Kamis, 17 Maret 2011

Bebas?

16 Maret 2011

Kemarin sore lagi-lagi ada peristiwa terorisme peledakan bom di Jakarta. Kali ini modusnya berupa paket buku yang di dalamnya ada rangkaian bom berdaya ledak rendah. Pihak polisi yang mungkin menganggap sepele bahwa itu adalah bom gadungan membuka bom buku tersebut tanpa menunggu tim gegana. Namun sialnya, ternyata bom buku itu benar-benar terpasang bom aktif. Ketika seorang polisi akan mengambil salah satu komponennya, yang berbentuk seperti baterai ponsel, bom itu meledak. Ada tiga korban yang terluka, yang paling parah adalah polisi tersebut, tangan kirinya putus karena terkena ledakan langsung dari jarak yang sangat dekat.

Paket kiriman bom buku tersebut ditujukan kepada Ulil Abshar Abdalla, seorang aktivis pluralisme dan HAM, pendiri Jaringan Islam Liberal, dan juga politisi Partai Demokrat dengan alamat di Kantor Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berada dalam satu komplek dengan Kantor Berita dan Radio 68H di Utan Kayu, Jakarta Timur. Belakangan juga diketahui bahwa paket bom buku serupa juga dikirimkan ke dua alamat lainnya, yaitu Kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang juga mantan Kadensus 88, Komjen Goris Mere, di Kantor BNN dan kepada Japto S. Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP).

Buku yang dikirimkan di Utan Kayu dan Kantor BNN berjudul sama, yaitu “Mereka Harus Dibunuh Karena Dosa-Dosa Mereka Terhadap Islam dan Kaum Muslimin”. Sedangkan buku yang dikirimkan untuk Ketua Umum PP berjudul “Apakah Masih Ada Pancasila”. Ketiganya disertakan surat pengantar untuk meminta dibuatkan kata pengantar buku dan izin untuk melakukan interview.

Jika menilik dari ketiga target tersebut, bisa diduga bahwa motif pelaku adalah bentuk perlawanan karena perbedaan pandangan dan idealisme. Tidak perlu saya menduga-duga lebih lanjut, karena tidak ada gunanya berlarut-larut. Yang perlu ditekankan di sini adalah betapa gampangnya untuk meneror seseorang. Betapa mudahnya berlaku kasar jika tidak sependapat.

Masih segar di ingatan kita tentang penyerangan sekelompok masyarakat terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Tasikmalaya yang menewaskan tiga orang Jamaah Ahmadiyah. Ada lagi aksi perusakan massa terhadap beberapa gereja di Temanggung. Aksi tersebut semula berpusat di depan pengadilan yang menggelar persidangan terdakwa penistaan agama dan kemudian merembet ke gereja-gereja di Temanggung. Ketika masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap hakim, maka inilah yang disebut “main hakim sendiri”. Literally. :p

Peristiwa-peristiwa tersebut adalah beberapa peristiwa yang terjadi pada akhir-akhir ini. Sebelumnya aksi teror-teror itu pun telah banyak dilakukan. Jika diruntut ke belakang aksi-aksi seperti ini mulai marak sejak era reformasi. Saat-saat di mana kita merayakan kemenangan dari kekangan orde baru. Lepas! Bebas! Ya, kita bebas berpendapat, bebas berekspresi, bebas bersuara, bebas melakukan apa saja. Ironisnya, aksi teror ini berkembang sejalan dengan perkembangan demokrasi kita.

Demokrasi Indonesia lahir secara prematur. Kita memaknai kebebasan dengan berlebihan sehingga mengenyampingkan saling menghargai perbedaan. Atas nama demokrasi kita bebas berpendapat. Atas nama demokrasi paham-paham pemikiran bermunculan. Namun atas nama demokrasi pula kita bebas bereaksi apa saja terhadap pendapat dan paham-paham itu.

Dengan bekal demokrasi yang hanya diartikan secara sempit sebagai kebebasan malah membentuk masyarakat yang egois. Masyarakat yang berlomba-lomba memajukan kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan tidak jarang yang “bebas” melakukan segalanya demi tercapainya tujuan. Karena di sisi lain masyarakat Indonesia belum memahami benar hakikat hidup bernegara.

Demokrasi hanya menjadi ajang orgasme masyarakat yang bebas melakukan apa saja. Otak kita berkembang dengan penafsiran-penafsiran subyektif. Menjadi masyarakat yang tak tersentuh. Namun di saat yang sama kita tidak siap dengan segala macam keberagaman yang datang bertubi-tubi ini. Ketika terusik mereka akan bereaksi melawan. Melawan dengan diplomasi hingga serangan fisik.

Tampaknya masyarakat Indonesia masih perlu pemahaman lebih dalam tentang saling menghargai. Bahwa setiap masyarakat demokrasi harus bisa dengan lapang dada menerima setiap perbedaan. Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan ini juga dilandasi dengan rasa hormat terhadap keberagaman.

Demokrasi impian Indonesia adalah di mana masyarakatnya hidup berdampingan dengan rukun tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama. Dengan begitu Indonesia akan semakin kaya. Kaya akan kebudayaan bersanding dengan kekayaan sumber daya alam. Dan jumlah penduduk yang mencapai 230 juta ini juga menyimpan potensi kekayaan pemikiran. Alangkah indahnya jika kita bisa saling melengkapi pemikiran-pemikiran itu dengan membudayakan diskusi dengan damai.

Saya membedakan reaksi masyarakat dalam menghadapi isu ke dalam tiga kelompok. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang pro terhadap isu tersebut. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang kontra atau melawan isu tersebut. Dan kelompok yang ketiga adalah kelompok yang apatis dalam menanggapi isu itu.

Sebagai generasi muda, tentunya kita sangat prihatin dengan keadaan negeri kita yang tercinta ini. Namun keadaan menyedihkan ini bukan alasan bagi kita untuk menjadi apatis. Saya yakin sebagian besar dari kita adalah kelompok yang kontra dengan kondisi Indonesia yang seperti ini. Mari kita lawan dengan tidak membenarkan kondisi ini. Mari kita lawan dengan belajar saling menghargai perbedaan. Mari kita lawan dengan belajar berdemokrasi dengan baik. Mari kita wujudkan keberagaman yang bebas bedampingan.

2 komentar: