perekonomian dunia. Di sini peserta dibuat memahami untuk tidak lagi mementingkan untung-rugi, yang penting amanah dan sesuai syariat Islam. Bank Syariah adalah salah satu produk dari ekonomi Islam tersebut, jadi bagaimanapun untuk urusan bank sebisa mungkin kita memilih bank syariah. Penyampaian yang enak, pendekatan yang bagus pada para ulama membuat Pak Arie Mooduto dapat memiliki hati peserta. Sehingga Pak Cecep apada sesi pengenalan produk bank syariah tidak kesulitan menjelaskan karena pondasi tersebut sudah terbentuk.
Yahh, semoga workshop ini akan berhasil dengan semakin banyaknya nasabah bank syariah di Kabupaten Pasuruan dan sekitarnya. Semoga para ulama mendapat pemahaman tentang bank syariah ini dan menularkan pada santri-santrinya untuk menjadi nasabah bank syariah.
Karena memang ekonomi Islamlah yang dapat menyelamatkan kerakusan kapitalisme dunia ini. Karena memang bank syariah merupakan bank yang bersih jauh dari riba dan memihak pada usaha kecil. Karena memang bank syariah memiliki potensi yang luar biasa di Indonesia ini.
Rabu, 01 Juni 2011
Rokok Pembangunan
Saya ingin menuliskan apa yang saya twit kemarin sehubungan dengan hari tanpa tembakau sedunia yang jatuh kemarin.
Mengingat hari tanpa tembakau sedunia, ada joke yang beredar di masyarakat Kediri tentang merokok. Ketika kita meminta seseorang untuk berhenti merokok, mereka akan menjawab, "Kalau gak ada ini (rokok), Kediri gak bisa maju." Rokok yang dimaksud tentu saja adalah rokok produk dari Gudang Garam. Seperti yang kita ketahui, Gudang Garam adalah salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang berpusat di Kediri.
Dari jawaban itu bisa kita simpulkan bahwa masyarakat Kediri beranggapan bahwa pembangunan Kota Kediri sangat bergantung pada pabrik Gudang Garam itu.
Kemudian salah satu teman saya me-reply twit saya, "Kalo gak ada ini (rokok) eyke makan opo bok?" Nah lo! Tambah lagi ketergantungan masyarakat Kediri kepada Gudang Garam: lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu, masyarakat Kediri seperti memiliki tanggung jawab tidak langsung untuk terus melestarikan (mengkonsumsi) produk Gudang Garam. Hehehe.
Entah itu hanya alasan atau pembenaran masyarakat Kediri untuk tetap merokok, tapi lelucon ini sangat menggelikan. Karena di sini kita mengesampingkan peran Pemerintah Kota Kediri dalam pembangunan Kota Kediri, hanya bergantung pada Gudang Garam.
Ehm, ngomong-ngomong tentang pembangunan oleh pabrik rokok, ternyata hal ini juga berlaku di tingkat negara. Setelah membaca opini di Jawa Pos kemarin, ternyata cukai perusahaan rokok se-Indonesia yang mencapai 44 triliun rupiah merupakan sumber pendapatan negara dalam APBN!!! Dan kabarnya sekitar 1 triliun dikucurkan ke pemda yang memiliki pabrik rokok. Itulah alasan mengapa pemda masih menghamba pada pabrik rokok.
Bukankah itu wajar? Di sini letak ketidaktahuan kita. Seharusnya 70% dari cukai tersebut digunakan untuk usaha-usaha pengurangan rokok, seperti kampanye anti rokok, asuransi kesehatan, penyuluhan dan lain-lain. Namun yang terjadi Indonesia adalah sebaliknya, bukannya berusaha mengurangi rokok, tapi seakan-akan malah menggenjot jumlah produksi rokok. Hal ini dapat diketahui dari jumlah produksi rokok yang semakin meningkat tiap tahunnya.
Selain itu, perusahaan rokok juga diberi panggung di Indonesia. Panggung untuk menjadi sponsir di event-event berskala nasional. Mulai dari event musik sampai event olahraga.
Apa usaha pemerintah? Berapa tempat bebas asap rokok di Indonesia ini???
Apakah kita sudah kembali ke jaman buta aksara karena tidak bisa membaca ancaman kesehatan pada bungkus rokok?
Apa karena ulama kita menjadi "sekuler" terhadap rokok?
Ahh, sudahlah, setidaknya hormati kami yang tidak merokok, seperti kami menghormati Anda yang merokok :)
Langganan:
Postingan (Atom)