Minggu, 10 April 2011

Hujan di Tengah Jumat

Hujan deras mengguyur kos saya Jumat kemaren. Tepat di tengah hari bolong, di mana saatnya laki-laki muslim wajib melaksanakan Sholat Jumat di Masjid. Hilmi dengan sedikit bercanda tapi bermaksud serius menyarankan untuk tidak Sholat Jumat dengan alasan sunnah tidak sholat jika memang hujan deras. Saya sih setuju saja dan mengamini untuk tidak berangkat ke masjid, meskipun saya barus saja selesai mandi. Tapi Jaya dan Roy memaksa untuk tetap berangkat. Dengan argument, “Halah, hujan gini saja, kan ada payung!” “Dulu di zaman Rasul memang boleh gak ke masjid kalo hujan, karena dulu belum ada payung.” Sekejap saya teringat bahwa sudah ada teknologi penangkal hujan bernama payung. Hehehe.

Betapa hebatnya teman-teman saya yang begitu keukeuhnya memperjuangkan kewajiban sholat ini. Namun otak iseng saya sekelebat memerintahkan mulut saya untuk melontarkan pertanyaan, “Tadi pagi kamu Subuhan gak?” Dijawab Jay, “Gak, hehe. (Setidaknya Jay sudah jujur :p)

Sekarang pertanyaannya, apa yang membuat Sholat Jumat lebih penting dari Sholat Subuh? Apa karena Sholat Jumat hanya dilakukan seminggu sekali? Lhah? Kalo gitu kita bisa seenaknya sama sholat yang lain dong? Udah tiap hari, lima kali lagi. Apa karena Sholat Jumat diwajibkan ke masjid? Sebenernya sih semua sholat disunnah-muakkadkan dilakukan di masjid, kitanya aja yang kelewat males. Apa karena Sholat Jumat ada ceramahnya? Kalo mau rajin dikit sih, kita bisa dapet ceramah tiap hari di kultum subuh di masjid-masijd. Hehe.

Dipertegas lagi pas Sholat Jumat jumlah jamaah bisa dibilang luar biasa. Masjid penuh oleh laki-laki semua. Masjid yang melebar, penuh dari sisi utara hingga selatan. Dan masjid yang bertingkat, sesak di setiap lantainya. Lha terus kalo pas 34 waktu sholat lain dalam seminggu pada ke mana kita ini ya?

Fenomena yang sama dapat kita jumpai pada saat sholat Ied. Baik itu Idul Fitri maupun Idul Adha. Selain itu juga bisa kita temui pada fenomena sholat tarawih. Oke, dengan begitu kita bisa mengerucutkan sebabnya. Yaitu semua hari yang (dianggap) penting dan yang berjangka waktu.

Dengan menganggap ada suatu hari yang dipentingkan, maka kita akan mempersiapkan dengan baik datangnya hari itu. Namun di sisi lain, bisa jadi kita juga bisa menyepelekan hari-hari yang lain. Terlebih jika kita mengasosiasikannya pada sholat. Entah terbukti, atau apalah namanya, namun kondisi seperti itu bisa saya sebut dengan mementingkan suatu sholat dan menyepelekan sholat lainnya. Apakah kita lupa kalau sholat Jumat juga sama wajibnya dengan sholat subuh dan sholat wajib lima waktu lainnya. Apakah kita mengesampingkan sunnah sholat Ied di masjid atau lapangan kosong dan sunnah sholat tarawih di masjid sama dengan sunnahnya sholat fardhu di masjid?

Faktor selanjutnya adalah tentang jangka waktu. Kita cenderung lebih antusias menghadiri suatu acara yang memiliki rentang waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kita masih belum siap dengan kontinuitas. Apalagi jika kita bicara tentang sholat. Fakta-fakta yang saya sebutkan di atas membuktikan bahwa sholat (berjamaah) masih dianggap rutinitas yang memaksa bagi sebagian orang. Tak terkecuali saya.

Satu lagi, mungkin fenomena semacam sholat Jumat itu sudah tersetting menjadi gerakan massa. Menjadi kewajiban di atas kewajiban. Bahkan mungkin merubah sholat Ied menjadi kewajiban. Kenapa? Terdesak pandangan sinis masyarakat jika kita tidak melakukannya? Dipaksa keadaan?

Eh, saya menyebut kalo kita masih belum siap dengan rutinitas ya? Bagaimana dengan pekerjaan? Saya tidak tega menyebut kalo pekerjaan adalah “tuntutan”. Atau ada yang menyanggah, bahwa pekerjaan bukanlah tuntutan, tapi karena mereka sangat mencintai pekerjaan itu sehingga kita rela melakukannya secara rutin. Lalu pertanyaannya, kenapa kita tidak mencintai sholat?

Mari kita lebih bijak lagi. Sholatlah karena itu kebutuhan kita. Untuk hati yang tenang karena syukur.



Catatan: Hehe, saya pun tidak lebih baik dari kita semua. Sholat saya juga masih terkadang bolong-bolong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar