Selasa, 18 Januari 2011

(Jangan) Maklumi Korupsi

Hey, kawan! Tahukan kalian kalau Negara kita yang tercinta ini sedang tidak aman. Mengapa kita masih saja berselimut dalam zona nyaman? Ya, Negara ini sedang hancur. Para wakil rakyat yang gagal mewakili. Karena menurut mereka kesejahteraan juga diwakilkan pada mereka. Para penegak hukum yang lupa bagaimana cara menegakkan hukum. Ya, hukum sudah runtuh.



Demokrasi (prematur) ini malah membuat kita menjadi egois. Mementingkan diri sendiri dan berpikiran jangka pendek. Mungkin satu-satunya yang masih berpikiran jangka panjang adalah politik! Ya, karena mereka selalu mempunyai maksud dibalik semua topeng kegiatannya. Pencitraan. Ups, tapi ternyata pada akhirnya kembali juga sempit, karena maksud tersebut hanya untuk kepentingan golongannya sendiri (keluh).



Dan tentu saja, sang pionir adalah korupsi. Lagi-lagi karena belum benar-benar paham apa itu demokrasi. Karena demokrasi bagi kita sebatas mendapatkan space untuk berbuat semau kita. Menilik hakikat manusia yang tidak pernah puas, maka demokrasi ini menjadikan lahan yang subur untuk korupsi. Oke, mari bicara fakta. Oh, sial, saya bingung mau memulai dari mana. Karena korupsi ini sudah mengakar, bahkan membudaya.



Okelah, siapa yang tidak kenal Gayus Tambunan dengan semua sepak terjangnya yang sudah menggurita tentang mafia pajak. Mencuatnya isu mafia hukum mengindikasikan bahwa hukum di Negara ini bisa diperjual-belikan. Kasus Antasari Azhar, Kasus Bibit dan Chandra, Kasus bail-out Bank Century bisa jadi merupakan suatu kasus yang berawal dari dugaan korupsi yang merembet pada mafia hukum.



Semua sektor pemerintahan pun tak luput dari korupsi. Kemendiknas yang bertanggungjawab terahadap pendidikan negeri ini pun tak luput dari dugaan korupsi. Temuan BPK pada 2009 tentang adanya aliran dana liar sejumlah 2,3 Triliun rupiah akan diperiksa KPK. Kemensos yang seharusnya mempedulikan masyarakat sosial juga tak lepas dari isu korupsi. Hal ini terkuak setelah tiga panitia pengadaan Kemensos mengungkap peran mantan Mensos Bachtiar Chamsyah dalam kasus korupsi pengadaan mesin jahit, sapi impor, dan sarung.



Yang lebih mencengangkan lagi adalah pengakuan dari Menteri Dalam Negeri mengenai banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Gamawan Fauzi menyebutkan ada 155 kepala daeah yang menjadi tersangka korupsi, 74 diantaranya adalah gubernur. Gamawan menjelaskan bahwa korupsi ini terakait dengan proses pilkada yang memakan banyak biaya, dan korupsi ini dalam rangka balik modal. Wow! Sudah berniat korupsi sejak awal.



Begitulah gambaran betapa Negara kita ini sedang hancur. Kenapa kita masih saja tenang? Kenapa kita masih saja tidak peduli? Seorang teman menjawab, “Cari duit susah bang, gak sempet mungkin.” Nah, di sini akar permasalahannya. Inilah cermin dari demokrasi kita. Liberal. Masyarakat yang bebas, namun pada akhirnya mengarah ke egoistis. Kita hanya diajarkan untuk meraih cita-cita kita setinggi-tingginya. Tapi cita-cita Negara? Itu urusan pemerintah!



Faktor lain yang membuat kita apatis adalah tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Memang Desember 2010 lalu LSI melansir tingkat kepuasan publik masih sebesar 63% (walaupun itu turun jauh dibandingkan pada awal pemerintahan SBY yang mencapai 85%). Tetapi bisa kita lihat dari elemen masyarakat menengah ke bawah, mereka bahkan sudah tidak mempedulikan pemerintah. Mereka sudah muak dengan kekacauan yang ada di negeri ini. Mereka sudah lupa apa arti nasionalisme itu, dan hanya bekerja demi kelangsungan hidup masing-masing tanpa lagi mengharap janji kesejahteraan. Satu-satunya nasionalisme yang ada adalah tentang mendukung Timnas Indonesia. Itu saja.



Hey, kawan! Apakah kita akan terus berpura-pura menutup mata? Apakah kita akan menyerah dan memakluminya? Karena jika kita memakluminya, maka kita membenarkannya. Sehingga rawan adanya tendensi untuk melakukannya dan melestarikannya.



Marilah kawan, kita berani menyalahkan apa yang sedang terjadi di Negara ini. Marilah kawan, kita berlaku melawan semua kesalahan itu. Tidak perlu memaksakan tindakan masif, cukup mengawali dari diri kita masing-masing. Mari kita berantas korupsi sejak dini dan sejak diri. Jangan maklumi korupsi!

4 komentar:

  1. Paragraf tujuh dan delapan: highlighted!

    BalasHapus
  2. solusi kongkritnya??? btw miris yah..

    BalasHapus
  3. @difana: maturnuwun :)

    @raph: hehe, ternyata Anda tidak cukup men-highlight saja, tapi menorehkannya.. terimakasih! :D

    @vira: solusi konkret? ya itu, mari berantas korupsi sejak diri :)

    BalasHapus