Kemarin malam (23/7) Timnas Indonesia berhasil menahan imbang tuan rumah Turkmenistan dalam pertandingan preliminary Piala Dunia 2014. Bagi masyarakat bola Indonesia, hal ini merupakan suatu prestasi tersendiri bagi kepengurusan PSSI yang baru. Dengan mengeyampingkan bahwa posisi Turkmenistan yang berada di bawah Indonesia dalam peringkat FIFA, namun kondisi PSSI belakangan ini jelas sangat mengganggu persiapan dan konsentrasi Timnas Indonesia.
Mulai dari pelaksanaan Kongres PSSI di Pekanbaru, munculnya Kelompok 78, pembentukan Tim Normalisasi, hingga Kongres Luar Biasa yang terjadi dua kali. Kongres Luar Biasa PSSI yang kedua pada tanggal 9 Juli 2011 berhasil memilih Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Anggota Exco PSSI. Tidak berhenti di situ, pemanggilan pemusatan latihan Timnas yang terus diundur pun harus menerima keputusan tidak popular yang diambil Ketua Umum PSSI yang baru,
Djohar Arifin, yaitu pemecatan pelatih Alfred Riedl.
Terhitung sejak 13 Juli 2011, Alfred Riedl sudah tidak lagi menangani Timnas Indonesia. Berbagai alasan dikemukakan oleh Djohar Arifin, mulai untuk penyegaran hingga masalah kontrak. Riedl pun tidak tinggal diam dan mengancam akan membawa kasus ini ke FIFA. Bahkan hingga detik ini masalah ini masih belum menemui titik terang.
Pada tanggal 13 Juli 2011 pula, PSSI mengumumkan bahwa Timnas akan diganti oleh Wim Rijsbergen. Pelatih yang saat ditunjuk masih menjabat sebagai pelatih PSM Makassar dan dengan curriculum vitae pernah menjadi asisten pelatih Trinidad&Tobago dalam Piala Dunia 2006. Mungkin mayoritas penggila bola tanah air masih asing dengan nama ini. Dan kita tentu saja bertanya-tanya apakah bisa pelatih yang belum begitu mengenal karakter pemain Indonesia (Wim baru menukangi PSM pada Januari 2011) membawa kita lolos dari hadangan Turkmenistan hanya dalam waktu kurang dari 10 hari?
Pada latihan-latihan awal Timnas pun Wim hanya mengamati dari pinggir lapangan, Timnas berlatih atas arahan Asisten Pelatih Rahmad Darmawan. Wim berkoar pada media massa bahwa dia akan mengusung strategi menyerang dengan formasi 4-3-3 dikombinasikan dengan 4-2-3-1. “Saya ingin Timnas memainkan sepakbola kreatif dan ofensif. Kalau Anda melihat bagaimana Spanyol dan Barcelona main, ya seperti itulah kira-kira saya ingin membentuk timnas.”
Optimisme Wim memang patut diacungi jempol. Dia menebarkan komentar-komentar positif daripada mengumbar keluhan-keluhan seperti yang dilontarkan pelatih-pelatih Timnas sebelumnya sebagai antisipasi dari ekspektasi berlebihan masyarakata Indonesia. Namun pertanyaannya, bukankah tim-tim yang disebutkan Wim, Spanyol dan Barcelona tidak terbentuk begitu saja? Pasti perlu proses yang panjang. Ditambah pula pergantian strategi yang begitu frontal. Belum juga mempertimbangkan adaptasi pemain. Dan lagi-lagi waktu yang cuma dalam hitungan hari.
…
Pertandingan kemarin memang patut disyukuri karena kita bisa menahan imbang tuan rumah Turkmenistan. Apalagi dengan mencuri gol di kandang lawan, akan semakin memudahkan langkah kita di leg kedua pada Kamis, 28 Juli nanti. Cukup dengan hasil 0-0 kita bisa lolos ke babak selanjutnya.
Menepikan fakta bahwa lapangan Olympic Stadium, Ashgabat memang benar-benar buruk dan juga gagalnya dua punggawa Timnas (Toni Sucipto dan Wahyu Wijiasnanto) yang gagal berangkat karena masalah visa, permainan Timnas Indonesia kemarin patut diberi apresiasi. Stamina, faktor yang sangat ditakutkan ternyata tidak benar-benar terbukti. Bahkan kita baru melakukan pergantian pemain pada menit ke-86 (Supardi menggantikan M. Nasuha).
Timnas memang sempat gugup di awal pertandingan sehingga kemasukan gol pada menit ke-11 melalui tendangan bebas Krendelev Vyacheslav. Namun setelah itu berangsur kita bisa menguasai pertandingan dengan memainkan bola di lapangan tengah oleh Ahmad Bustomi dan Firman Utina sebelum melebar ke sayap.
Menurut saya pola yang diterapkan Timnas kemarin adalah pola peninggalan Alfred Riedl. Dengan formasi awal 4-4-2 konvensional (bukan 4-3-3 atau 4-2-3-1 seperti yang dikoarkan) dan penempatan pemain seperti era Riedl. Zulkifly (bek kanan) dan M. Nasuha (bek kiri) adalah peninggalan Riedl. Lapangan tengah masih dikuasai Ahmad Bustomi dan Firman Utina yang berperan lebih sebagai Central Midfielder daripada Attacking Midfielder. Dan tentu saja sang Target Man Christian Gonzales yang ditinggal sendirian di depan.
Secara permainan pun masih belum menuju ke arah permainan cantik seperti yang dijanjikan Wim. Mungkin memang karena faktor buruknya lapangan sehingga permainan pendek ala Spanyol dan Barcelona urung terlihat. Kemarin Timnas masih mengandalkan lebar lapangan yang diisi oleh M. Ridwan dan M. Ilham untuk menusuk dan sesekali dibantu Zulkifly dan M. Nasuha. Ahmada Bustomi dan Firman Utina hanya sebagai peredam serangan pertama dan juga jembatan untuk dialirkan ke sisi lapangan. Jika mentok maka pemain belakang akan langsung melayangkan bola daerah kepada Boaz.
Seperti yang dikatakan Benny Dollo dalam sebuah media sebelum pertandingan, “Timnas sebaiknya tidak mengubah gaya bermain seperti taktik yang pernah diajarkan Alfred Riedl. Saat AFF lalu, para pemain sudah terlihat sangat kompak. Riskan bagi mereka jika harus mengikuti strategi dari Wim Rijsbergen.”
Pada kenyataannya (menurut saya) Timnas memang masih menggunakan strategi Alfred Riedl. Entah karena Toni Sucipto tidak jadi berangkat, yang tadinya akan menjadi tandem Ahmad Bustomi di posisi gelandang bertahan, sehingga tidak memungkinkan menggunakan formasi 4-2-3-1, yang jelas 4-4-2 versi Riedl kemarin berhasil menahan imbang Turkmenistan.
Namun kredit untuk Wim, sepertinya Wim telah membenahi mental bertanding Timnas Indonesia. Pada media dia pernah menyebutkan bahwa mental pemain adalah fokus utamanya. “Dalam latihan saya akan memperbaiki mental pemain dan membuat mereka termotivasi memenangkan pertandingan,” tuturnya. Dan seperti yang telah kita lihat bersama, Timnas kemarin sangat termotivasi dan bertarung mengerahkan seluruh tenaganya mengalahkan cuaca panas, lapangan buruk, dan masalah stamina.
Terlepas dari itu semua, ini adalah awal yang bagus buat Wim Rijsbergen. Untuk PSSI, segera tuntaskan kontrak Wim Rijsbergen, jangan membuat kesalahan sebagaimana yang telah kalian permasalahkan (kontrak Alfred Riedl). Dan untuk Wim, teruslah menebar optimisme. Bukan tidak mungkin kau membawa Timnas ke Piala Dunia seperti yang telah kau lakukan untuk Trinidad&Tobago. Bawa Garuda terbang ke Brasil pada 2014. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar