Rabu, 05 Januari 2011

STOP BBM TIDAK PRODUKTIF : Pendisiplinan Pengendara di Bawah Umur

Dengan dalih penghematan BBM dan penghematan anggaran pemerintah berencana melakukan pembatasan untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Terdapat 2 (dua) opsi pelaksanaannya. Yang pertama adalah BBM bersubsidi hanya diperuntukkan mobil pribadi tahun 2005 dan sebelumnya;dan kendaraan umum. Opsi kedua lebih ekstrim, yaitu BBM bersubsidi hanya khusus untuk mobil kendaraan umum, praktis mobil pribadi dilarang membeli BBM bersubsidi. Rencana ini akan dilakukan per 1 Maret 2011 secara bertahap. Dimulai dari Jabodetabek, kemudian Jawa-Bali, dan seterusnya.


Rencana ini tentunya menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini akan semakin menambah panjang beban masyarakat yang masih jauh dari kesejahteraan. Respon negatif ini menyeruak karena program pemerintah ini tidak diiringi dengan pembangunan sarana dan prasarana publik.


Mengkritisi mengenai program pemerintah tentang penghematan anggaran melalui BBM bersubsidi tentu kita akan semakin apatis. Karena telah banyak upaya penghematan anggaran BBM bersubsidi ini yang berakhir tidak efektif. Salah satu contohnya adalah fluktuasi harga BBM. Tentu saja program yang terkini sangat rentan untuk dipatahkan. Karena program kali ini tidak memiliki tolok ukur yang riil dan dapat menuntaskan persoalan yang ada.


Oke, sebelumnya kita telusuri tujuan pemerintah dari pembatasan BBM ini. Alasan penghematan anggaran menjadi boomerang bagi pemerintah karena membuktikan bahwa rencana penganggaran yang disusun pemerintah tidak berjalan baik sehingga perlu melakukan penghematan dengan menerbitkan peraturan “sepihak”.


Semakin jelas bahwa pemerintah terlalu rajin menumpuk-numpuk peraturan tanpa menegakkannya dengan maksimal terlebih dahulu. Peraturan lama belum mencapai tujuan sudah diikat dengan peraturan baru. Model legislasi seperti ini cenderung menyepelekan peraturan-peraturan kecil. Padahal jika ditegakkan dengan benar peraturan-peraturan sepele tersebut bisa juga berdampak besar.


Tujuan sebenarnya adalah penghematan konsumsi BBM yang mulai tak terkendali. Peraturan-peraturan yang telah diterbitkan, seperti kenaikan harga BBM dan juga rencana ini ujung-ujungnya juga bertujuan untuk penekanan pemakaian BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi. Namun ternyata peraturan-peraturan tersebut masih juga dimentahkan oleh masyarakat. Karena masyarakat Indonesia telah memiliki mind set mendewakan kendaraan pribadi.


Sehubungan dengan rencana pembatasan BBM bersubsidi ini, alangkah baiknya jika pemerintah meningkatkan efektivitas pemakaian BBM. Salah satu caranya adalah dengan pengurangan pemakaian BBM tidak produktif. Produktif tidaknya pemakaian BBM dalam hal ini menyasar pada konsumsi BBM pada kendaraan pribadi.


Seperti yang kita ketahui, kendaraan pribadi sudah menjamur di negeri ini. Setiap rumah, bahkan setiap anggota keluarga memiliki kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi berangsur-angsur telah menjadi kebutuhan primer. Sebagai contoh, bagi keluarga muda, pemilikan kendaraan pribadi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi nomor dua setelah mengontrak rumah. Apalagi ditunjang dengan berbagai kemudahan-kemudahan kredit yang ditawarkan. (Ini dia bukti bahwa kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjadi pengusaha masih lemah. Karena mereka lebih memilih untuk melakukan kredit kendaraan pribadi daripada kredit usaha.)


Memang tidak bisa disalahkan juga karena transportasi juga merupakan alat pemenuhan kebutuhan yang penting. Ketika transportasi umum tidak bisa diharapkan maka masyarakat lebih memilih pada kendaraan pribadi. Pajak kendaraan pribadi yang relatif rendah juga menjadi faktor pendukung. Dan juga harga bahan bakar minyak yang bersubsidi yang terjangkau.


Mungkin disini perlu ditilik mengenai efektivitas pemakaiannya. Tidak dengan membuat peraturan baru, namun dengan memaksimalkan peraturan yang sudah ada. Di sini saya akan mengangkat tentang satu peraturan sepele, yaitu peraturan kepemilikan SIM yang berkaitan dengan umur pengendara bermotor. Seperti yang kita ketahui peraturan kepemilikan SIM adalah sudah berumur 17 tahun, otomatis berlaku juga dengan pengendara.


Namun sudah rahasia umum bahwa peraturan tersebut sangat disepelekan. Tidak dipungkiri jika banyak remaja yang menggunakan kendaraan bermotor di bawah 17 tahun. Tidak menutup mata jika banyak praktik pencaloan SIM yang memungkinkan pembuatan SIM bagi remaja di bawah 17 tahun.


Pendisiplinan Kepemilikan SIM


Dalam persyaratan permohonan SIM perseorangan berdasarkan Pasal 81 UU No. 22 Tahun 2009, usia minimal pemohon SIM C adalah 17 tahun, SIM A dan D adalah 17 tahun, SIM B1 adalah 20 tahun, dan SIM B2 adalah 21 tahun. Selain itu pemohon harus memiliki KTP yang berarti juga harus berumur 17 tahun.


Namun kenyataan di lapangan banyak terdapat pemilik SIM yang belum benar-benar berumur 17 tahun. Bagaimana bisa? Tidak usah dipungkiri bahwa telah terjadi praktik pencaloan SIM di badan Polri. Para pemohon di bawah umur pun bisa dipalsukan umurnya dengan jasa calo-calo ini. Suka atau tidak KKN model calo SIM ini menjadi berlarut-larut dan susah diberantas.


Pendisiplinan Pengendara di bawah 17 tahun


Menurut saya yang mendasari peraturan umur pengendara minimal 17 tahun adalah factor stabilitas emosi. Bagi remaja yang berumur di bawah 17 tahun cenderung memiliki emosi yang belum stabil. Usia remaja di bawah 17 tahun dinilai masih mudah terprovokasi sehingga mempengaruhi emosinya saat berkendara. Praktis kondisi tersebut dapat berpengaruh juga pada konsentrasi berkendara. Dan situasi emosi yang tak terkendali tersebut berpotensi menimbulkan kecelakaan.


Selain emosi, pengetahuan mengenai etika berlalu lintas juga masih sangat minim dikuasai oleh remaja berusia di bawah 17 tahun itu. Merujuk pada sebuah artikel, Kepala Dinas Perhubungan Bantul, Mardi Ahmad mengatakan bahwa sekitar 75% kecelakaan lalu lintas menimpa anak-anak usia remaja. “Minimnya etika berlalu lintas menjadi penyebab utama. Mereka suka ugal-ugalan di jalan, meski membahayakan keselamatan diri dan orang lain,” tambahnya. Jumlah itu bisa juga menjadi bukti banyaknya pengendaran kendaraan bermotor yang berusia remaja di bawah 17 tahun.


Dari kedua penjabaran di atas, kita tidak bisa memungkiri adanya pelanggaran-pelanggaran sepele yang berdampak besar. Hanya dari melanggar satu peraturan tersebut bisa menjadi efek bola salju ke pelanggaran-pelanggaran berikutnya. Oleh karena itu, pihak yang berwenang sebaiknya mempertimbangkan kembali untuk melakukan pendisiplinan terhadap kepemilikan SIM dan para pengendara di bawah umur ini. Karena upaya pendisplinan ini akan menimbulkan multiefek. Pertama dapat menekan pemakaian BBM tidak produktif dari para remaja di bawah umur. Kedua, dapat meminimalisir ruang gerak calo SIM, bahkan memberantasnya. Dan yang terakhir adalah menekan angka kecelakaan lalu lintas.


Pelaksanaan pendisiplinan inipun tampaknya tidak mudah untuk diterapkan begitu saja. Ini sama saja seperti menyuruh kita keluar dari zona nyaman kita begitu saja. Walaupun ini hanya satu hal kecil saja, namun hal kecil ini terlanjur menjadi maklum di masyarakat, telah menjadi identitas sehingga susah dihilangkan. Tidak ada protes ataupun tuntutan masyarakat terhadap hal ini, karena masyarakat juga merasa membutuhkannya.


Solusi yang bisa ditawarkan adalah pendisiplinan pemakaian kendaraan bermotor di lingkungan sekolah. Pemerintah ataupun polri bisa bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk melarang siswanya menggunakan kendaraan bermotor. Mengapa sekolah? Karena sekolah merupakan filter yang paling jelas untuk mengetahui dan membedakan rentang umur remaja.


Sasaran spesifiknya adalah pada SMP (sederajat) dan SMA (sederajat). Untuk SMP, sudah jelas siwanya dibawah 17 tahun. Tetapi tidak sedikit pula siswa SMP yang sudah menggunakan kendaraan bermotor saat berangkat sekolah. Oleh karena itu, pihak sekolah harus melarang untuk menggunakan kendaraan bermotor. Tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di sekitar sekolah yang biasanya menyediakan tempat parkir. Pihak SMP harus tegas dalam hal ini.


Yang agak sulit adalah penertiban bagi siswa SMA. Biasanya usia 17 tahun berkisar pada kelas 2 atau 3 SMA. Namun jika pihak sekolah (SMA) mendukung, maka mereka bisa memberlakukan peraturan bahwa siswa kelas 1 tidak boleh membawa/mengendarai kendaraan bermotor. Karena secara umur umumnya memang belum memenuhi.


Mari kita bayangkan jika hal ini bisa terlaksana. Ditinjau dari permasalahan utama, maka kita bisa menghemat pemakaian BBM tidak produktif dari pelajar. Kemudian dapat sedikit banyak membantu mengatasi masalah pencaloan SIM di tubuh polri. Selanjutnya juga bisa menekan angka kecelakaan yang sebagian besar dialami oleh remaja.


Selain itu, usulan ini juga bisa menjadi momentum pemerintah daerah untuk menggairahkan kembali sarana transportasi umum yang mulai terbengkalai. Karena siswa sekolah yang di bawah umur dilarang membawa kendaraan bermotor pribadi, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan menggunakan sarana transportasi umum.


Mungkin sulit untuk melawan kebijakan-kebijakan pemerintah. Seperti yang sudah-sudah, bagaikan monopoli yang tidak demokratis, masyarakat dipaksa untuk menerima kebijakan itu. Namun ada baiknya pemerintah meninjau kembali efektivitas dari kebijakan yang akan dan telah dibuat. Dan tentu saja kita tidak boleh menyepelekan peraturan-peraturan kecil. Karena seperti contoh di atas, peraturan sepele ternayata berdampak besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar