Selasa, 24 Mei 2011
Ojek Sepeda: Salah Satu yang Masih Bertahan
“Saya sudah di sini sejak tahun ’78, dulu banyak yang ngojek di sini, sekarang tinggal dua,” kata bapak ojek sepeda yang saya sambangi. Tempat mangkalnya adalah di depan menara BNI, salah satu gedung tertinggi di Jakarta (bahkan mungkin Indonesia). Tepat di bawah halte busway dukuh atas satu, tepat di seberang patung Jenderal Sudirman di Jalan Sudirman, Jakarta.
Bapak yang berasal dari Purwokerto ini mengeluhkan jumlah kendaraan bermotor yang semakin tidak masuk akal. Dulu beliau biasa mengantar penumpang sampai ke Tanjung Priok. “Sekarang penumpangnya pada kagak berani,” sembari tertawa. “Sekarang sih mungkin cuma nganter deket-deket aja, ke dalem.”
Bapak 72 tahun ini sangat mengidolakan Soekarno. Dengan bangganya beliau bercerita tentang keberanian dan ketegasan Soekarno. Beliau juga menekankan tentang etos kerja jaman dahulu dibandingkan dengan sekarang. “Dulu sama Pak Karno kita semua harus sekolah, semua harus kerja! Gak kaya’ sekarang masih muda, bajunya bagus-bagus malah pada ngamen. Masih sehat aja udah pada ngemis!”
Beliau juga mengomentari tentang lembeknya pemerintahan saat ini. Beliau menganalogikan dengan pemerintahan “tangan besi” Soekarno. “Sekarang penjahat pada bebas, kalo dulu, jangankan koruptor, maling aja langsung di-dor! Sekarang? Berani apa SBY?”
Saking kagumnya terhadap Soekarno, beliau menjawab, “Saya pilih Megawati, kemaren,” saat saya bertanya, “Tapi bapak pilih SBY juga kan, kemaren?” “Megawati itu mikirin rakyat kecil. SBY mana? Malah mau ganti minyak pake gas. Itukan mahal, kasian rakyat kecil.” Bahkan beliau juga akan memilih Puan Maharani, putri dari Megawati jika nanti dicalonkan jadi presiden. Lihat betapa suksesnya positioning Megawati di mata “wong cilik”.
Satu lagi, sentralisasi ternyata tidak berpengaruh pada semua elemen masyarakat Jakarta. Bapak yang dulunya pernah menjadi penjaga malam di Priok ini masih sangatlah kolot. Beliau masih bercita-cita pergi ke Jombang untuk menemui Ponari. “Saya dengar kabarnya katanya manjur,” kata beliau yang ingin mengobati daya pendengarannya yang telah menurun. “Saya sudah nyimpen address-nya yang saya dapat di sobekan Koran.”
Ada satu hal mengganjal yang akhirnya saya tanyakan, “Pak, sekarang kan hampir tiap hari hujan, trus gimana dong kalo hujan? Pulang atau berteduh di sini? Jadi tambah jarang narik dong?” Dengan tegar beliau menjawab, “Kalau hujan saya jadi ojek payung.” Wow. Saya melihat usaha yang tak putus dari beliau. Tidak menyerah pada alam, bahkan dengan cerdiknya mengubahnya menjadi lahan penghasilan alternative. “Seikhlasnya aja, ada yang dua rebu, kadang juga lima rebu, tapi pernah juga saya tiga kali dikasih lima puluh rebu, mungkin karena kasian ya liat bapak-bapak tua ngojek payung.”
Mungkin ngobrol-ngobrol saya itu hanya sedikit dari cerita bapak ojek sepeda yang terlihat tabah tanpa keluh tersebut. Ya pak, kita memang harus terus berusaha dan tidak menjadi bangsa pengemis, seperti kata Bung Karno :D
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar