Kamis, 17 Maret 2011

pre-(ac)cident

Saya tidak pernah menjadi peserta seminar tentang kepemimpinan yang sewaktu-waktu berteriak “SUKSES!”. Namun ya sedikit banyak saya tau lah bagaimana pemimpin yang baik. Setidaknya secara harfiah, pemimpin adalah orang yang memimpin. Orang yang memimpin biasanya berada di depan. Orang yang berada di depan seharusnya memberi contoh yang baik sehingga patut untuk ditiru. Saya juga sering mendengar beberapa kriteria-kriteria seorang pemimpin yang baik. Katanya, pemimpin harus berwibawa, jujur, adil, amanah, bisa mengayomi, tegas, dan lain-lain yang baik-baik.

Menjadi pemimpin bisa di mana saja. Baik secara formal maupun informal. Yang informal contohnya orang yang ditunjuk sebagai ketua rombongan perjalanan, orang yang dianggap berpengaruh di sekolah, dan orang yang “dituakan” di suatu desa. Kalo pemimpin formal adalah kepala keluarga, ketua kelas, ketua umum suatu yayasan, kepala cabang sebuah bank, walikota, gubernur, hingga seorang presiden.

Dari semua macam-macam pemimpin tersebut seharusnya memiliki kriteria yang ideal sebagai pemimpin. Semakin luas dan besar cakupan kekuasaannya, harus semakin lengkap kriteria yang dimilikinya. Apa jadinya kalo kepala keluarga tidak jujur? Keluarganya pasti akan berantakan. Apa jadinya kalo walikota tidak amanah? Bisa-bisa dia akan melakukan korupsi. Apa jadinya kalo gubernur tidak adil? Dikhawatirkan dia akan menganaktirikan suatu daerah dan hanya memusatkan pembangunan di satu daerah.

Lalu, apa jadinya kalo seorang presiden tidak tegas? Tengoklah negara bernama Indonesia. Masa’ ada sih presiden yang masa pemerintahannya masih 3,5 tahun tapi rakyatnya sudah meributkan calon presiden baru. Diperparah lagi salah satunya yang digadang-gadang (dan menjadi bahan tertawaan) adalah isu bakal majunya istrinya sendiri sebagai calon presiden.

Ada juga tetralogi buku terbitan salah satu mantan wartawan istana yang menuliskan tentang sisi lain keseharian presiden yang ternyata jauh dari wibawa. Di buku itu di bahas habis-habisan bagaimana ‘letoy”-nya sang presiden dalam menghadapi istrinya. Juga cerita-cerita tentang jenderal satu ini yang ternyata adalah seorang pesolek. Penulis juga dengan cermat mencatat janji-janji kampanye presiden, yang ternyata hingga saat ini hanya sebayas pepesan kosong. Keempat buku itu benar-benar membuat gelisah.

Yang terbaru adalah serangan dari dua surat kabar terbitan Australia yang mengutip berita dari wikileaks. Dalam headline-nya satu Koran menulis “Yudhoyono Abused Power” dan satunya lagi “Bambang: Thank You Ma’am”. Dua harian asal Australia tersebut menyebutkan tentang penyalah gunaan kekuasaan oleh presiden. Dan juga yang sudah menjadi rahasia umum, tentang vitalnya peran “ibu ratu” di istana Negara.

Selain itu, efek demokrasi yang dijunjung tinggi sang presiden menjadi boomerang, senjata makan tuan. Masyarakat mulai berani secara terang-terangan menghujatnya. Baik secara sopan melalui opini di surat kabar ataupun secara langsung di social media. Tak dapat dipungkiri, maraknya social media di Indonesia juga berpengaruh besar dalam membentuk opini publik, dalam hal ini memaki pemerintah (presiden). Belum lagi dari blog-blog para orang berpengaruh yang biasanya disertai dengan data dan fakta.

Presiden di negara bernama Indonesia itu suadah jauh dari ideal. Presiden dianggap sudah gagal dalam menjalankan pemerintahan. Presiden ini dikenal lambat dan tidak tegas. Presiden ini juga seorang yang “cengeng”, hingga terkenal dengan template kata “prihatin” untuk setiap respon peristiwa buruk yang menimpa negaranya. “Saya prihatin dengan (masalah xxx)” , begitulah kira-kira template-nya. Dan? Sudah! Berhenti di situ saja.

Ahh, sudahlah, saya tidak memiliki kompetensi untuk membicarakan (atau menghujat) –nya. Terima kasih untuk demokrasinya. Bahkan saya menulis seperti ini juga merupakan produk dari demokrasi. Dan, ya, saya menghujat presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar